Tepat jam 10 pagi di sebuah masjid megah di kota Jakarta tidak begitu ramai. Hari ini akan di langsungkan akad nikah sepasang insan yang sudah jauh-jauh hari menentukan tanggal pernikahan mereka. Seharusnya sebuah pernikahan tampak meriah tapi tidak dengan pernikahan mereka yang hanya di hadiri oleh penghulu dan para saksi.
Beberapa menit kemudian sebuah mobil mewah berhenti di pekarangan masjid. Mereka keluar dari mobil dan tampak tergesa-gesa seolah di buru seekor singa yang lapar. Mempelai pria begitu tampan mengenakan jas putih lengkap dan peci bertengger di kepalanya.
Tinggi pria itu sekitar 175 cm, berkulit sawo matang, hidung bagai pahatan kayu, dan bola mata hitam pekat khas orang Asia. Ia menggenggam tangan calon istrinya agar mempercepat langkahnya.
"Adam! Bisakah kau berjalan sedikit lambat? Ini hari pernikahan kita, aku tidak mau melakukan semuanya terburu-buru." Keluh wanita itu. Sebelah tangannya mengangkat gaun yang menurutnya sangat panjang menghalangi setiap langkahnya mengikuti calon suaminya. Gaun dipakainya tampak cocok di tubuhnya yang mungil dan padat, wajah cantik di milikinya membuat wanita lain menjadi iri.
"Tidak ada waktu lagi. Mama akan datang menghalangi pernikahan kita dan aku tidak mau kejadian tahun lalu terjadi hari ini. Aku tidak mau pernikahan kita batal untuk kedua kalinya," ucap Adam menghentikan langkahnya menarik wanita itu dalam pelukannya. "Ayo, kita masuk!" Adam melepaskan pelukannya lalu melanjutkan langkah lagi menaiki beberapa anak tangga memasuki masjid.
Adam menghirup nafas lega melihat Pak Penghulu sudah siap menikahkan mereka serta para saksi yang akan menjadi bukti sahnya perkawinannya di mata agama. Ia menangkap sorot mata tajam dari kakak kandung calon istrinya, ada kekesalan tersirat di sana. Mereka duduk tepat di depan Pak Penghulu karena dia menyerahkan akad nikah adiknya pada pak penghulu yang lebih berpengalaman.
Hari ini acara yang sakral yang selalu di nantinya setiap hari. Pak Penghulu mengulurkan tangannya di sambut oleh Adam untuk segera melakukan prosesi akad nikah. Rasa was-was dan jantung berdebar-debar menghantui Adam sejak tadi. Tinggal selangkah lagi wanita di sampingnya akan menjadi istrinya.
"Tunggu! Sebelum di mulai prosesi akad nikah adikku. Aku ingin bicara dengan Adam Apa kau sangat mencintai adikku?" tanya Radit sepenuhnya tak mempercayai Adam. Ia tahu bagaimana Ibunya sangat membenci adiknya tapi mau bagaimana lagi mereka saling mencintai dan memaksa untuk menyetujui pernikahan mereka.
"Aku sangat mencintainya bahkan melebihi diriku sendiri," ucap Adam yakin. Pacaran selama 7 tahun sudah membuktikan bagaimana kesetian dan cintanya pada calon istrinya bahkan Adam rela menikahinya diam-diam walaupun tanpa persetujuan Ibunya.
"Apa kau mau berjanji menjaga adikku dan tidak akan menyianyiakannya?" sorot mata Radit tajam memaksa Adam tidak lengah dari ucapan yang keluar dari mulutnya. Semua orang pasti ingin pernikahan adiknya bahagia termasuk Radit. Ia benar-benar tidak mau adiknya menangis.
"Aku berjanji tidak akan meninggalkannya,"
"Baiklah, kalau begitu. Hawa adalah adikku satu-satunya. Aku hanya ingin melihatnya bahagia. Jika suatu hari kau merasa bosan dengan Hawa, tolong jangan menyakitinya, kau bisa mengembalikan adikku kepadaku dan aku tidak akan marah." mata Radit berkaca-kaca tidak siap melepas adiknya. Mereka sebatang kara di dunia ini, orang tua mereka meninggal akibat kecelakaan tragis beberapa tahun silam. Radit sangat menyayangi hawa yang sangat manja padanya.
"Aku berjanji Kak. Hawa akan hidup bahagia bersamaku. Ini adalah janji Adam pada Hawa sebagaimana janji manusia pertama yang Allah ciptakan di bumi ini pada istrinya yang di ciptakan dari tulang rusuknya. Aku berharap pernikahanku seperti mereka, kami akan selalu bersama hidup dan mati." senyum indah terlukis di wajah Adam menambah kesan kharismatiknya. Hawa yang duduk di sampingnya tersenyum mendengar ucapan pria yang menemaninya selama 7 tahun ini.
Kata apalagi membuat wanita paling bahagia selain dari janji suci di pernikahan mereka. Hawa ingin sekali menangis karena pernikahannya kali ini tidak di dampingi oleh orang tuanya. Seandainya orang tuanya masih hidup Hawa pasti akan sangat senang mendapat restu mereka. Adam sudah siap lahir dan bathin ingin hidup bersama Hawa.
"Baik, mari kita mulai ijab qobulnya," ucap Pak Penghulu. "Saudara Adam binti Chandra saya nikahkan dan saya kawinkan engkau dengan Hawa binti Lesmana dengan maskawinnya berupa cincin berlian, Tunai!" lanjutnya lagi.
"Saya terima nikahnya dan kawinnya Hawa binti Lesmana dengan maskawinnya tersebut di bayar tunai." Adam berbicara lantang tidak tergagap sedikitpun.
"Sah?" tanya Pak Penghulu kepada saksi.
"Sah!"
"Sah!"
"Sah!"
Hawa bernafas lega akhirnya ia menjadi seorang istri sekarang. Adam mengulurkan tangan dan Hawa menyambutnya dengan hati bahagia, lalu mencium tangan suaminya. Adam menatap Hawa yang tidak berhenti tersenyum lalu mencium keningnya.
Suara mesin mobil menderu di pekarangan masjid pertanda baru saja seseorang tiba di sana. Seorang wanita paruh baya yang terlihat cantik berteriak marah di pekarangan masjid.
"Adam! Adam! Sampai kapanpun Mama tidak akan menyetujui pernikahan kalian. Mama tidak mau punya menantu sebatangkara seperti Hawa. Batalkan pernikahan kalian sekarang!" Ibu Adam tidak berhenti mengoceh melihat anaknya duduk di depan penghulu dan para saksi.
Adam melihat Ibunya datang tiba-tiba. Iapun menghampirinya. "Mama harus tenang! Dengarkan ucapan Adam baik-baik! Mama tidak bisa membatalkan pernikahan kami karena Hawa sudah sah menjadi istriku. Jadi Mama harus terima keputusan kami." Adam memegang kedua bahu ibunya, meyakinkan wanita itu kalau Hawa adalah istrinya sekarang.
"Tidak! Mama tidak akan pernah mengakui pernikahan kalian. Dan kau pasti merayu anakku untuk menikahimu," geram Bu Helsi menuju Hawa yang hanya diam membisu di tempatnya.
"Aku tidak pernah memaksa Adam untuk menikahiku tapi mau bagaimana lagi, kami saling mencintai dan menikah berdasarkan komitmen yang sudah kami buat 7 tahun lalu. Maafkan aku, Ma." air mata Hawa lolos mendengar ucapan mertuanya yang begitu menyakitkan.
"Jangan panggil aku Mama karena aku bukan Mamamu. Ingat baik-baik! Kau bukan menantuku. Aku tidak suka kau memanggilku dengan sebutan itu," teriak Bu Helsi. Emosinya meledak-ledak tidak terima pernikahan yang baru saja mereka laksanakan. Baru kali ini Adam membantahnya padahal dia anak yang baik dan penurut.
Pernikahan mereka adalah sebuah kutukan di keluarganya. Bu Helsi sungguh tidak menyukai Hawa yang sebatang kara hidup tanpa orang tua. Sesak didadanya semakin menggebu-gebu saat mendapati anaknya menikah tanpa persetujuannya.
"Maafkan Hawa, Ma." ujar Hawa sakit hati mendapatkan penolakan.
"Aku tidak akan menerima pernikahan ini wanita pembawa sial." Helsi tidak menyurutkan emosinya sampai kesadarannya hilang hingga jatuh di lantai. Semua orang yang menyaksikan pertengkaran mereka panik melihat Bu Helsi pingsan.