webnovel

Pernikahan Singkat

Karena tak ada restu dari orang tua, Adam membawa Hawa lari dan menikahinya diam-diam. Mereka pikir dengan pacaran selama 7 tahun dan memutuskan menikah adalah pilihan yang tepat. Adam yakin Hawa adalah tulang rusuknya yang memang di ciptakan untuknya, ia tidak menyangka pernikahan yang mereka idamkan akan kandas di tengah jalan, padahal usia pernikahan mereka baru 6 bulan. Masalah dalam rumah tangga kerap terjadi karena ego masing-masing. Seharusnya tak ada kata perpisahan di antara mereka, setelah menjalin hubungan bertahun-tahun. Seharusnya pernikahan mereka sehidup semati seperti Nabi adam dan Hawa sesuai dengan nama mereka. Bagaimana kisah selanjutnya? Baca terus kisah perjalanan mereka yang mengurai air mata.

Nursidah_Febrianti · Urban
Not enough ratings
7 Chs

Menggoda

Rasa frustasi mungkin bisa saja melanda semua orang apalagi melihat Ibu yang melahirkan kita terbaring di atas ranjang rumah sakit. Adam sungguh dilema dengan kejadian yang menimpanya hari ini. Dia bingung harus memihak siapa antara Hawa atau ibunya. Adam tidak menyangka dengan memilih menikahi Hawa akan membuat ibunya sangat kecewa padahal ia tidak bermaksud menyakiti siapapun.

Adam duduk di kursi ruang tunggu sambil memijit pelipisnya agar nyeri yang menyerang kepalanya segera hilang. Hawa sungguh merasa bersalah atas kejadian yang menimpa Ibu mertuanya.

"Adam apa kepalamu sakit?" Hawa bertanya sedemikian polosnya. Adam menoleh menatap istrinya yang masih mengenakan gaun pengantinnya. Ia tersenyum dan mengangguk pada wanita itu.

"Aku akan memijit kepalamu," ujar Hawa lagi ingin menyentuh pelipis suaminya. Sebelum tangan mungil itu mendarat di sana, Adam sudah lebih dulu menahan tangan Hawa lalu menggenggamnya erat dan mengecupnya singkat. Sontak mata Hawa membesar lalu tersenyum, terkejut mendapat perlakuan romantis dari Adam.

"Tidak usah, Sayang. Sakit kepalaku ini akan segera hilang hanya melihat senyummu." Adam menggodanya, membiarkan wanita itu mencetak semu merah di pipinya.

"Kau tidak pernah berubah Adam, selalu saja menggodaku."

"Ya, aku tidak pernah puas menggodamu karena kau sangat menggemaskan," ucap Adam menatap bola mata hazel milik Hawa yang berbinar. Hawa memeluk suaminya lalu menangis terisak dalam dekapan tubuh kekar itu. Tangisnya meluap begitu saja setelah menahan sejak tadi, hanya Adam tempat pelabuhan hati yang paling mengerti dirinya.

"A-aku minta maaf Adam karena aku Mama sakit, seharusnya kita tidak menikah tanpa persetujuan Mama. Dia pasti berpikir kalau aku yang meracuni otakmu untuk menikahiku." bulir-bulir air menderas di pipi Hawa, membasahi jas yang Adam kenakan.

"Ssssstt... Jangan menangis lagi sayang! Kau tidak bersalah, pilihan yang kita ambil hari ini sudah benar. Aku sudah lama menantikan hari dimana aku bisa menikahimu. Kau Hawaku, belahan jiwa Adam." lelaki itu turut menghibur hati Hawa yang gundah, mengelus punggung istrinya.

Sakit sekali melihat Hawa bersedih, semenjak mereka memutuskan menjalin hubungan. Hawa selalu murung dan sedih saat tahu Ibu Adam tidak menyetujui hubungan mereka karena Hawa tidak punya orang tua lagi. Kadangkala Bu Helsi menuduh Hawa kalau wanita itu pembawa sial. Orang tuanya harus meninggal secara tragis akibat menabrak truk sewaktu ingin menjemputnya di sekolah Hawa sewaktu kecil.

Hawa kecil yang tidak tahu apapun saat mengetahui orang tuanya telah tiada hanya bisa menangis dalam pelukan Radit, kakak kandungnya. Orang tua mereka meninggalkan banyak harta termasuk perusahaan yang Radit kelola sekarang, untung saja orang tuanya memiliki pengacara yang baik mengurus seluruh aset warisan di jaga sepenuh hati sampai mereka dewasa.

"Terima kasih, Adam. Hanya kau yang mengertiku selama ini. Jangan pernah tinggalkan aku!" seru Hawa menatap Adam yang terdiam sesaat menatap sorot mata kesepian di bola mata itu.

"Sampai kapanpun aku tidak akan bisa meninggalkanmu. Jadi, berhentilah menangis dan jangan pikirkan hal yang tidak-tidak." kedua jari Adam mengusap air mata yang membekas di pipi wanita itu. "Kembalilah ke rumah kita untuk ganti pakaian! Kau juga butuh istirahat, Sayang. Tunggu aku di rumah! Setelah Mama sadar aku akan datang kesana," pinta Adam memaksa wanita itu untuk menuruti perkataannya.

"Tidak, aku disini saja menunggu Mama bangun. Aku tidak mau pulang sendirian di rumah kita." Hawa bersikukuh tinggal di rumah sakit. Ia tidak mau Ibu mertuanya berpikir yang tidak-tidak karena pergi dari rumah sakit.

"Sayang, dengarkan aku! Semua akan baik-baik saja di sini. Aku pasti datang, dan tidak akan melewatkan malam pertama kita. I promise you," bujuk Adam agar Hawa mau menuruti keinginannya. Wanita itu hanya bisa menarik nafas panjang tidak ingin membantah perkataan suaminya.

"Tapi--"

"Apa perlu aku menciummu disini agar mau menuruti perkataanku? Jangan salahkan aku kalau sampai kau malu di lihat orang lain." hanya ini satu-satunya cara untuk mengusir secara halus istrinya. Adam menangkup kedua rahang pipi Hawa bersiap mendaratkan ciuman ganas di sana. Ia semakin mendekat dan benar-benar nekat ingin menciumnya.

Hawa mendorong jidat suaminya dengan jari telunjuknya agar pria itu menjauhkan wajahnya. "Jangan gila, Adam! Apa kau tidak malu menjadi tontonan semua orang." nyaris saja jantung Hawa melompat dari tempatnya.

Pria di hadapannya ini benar-benar tidak waras ingin menciumnya di rumah sakit. Mungkin otak suaminya sudah terbentur benda keras hingga lupa bagaimana rasa malu itu. Hawa sebaiknya memang harus pergi sekarang sebelum Adam menerjangnya.

"Kenapa harus malu mencium istri sendiri? Jika mereka iri melihat kemesraan kita, itu malah lebih bagus, memotivasi mereka yang jomblo untuk segera menikah mengikuti jejak kita," jawab Adam tanpa merasa bersalah sedikitpun.

"Sebaiknya aku pergi sebelum ambulance rumah sakit jiwa menjemputku sekarang karena mendengar ocehan berlebihan suamiku." Hawa memutar bola matanya jengah, kemudian berdiri memutar badannya meninggalkan suaminya.

"Kau melupakan sesuatu, sayang." Adam memegang pundak istrinya untuk berhenti melangkah. Hawa membalikkan badannya, Adam mengulurkan tangan, sebelum meraih tangan itu Hawa menepuk jidatnya karena ceroboh melupakan kewajibannya.

"Astaga, aku lupa." ia mencium punggung tangan Adam lalu pamit meninggalkan rumah sakit. Gaun yang di kenakan membuatnya gerah dan sulit melangkah. Hawa memencet tombol lift turun, tidak lama kemudian pintu lift pun terbuka lebar. Ia masuk perlahan, kebetulan Hawa sedang sendiri di dalam lift.

Pintu lift pun perlahan tertutup. Hawa terlalu asik melamun sampai lupa kalau ia sedang mengenakan gaun panjang dan setengah gaunnya terjepit di pintu lift padahal Hawa sudah merasa cukup hati-hati memasukinya. Ia menoleh kebelakang, tidak bisa melangkah lebih jauh lagi karena gaunnya terjepit di pintu.

"Sial, kenapa juga gaun ini sampai terjepit?" Hawa menariknya tapi tak kunjung lepas padahal pintu lift semakin rapat tertutup. Hawa memencet tombol agar pintunya terbuka kembali tapi tidak bisa.

"Siapapun di luar tolong aku! Hei, please buka pintunya!" hampir saja Hawa menangis mengutuki kesialan yang menimpanya hari ini. Lift tak kunjung bergerak, mungkin saja error.

"Tolong!" Hawa menggedor pintu lift. sambil berteriak kencang. Tak lupa juga memencet tombol emergency yang tidak jauh terletak dari tombol angka semua lantai rumah sakit.

Lelah meminta tolong Hawa terduduk terkulai lemas karena mulai merasa kepanasan di dalam sana.

Ting!

Akhirnya pintu lift terbuka lebar. Hawa mendongak ke atas melihat siapa orang yang membantunya. "Kak Radit!" girang Hawa menghambur ke pelukan kakaknya.

"Syukurlah, kakak datang menolongku. Aku hampir kehabisan nafas di dalam."

"Bukan aku yang menolongmu tapi dia," pungkas Radit menunjuk seseorang yang berdiri di sampingnya. Mendengar itu Hawa melepaskan pelukannya ingin melihat siapa yang menolongnya.