Kazo...
Kazo...
Mata Kazo terbuka lebar dalam keheningan. Sinar terang menyambut dan membutakan matanya untuk sesaat. Air gelap dan dingin itu baru saja melahap tubuhnya, membuat tenggorokannya berhenti menahan nafas karena banyaknya air yang dia telan.
Dia masih bisa merasakan sayatan tajam ditubuhnya hingga meninggalkan luka perih yang teramat sangat. Belum lagi suara lengkingan dan teriakan kemarahan terdengar jelas di telinganya.
Tapi... Semua rasa sakit dan teriakan kemarahan itu tiba-tiba menghilang seketika. Digantikan dengan suara lembut seseorang yang membangunkannya di tengah padang rumput yang luas dan tanpa ujung.
Di mana aku? Apakah ini kematian? Batinnya.
Kazo mengerjap menatap sinar terik matahari yang menembus tajam pada korneanya. Semilir angin yang ia rasakan begitu teduh dan menyejukkan. Kazo lalu mengamati tubuhnya yang masih sehat dan tanpa goresan apapun.
Bahkan pakaian yang ia kenakan masih kering dan bersih. Ia ingat sempat merobek ujung kausnya untuk membalut luka di lengan kanannya, tapi bajunya pun kini tampak utuh dan bersih. Kazo lalu meraba lengan kanannya, dia masih ingat saat Glara menusuk lengannya dengan Dagger miliknya. Namun sekarang, luka itupun sudah tidak ada.
Kazo menatap berkeliling pada hamparan padang rumput hijau yang luas. Angin sejuk tampak menyambut dan mempermainkan rambut biru peraknya. Kening Kazo berkerut sesaat ketika ia melihat seorang wanita tampak berdiri membelakanginya, wanita itu berdiri sekitar lima meter dari tempat Kazo berada.
Ia mengenakan gaun berwarna hijau tua dengan corak dan ukiran berwarna emas yang terlihat begitu indah dan berkelas. Rambut biru panjangnya tergerai cantik, terlihat berkibar indah saat hembusan angin mempermainkannya.
Kazo bangkit perlahan dari duduknya sambil terus mengawasi wanita misterius di sana. Tentu saja ia penasaran, siapa wanita itu? Tempat apa ini? Dan kenapa mereka berdua ada di tempat ini? Semua pertanyaan itu bergulir cepat di dalam kepalanya.
"Kau siapa?" tanya Kazo akhirnya.
Rasanya sungguh tidak asing, seperti Kazo pernah melihatnya atau bertemu dengannya di suatu tempat. Tapi Kazo tidak mengingatnya.
"Kau siapa? Apakah kau tahu tempat apa ini?" tanya Kazo lagi seraya netranya kembali memandangi padang rumput luas itu.
Wanita itu kemudian memutar kaki dan tubuhnya perlahan, keelokan dan keanggunan jelas terpancar hanya dengan melihat punggungnya saja. Terlebih saat wanita itu berbalik dan menampilkan wajah cantik dengan senyum lembut yang menenangkan. Apalagi saat menatap mata birunya yang terlihat begitu teduh dan sedalam lautan.
Kazo terkesiap sesaat. Entah kenapa tiba-tiba ada sebuah rasa sesak yang terasa menyedihkan saat ia menatap mata wanita itu. Sebuah rasa rindu yang entah datang dari mana dan ia tujukan untuk siapa, terasa begitu menyayat di hatinya.
Siapa wanita ini? Kenapa dengan melihatnya saja membuatku ingin menangis. Batinnya.
Wanita itu lalu melangkah mendekati Kazo yang masih bergeming di tempat. Senyuman lembut tapi terlihat pilu terpatri jelas dibibirnya cantiknya. Mata sendunya menatap lekat pada anak laki-laki yang masih mematung tanpa mengatakan apapun.
Dan Kazo hanya bisa terbelalak, ketika wanita itu tiba-tiba mengalungkan lengannya dan mendekap tubuh Kazo dengan penuh kehangatan dan kasih sayang.
"Kazo, putraku. Ibu merindukanmu!"
Anak itu tidak bisa mengatakan apapun lagi, wajahnya tercekat dengan mata membulat sempurna. Dan tiba-tiba butiran-butiran bening air matanya jatuh begitu saja tanpa aba-aba.
Kazo menangis sejadi-jadinya di pundak wanita itu. Pantas saja ia merasa pernah bertemu, pantas saja ia merasakan rindu mendalam saat melihat wanita itu.
Kazo tidak pernah melihat wajahnya ataupun membayangkan bagaimana rupa ibunya. Tapi Kazo bisa merasakan saat ia melihat mata wanita itu. Tentu dia merindukannya, sangat merindukannya.
"Ibu!"
Kazo semakin terisak dalam dan membuat wanita itu juga tidak kuasa menahan air mata pilunya. Dia mengusap punggung dan kepala Kazo dengan begitu lembut lalu mendekap tubuh putranya itu semakin erat seolah enggan untuk melepaskannya.
"Maafkan ibu karena meninggalkanmu. Tolong jangan benci ibu, ya," bisik wanita itu.
Dengan pelan Kazo lalu menggeleng. "Tidak. Seharusnya aku yang mengatakan itu pada Ibu. Kuharap ibu tidak menyesal sudah memilih melahirkanku," balas Kazo dengan nada suara terbata-bata.
Wanita itu menarik tubuhnya dan langsung menatap lekat pada wajah putranya yang sudah basah penuh air mata.
"Apa yang kau katakan? Seorang ibu tidak akan pernah menyesal melahirkan orang yang begitu dicintainya. Kau adalah hal terbaik yang pernah ibu perjuangkan, jadi teruslah hidup Kazo. Bahagialah agar ibu juga bahagia disini. Hiduplah untuk orang-orang yang mendukungmu, dan bawa kembali Ayah dan juga kakakkmu. Maaf karena Ibu meninggalkanmu sendiri dengan beban sebesar ini. Maaf Kazo."
Wanita itu tersenyum sesaat lalu kembali mendekap erat tubuh Kazo. Bulir bening air matanya mengalir begitu deras, namun bibirnya menyunggingkan senyum bahagia dan kelegaan yang selama ini selalu ia simpan.
"Lalu.... Apa yang harus kukatakan saat bertemu Ayah dan kakak nanti? Aku yakin mereka juga akan membenciku."
"Katakan apapun yang ingin kau katakan. Semua itu hanya masalah waktu Kazo, mereka akan memahaminya suatu saat nanti. Ibu hanya ingin kau tetap kuat dan tidak pernah menyerah. Ibu tidak akan pernah meninggalkanmu, kau tahu itu?" ucap wanita itu. Ia lalu menarik tubuhnya dan kembali menatap lekat pada Kazo yang masih terus menangis. Ia mengangkat wajah putranya dan mengusap air matanya dengan lembut.
Wanita itu lalu merogoh sesuatu dari balik gaun panjangnya. Ia mengeluarkan sebuah benda seperti gelang yang terbuat dari tali kain hitam dengan empat bulatan menghiasi gelang itu. Masing-masing berwarna merah, biru, putih dan hitam dan di dalamnya terdapat sesuatu benda padat menghiasinya. Wanita itu lalu menyematkan gelang itu pada lengan kanan Kazo.
"Ibu tidak bisa memberikan apapun padamu. Hanya ini," ucapnya seraya tersenyum.
Kazo mengamati benda itu dengan perasaan haru yang tidak bisa dijelaskan. Mungkin ini pertama kalinya Kazo menerima sebuah hadiah yang membuatnya begitu bahagia. Meskipun dia tau hadiah itu juga tidak nyata.
"Teruslah hidup Kazo!" nisik ibunya dengan senyum yang begitu indah dan cantik.
Kazo tidak ingin terbangun jika ini adalah mimpi, dia juga tidak ingin kembali jika ini adalah kematian. Dia ingin terus memeluk ibunya, dan melihatnya tertawa bahagia di tempat ini.
Tapi semakin Kazo meminta dan berharap, bayangan ibunya semakin lama semakin menjauh. Senyuman teduh dan juga bayangan tempat itu perlahan pudar satu persatu digantikan dengan kegelapan dan juga rasa sesak yang kian menusuk dadanya.
Kazo berteriak memanggil ibunya, tapi tidak ada suara yang keluar. Lengkingan kemarahan itu kembali terdengar, begitu juga dengan sayatan menyakitkan ditubuhnya. Kazo lalu tersadar, bahwa air danau itu masih menenggelamkan tubuhnya.