"Apa yang harus kulakukan? Sementara semua ini tentang balas dendam."
***
"Kak bangun!!" Teriak seseorang kencang sekali.
Aku membuka mata. Perlahan karena masih terganggu teriakan tadi. Vivi berdiri sambil memandangi wajahku. Wajahnya terlihat sangat kesal mungkin karena melihatku tak kunjung bangun dari tidur. Udah sore, dan ini masih di taman kota.
"Ha?"
Aku membenarkan posisi duduk. Menggaruk hidung.
"Kak Citra nggak dijemput-jemput. Gimana? Udah sore." Kata Vivi
Aku diam sebentar. Rasa ngantukku belum hilang, mataku tidak sepenuhnya terbuka lebar. Sepertinya nyawa belum kembali utuh. Masih setengah, setengahnya entah kemana.
"Ha?"
"Tuh kan, malah jadi bego. Bangun dulu makanya." Vivi berteriak lagi. Ia terlihat bete. Aku dibuat menutup kuping kaget karenanya. "Apaan sih!? Gak usah teriak kali." Aku ikut kesal. Vivi lalu menunjuk Citra berdiri tidak jauh dari kami. Citra tidak mengatakan apa-apa. "Gak dijemput. Gimana?" Kata Vivi
Aku melihat Citra dengan tatapan malas.
"Terus?"
"Gue nggak bawa hp. Jadi gak bisa hubungi pembantu gue."
"Terus?"
"Ya, bantu."
"Bantu apaan?" aku terus memancing.
"Diiihhh. Kok lo gak peka sih!!! Lo kan cowo." Citra mulai kesal sendiri. Aku paham maksudnya tapi nggak semudah itu buat mau anterin pulang Citra. "Lah, apa hubungannya ama cowo. Lo yang gak jelas, gue tanya bantu apa lo malah jawab nggak peka. Lah, mana gue tau lo minta bantu apa."
"Pulang. Anterin gue pulang Bal." Nadanya berubah.
"Terus?"
"Dihh. Beneran bego amat sih." Citra menghentakkan kakinya lalu pergi begitu saja.
Vivi mencubit lenganku. Matanya menyorot tajam. Lalu menggeleng-gelengkan kepala. "Anterin dong Kak. Kasian, Kak Citra nggak ada yang jemput." Aku hanya membalas isyarat tangan. sssttttt!!!
"Hey!!"
"Jalanan sekitar sini rawan penculik lho!! Dua hari yang lalu katanya ada anak smp sebelah diculik dua orang."
"Katanya sampai sekarang belum ketemu. Apalagi udah sore gini, biasanya orang yang nyulik keluarnya sore kayak gini!!"
Teriakkanku cukup membuat Citra berhenti berjalan. Aku yakin sekarang dia berpikir dua kali antara mempercayai perkataanku atau masih mau nekat pergi. Anak smp pada umumnya akan termakan omongan beginian.
"Bohong lo."
"Dih, nggak percaya. "Aku tersenyum ke arah Vivi lalu mengangguk satu kali. Vivi paham kalau sekarang aku tengah mengarang cerita. Berbohong agar Citra tidak jadi pulang sendiri. Vivi menghembuskan napas lalu menggeleng-gelengkan kepala menuruti apa maksudku.
"Iya kak. Bahaya kalau pulang sore-sore gini. Apalagi perempuan, sendirian pula." Vivi angkat bicara. Yess!! Gumamku dalam hati.
"Yaudah kalau gitu, gue ikut ke rumah kalian." Akhirnya Citra pasrah. Menghembuskan napas dengan berat lalu kembali.
"Baik. Sekarang pulang bareng yuk." Kata Vivi dengan wajah cerah, lalu mengambil tas. Membersihkan debu akibat bermain bunga tadi.
***
Di ruang tamu pukul 19.00
"Jadi lo mau dianterin atau dijemput? Kalau dijemput, gue bisa telpon pembantu lo sekarang." Kataku datang membawa jus alpukat, meletakkannya di meja. Citra melihatku sejenak. Wajahnya terlihat aneh, seperti mengatakan kalau males nganterin bilang bos! Iri bilang bos. Eh. Citra membuka tutup toples snack. Bersandar di meja.
"Enaknya?" Citra memakan dua butir kuping gajah.
"Ya terserah lo. Kalau dianterin, gue nggak bisa."
"Lha? Maksud lo?"
"Mana boleh anak SMP bawa motor." Jawabku enteng sekali. Seperti nggak punya dosa padahal karena kata-katakulah Citra nggak pulang sore.
"Lah terus?"
"Ya berarti gue telpon bokap lo."
"Kenapa lo nggak bilang dari tadi kalau nggak bisa naik motor. Astaga." Citra merengek.
"Siapa yang bilang nggak bisa. Nggak boleh. Cuma itu aja."
Citra mulai kesal mendengar alasanku.
"Lagian nggak bakal ada polisi malem-malem gini. Lo ribet amat sih pake acara nggak mau bawa motor. Kalau lo nggak nganterin gue pulang, habis gue dimarahin bokap entar." Citra menepuk jidat. Aku menyeruput jus lalu ber 'hah' sebentar.
"Ya pembantu lo yang bakal kena marah. Santai aja. Bilang kalau kita kerja kelompok pulang sekolah. Darurat. Udah beres."
"Tapi kan pembantu gue nggak tau dan gue belum bilang kalau kerja kelompok. Pas kita pulang siapa tau pembantu gue cari-cari di sekolah. Entar pembantu gue cerita ke bokap terus bokap percaya lalu nuduh gue yang nggak-nggak main sembarangan. Gue kena marah terus gue depresi, nggak mau makan, nangis terus akhirnya gue ke balkon rumah, gue naik pagar terus lompat bunuh diri. Kepala gue hancur remuk badan gue nggak bisa gerak dan akhirnya... gue mati." Citra menutupi wajahnya seolah-olah itu semua pasti terjadi secara berurutan ketika pulang ke rumah nanti.
Oke, ini sudah keterlaluan nge halunya. Dan terlebih lagi, gimana logikanya cuma karena masalah nggak dijemput berujung lompat dari balkon. Aneh. Kecuali bokap Citra sama-sama anehnya.
"Cit, pertama, itu nggak mungkin dan lo sekarang malahan keliatan bego. Kedua, kok lo yang jadi takut pembantu sih?! Lo kan anak majikan."
Diam sebentar.
"Eh, iya ya. Kok gue nggak nyadar." Wajah Citra berubah dari bingung langsung ceria.
"Bego lo."
"Nomernya berapa?" tanyaku.
"Nomer gue?"
"Lo mau gue sembur pake jus alpukat ini? Mumpung masih dingin, mau?." Kesal sendiri jadinya nanggepin Citra. Kenapa cewe ini makin malam makin jadi bego sih. Heran.
"Lah kan gue tanya. Apa salahnya si." Citra kembali mengambil makanan kupin gajah lalu mengunyah tanpa rasa bersalah. Aku berpikir jangan-jangan makan kuping gajah saat malam bisa bikin bego, Citra buktinya.
"Nomor telpon rumah lo atau pembantu lo atau bokap lo terserah kek. Pokoknya orang yang bisa jemput lo."
"Yaudah ketik." Citra lalu menyebutkan nomor. Aku mencoba menghubungi nomor tersebut. Tidak ada jawaban. Aku mencoba menghubungi kembali. Tetap gagal sama saja, tidak ada jawaban.
"Nggak ada yang angkat." Gumamku. Sambil mencoba lagi dan lagi.
"Serius?"
"Ya kali gue bohong cit. Buat apa coba."
"Duh. Pak Tarno kemana sih. Jangan-jangan ketiduran lagi." Kata Citra menyebutkan nama pembantunya.
Tidak lama setelah itu ibu datang sambil membawa nampan berisi irisan buah semangka. Ibu tersenyum sambil memandangi Citra. Citra tersenyum juga lalu mengangguk canggung. "Nggak usah repot-repot tante." Kata Citra menggigit bibir.
"Gak papa. Anggep rumah sendiri. Jarang-jarang Iqbal bawa temen perempuan ke rumah. Rata-rata temen cowo yang sering ke sini." Ibu duduk di sampingku.
"Ya namanya juga cowo bu." Jawabku
Saat Citra tersenyum Ibu langsung berkata. "Tapi sekali bawa temen perempuan cantiknya gak ada lawan."
Kata Ibu sontak membuatku menoleh. Ibu tertawa sedangkan Citra tersipu malu. Aku memasang wajah aneh dengan hidung kembang kempis.
"Tante juga cantik kok. Nurun ke Vivi." Kata Citra
Setelah cukup lama basa basi ngobrol di ruang tamu. Ibu bertanya pada Citra. "Udah malam. Citra pulang atau mau nginep sini?"
Aku melihat jam tanganku. Pukul 21.12
"Boleh tante?"
"Ya boleh dong. Lagian besok hari minggu, hari libur. Boleh la sekali kali nginep sini. Tapi harus izin orang tua dulu. Udah izin belum?"
Citra tersenyum menggelengkan kepala. Sejak tadi menghubungi nomor rumah Citra nggak bisa.
"Belum bu. Aku udah coba hubungi tapi gaada yang angkat." Aku angkat bicara.
"Niatnya tadi sih dijemput, tapi-"
"Bisa kok tante." Potong Citra. Aku menatap Citra.
"Citra tau nomor Papa. Citra izin buat nginep di sini." Citra lalu meminta ponselku. What!! Kenapa nggak bilang dari tadi kalau tau nomor bokapnya. Kenapa harus repot repot hubungi pembantunya kalau bokapnya bisa ditelpon. Aku semakin ingin menyembur Citra dengan jus alpukat ini.
"Gak keberatan pinjam ponselnya Bal?"
Aku mendengus kesal. Memberikan ponselku. Aku nggak keberatan Citra menginap di rumahku, asal bisa dipertanggung jawabkan alasan nginapnya fine fine aja sih menurutku. Ayah ibu juga demikian. Nggak lucu aja tiba-tiba temen nginep terus besoknya rumahku digrebek gara-gara dituduh melakukan aksi penculikan.
"Yaudah kalau gitu tante tinggal ya. Kalau Citra nginep nanti tidurnya bisa di kamar Vivi ya. Iqbal nanti anterin Citra."
"Baik bu."
"Makasih tante."
Ibu beranjak pergi meninggalkan kami. Citra keluar hendak menghubungi Papanya.
Teras rumah nampak terbuka lebar. Karena posisi rumah kami depan taman kompleks persis, aku bisa melihat dengan jelas pemandangan taman tersebut. Sayup-sayup lampu taman menerangi bangku serta tanaman, membuatku berpikir setidaknya kalau Citra menginap, aku akan menyuruh Vivi menemaninya bermain di taman besok, sedangkan aku bakal tidur seharian.
Dari kejauhan sekelibat bayangan muncul perlahan. Di bawah pohon yang rindang aku melihat sesosok berdiri menatapku. Siluet orang tanpa terlihat wajahnya. Ranting pohon menutupi bagian kirinya, sehingga aku melihat setengah badannya saja. Tapi satu yang pasti. Dia melihat ke arahku.
Tanganku tergenggam. Semakin penasaran atas apa yang kulihat. Apa itu benar-benar orang?
Sayangnya lampu taman tidak sempurna menerpa pohon tersebut. Alhasil, aku hanya disugukan pemandangan silluet dengan jarak kurang lebih 20 meter dari tempatku duduk sekarang.
Satu kedipan mata.
Siluet sosok tersebut menghilang beriringan dengan kembalinya Citra dari teras. Mataku berkedut, mencoba mencari sosok tersebut tapi raib.
"Aku udah dapet izin. Gak masalah kata Papa. Besok aku dijemput." Kata Citra.
Aku mendengarnya hanya bisa berkata, "oh. Yaudah."
Pandanganku masih tidak bisa lepas mencoba mencari keberadaan siluet bayangan tadi. Kemana perginya, apa maksud keberadaannya mengintai rumahku?
"Sini kuater ke kamar Vivi."
Aku bangkit lalu menutup pintu, menguncinya dan menutup jendela dengan gorden. Untuk terakir kalinya, aku mengecek sosok tersebut. Tidak ada.
"Kenapa? Ada orang?" tanya Citra melihat gelagatku.
Aku diam sebentar, merapikan meja ruang tamu.
"Nggak ada apa-apa. Udah malem. Eh, ini barang lo udah lo bawa semua kan? Nggak ada yang ketinggalan." Aku mencoba mengganti topik.
Citra melihat-lihat lagi, mengecek isi dalam tasnya.
"Nggak. Udah semua kayaknya."
"Oiya, hampir lupa. Jusnya." Citra mengambil segelas jus yang lupa ia minum. "Ini kubawa aja gak masalah kan?"
Aku mengangguk. Meninggalkan ruang tamu. Lalu mematikan lampu ruangan, meskipun belum terlalu malam. Kurasa aku harus melakukannya.
***
Asrama.
Malam hari.
Ck ck ck!! Suara tiga orang tengah berlari dalam kegelapan. Menembus malam yang panjang bersamaan suara napas masih terengah-engah. Aku menutup kedua mataku, diam sebentar bersembunyi di balik pintu gedung. Sudah lima belas menit kami berlari memutari menara hingga ke belakang gedung tujuh. Karena tidak bisa berlama-lama di gedung tujuh kami berlari lagi mengelilingi tiga gedung hingga tiba di sini. Gedung empat.
Tsaqib mengunci pintu dengan berberapa balok kayu. Menghampiri jendela dan melihat keluar.
"Gimana?" tanya Kausar. Napasnya naik turun.
"Nggak ada."
"Senter lo matiin cepet." Pintaku pada mereka.
Gelap total. Kami sempurna ditelan gelapnya dalam gedung. Ini untuk menghilangkan jejak sementara kita naik ke lantai atas. Rencanaya berjalan. Aku yakin psikopat itu tidak menyadari yang lain. Ia berpikir kami masih di luar gedung, padahal ini hanya pengalihan agar yang lain bisa menyusun jalan keluar.
"Yang lain?"
"Aman. Sebelum tadi kita lari, Citra nyalain senter. Mereka udah paham" kataku.
"Yaudah, sip. Tinggal ke rencana berikutnya." Tsaqib menepuk pundakku lalu berjalan ke arah tangga. "Apa lo udah siap?" tanya Tsaqib kepadaku.
"Tentu." Jawabku singkat.
Rencana selanjutnya adalah menjadikanku dibiarkan sebagai umpan di lapangan terbuka, memancing psikopat tersebut untuk pergi mengejarku. Ketika sudah terkejar, Kausar dan Tsaqib akan memasang jebakan untuk digunakan menghabisinya, dengan cara mendorong psikopat tersebut terjun dari lantai tiga. Kenapa hanya aku sebagai umpan? Jika psikopat itu kehilangan jejak kami lebih besar peluang psikopat itu pergi ke tempat Citra dan yang lain. Aku juga tidak mau mengambil resiko Kausar Tsaqib terluka. Jika demikian, maka rencana kabur gagal total.
Psikopat ini cerdik. Aku paham dia tengah mencari kami. Tapi tidak melakukan pergerakan, melainkan melalui pengawasan. Di suatu tempat dia berdiri mengawasi kami, menunggu gerak gerik. Ketika ada kesempatan ia akan segera menghabisinya. Ia juga pasti berpikir kenapa aku dibiarkan jalan sendiri, sedangkan dua orang yang bersamaku sebelumnya tidak kelihatan. Pasti ada yang tidak beres, ia berpikir pasti ada rencana. Tapi jusru inilah keuntungan kami. Kita membuat bingung dengan menyuguhkan dua mangsa dalam satu waktu.
"Usahain secepet mungkin." Pintaku.
"Gue pastiin stanby sebelum lo dateng." Jawab Kausar.
Aku naik ke lantai dua. Menyelinap keluar balkon lalu mengendap-endap menjulurkan tali hingga menjuntai ke bawah, turun pelan-pelan. Melihat sekitar, mengatur napas sebentar. Saat dirasa aman aku berjalan dengan hati-hati menyebrangi semak-semak. Dalam satu hentakan aku menyalakan senter lalu berlari sekuat tenaga menyebrangi lapangan masuk ke gedung lima. Cahaya senter bergerak kemana-mana ketika menyebrang tadi. Itu umpan yang sangat jelas. Dan aku yakin psikopat tersebut sudah melacak keberadaanku.
"Baik. Semoga umpannya tergigit." Kataku naik ke lantai atas, tak berselang lama suara dobrakan pintu terdengar dari bawah. Psikopat itu sudah di sini. Aku mematikan senter ponsel. Berlari di sepanjang lorong.
Kiri.
Aku menjatuhkan lemari hingga bunyinya menggema satu lantai. Aku melihat ke belakang, tidak tampak apapun, hanya kegelapan yang seakan siap memakanku kalau aku berhenti berlari. Karena cahaya bulan masuk sela-sela jendela, aku sendikit terbantu melewati satu lorong ke lorong lain.
Ketika berada di sebuah ruangan tanpa cahaya apapun. Aku memutuskan untuk bersembunyi sembari mengendap-endap mengintip situasi lorong dari sela pintu.
"Bagus." Kataku gembira. Ketika hening cukup panjang.
Tiba-tiba sesuatu mengusikku dari dalam kegelapan. Aku menyadari lalu berjalan jongkok ke ruangan lain, keluar jendela lalu terjun ke balkon.
Brak!!
Sakit sekali. Sudah kupikir berulang kali bagaimana agar jatuh tidak sesakit ini. Tapi tetap saja, tulangku terasa kejang sebentar lalu lemas. Aku mencoba sebisa mungkin tidak mengeluarkan suara ketika menahan rasa sakit ini tapi bagaimanapun bunyi suara jatuh tidak bisa teredam.
Dari atas aku mendengar suara benda yang terbanting. Itu berasal dari ruangan tadi. Dia cepat sekali sampainya.
"Hey!! Brengsek!! Aku di sini." Teriakku dengan lantang.
Tidak ada jawaban. Segera aku mengambil ancang ancang. Lalu sesaat berikutnya sebuah benda melesat hampir mengenaiku. Aku terkejut melihat ke atas, meraba benda tersebut dan benda itu adalah anak panah.
Mati aku.
Sekarang aku menyesal kenapa berteriak tadi.
Lari!!
Tak berselang lama suara orang jatuh ke balkon pun terdengar. Itu psikopatnya!! Tubuhku tegang enggan menoleh kebalakang.
Kubanting pintu keluar lalu lari keluar lapangan. Kuharap kali ini waktunya tepat. Jebakan yang mereka buat sudah siap.
Aku mengeluarkan ponsel lalu menyalakan senter. Tanda aku segera ke sana.
Keringat dingin membasahi pelipisku. Dengan berlari melewati semak belukar kuharap psikopat itu kesulitan membidik dan lebih memilih mengejar. Nggak lucu juga kalau jebakan udah siap tapi mangsanya nggak dateng. Senyum tipis mengambang di raut wajahku, menandakan rencana ini akan segera tuntas.
Akan tetapi nasi sudah menjadi bubur.
Sesuatu yang buruk sudah terjadi dan kali ini aku tidak menduganya.
Psikopat itu genius.
***