webnovel

Arsa cemburu

"Lo diem banget," protesku pada Arsa yang fokus menyetir tanpa sekali pun melirikku.

Tidak biasanya laki-laki itu bersikap seperti itu. Aku menyentuh pundaknya kemudian mengusapnya perlahan.

"Sorry, gue ngrepotin lo malam-malam begini," ucapku lagi.

Arsa mengangguk singkat tanpa repot-repot melirikku. Entah maksudnya bagaimana, tapi aku enggan berbicara lagi. Sisa perjalanan itu dihabiskan untuk mendengarkan radio dan mendengar suara penyiar yang terlalu cerewet.

Arsa langsung berpamitan menolak tawaranku makan malam bersama. Melihat sikap bocah itu yang mendadak kalem, aku rasa ada yang salah di sini. Namun, aku tidak memikirkan itu lebih jauh ketika ponselku berbunyi.

Intan mengajakku bertemu.

Tubuhku yang lelah tentu saja menolak ajakan itu. Namun, Intan bukan perempuan yang gampang menyerah terutama masalah itu menyangkut tentang Johan.

Aku menunggu perempuan itu di warung pinggir jalan tidak jauh dari rumahku. Alasan memilih tempat itu karena aku malas pergi terlalu jauh di tengah tubuhku yang letih.

Intan datang dengan Lexus putihnya kemudian memintaku untuk masuk ke dalam mobilnya. Padahal, aku lapar dan berharap bisa berbicara sambil mengisi perut. Namun, yang terjadi aku malah berdiam diri di mobil Intan dan melihat perempuan itu membisu tanpa sebab.

"Lo ada perlu apa cari gue?" tanyaku tak sabar dengan keheningan ini.

"Aku nggak tahu mau ngomong sama siapa," jawab Intan lirih.

"Lo bisa ngomong apa pun, tapi kalau soal Johan, gue sama nggak tahunya kayak lo."

Intan menggeleng. "Kamu tahu semua tentang Johan, Mol."

Aku terdiam.

"Kamu peduli sama Johan karena kalian sahabatan, tapi akhir-akhir ini dia buat jarak yang buat aku ngerasa ragu sama perasaannya. Kalau memang dia cinta sama aku, harusnya dia nggak perlu pakai cara menghindar. Harusnya Johan lebih tegas kalau di antara kita udah nggak ada yang perlu dipertahankan," ucap Intan muram.

"Pas kemarin lo nyusul ke Bandung, kenapa nggak ngomong gini ke Johan?" tanyaku.

"Aku nggak sempat ngomong karena Johan panik cariin kamu. Dia nggak peduli kalau aku lagi demam dan butuh perhatian dia."

"Alasan lo ke Bandung Cuma buat Johan perhatiin lo yang lagi demam?"

Intan diam berarti tuduhanku benar. Aku ingin tertawa keras melihat betapa bodohnya melakukan segala cara demi mencintai Johan. Sedangkan laki-laki itu tidak pernah kekurangan kasih sayang dari Intan.

"Lo nggak perlu ngajak gue ketemuan kalau masalah lo ada sama Johan," ucapku.

"Justru masalahnya ada sama kamu, Molly," balas Intan penuh penekanan.

"Kenapa sama gue?"

"Kamu ngerasa nggak kalau sikap Johan ke kamu akhir-akhir ini beda? Semacam dia nggak rela lihat kamu dekat sama laki-laki lain?"

Aku tidak memahami arah pembicaraan ini, tapi tetap mendengarkan topik menjemukan ini.

"Johan nggak pernah seketat itu sama aku, termasuk saat aku jalan sama cowok lain di hari perayaan hubungan kita. Johan nggak sepanik saat dia lihat kamu hampir ciuman sama cowok lain."

Kapasitas otak Intan entah sebesar apa membandingkan aku dan dirinya yang jelas-jelas berbeda. Kalaupun Intan hanya jalan bersama laki-laki lain, maka normal saja Johan bersikap biasa. Berbeda halnya denganku yang nyaris bercinta dengan Arsa di pagi Johan mendatangiku.

"Firasatku bilang kalau Johan suka sama kamu, Mol."

***

Aku dan Johan bersahabat selama puluhan tahun dan selama itu pula aku mencintainya secara sepihak. Mendengar Intan mengatakan bahwa kemungkinan laki-laki itu menyukaiku rasanya aku sangat senang. Namun, jalan mencintai Johan tidak semudah itu karena aku dihadapkan pada kenyataan Intan tidak akan melepaskan laki-laki itu apa pun masalahnya.

Aku mulai lelah bermain dengan hati dan berangkat ke toko bunga dengan wajah muram. Mood-ku semakin memburuk saat melihat Bima sudah duduk manis di sofa yang tersedia untuk tamu.

Melihat kedatanganku, Bima langsung menghampiriku sambil memberikan secangkir kopi yang sepertinya baru dibelinya.

"Pagi, Molly," sapanya ceria.

Kebetulan ada salah satu pegawaiku yang melintas membuatku segera menyerahkan kopi pemberian Bima padanya. Masa bodoh dengan protesan laki-laki itu karena kedatangannya membuatku ingin melempar wajahnya dengan serpihan kaca.

"Siang nanti ada acara nggak?" tanya Bima tidak peduli mengenai kopi yang aku berikan pada orang lain. "Kalau luang, lo mau makan siang bareng gue?"

Aku tidak menjawab dan memilih memeriksa ponsel. Sialnya tidak ada satupun notifikasi apa pun.

"Molly, gue ajak lo makan siang di warung bakso langganan lo dulu mau nggak?"

"Warung bakso langganan gue dulu bukan di sini tempatnya," ucapku tajam.

"Maksudnya gue mau ajak lo ke tempat itu pas akhir pekan. Lo mau?"

Aku sudah tidak tahan lagi dan ingin segera melempar Bima keluar dari tokoku. Namun, demi pelanggan yang akan menggunakan jasa toko ini, aku tidak bisa melakukan apa-apa. Selain mendengarkan cerita murahannya mengenai laki-laki itu beruntung mendapatkan Merlin.

Mengingat perempuan cantik itu, aku jadi kasihan padanya. Entah bagaimana menjalani harinya pasca menikah dengan Bima yang ternyata sangat bajingan. Cukup aku saja dulu merasakan betapa bajingannya laki-laki ini.

"Mbak, di depan ada yang nyariin."

Ucapan salah satu pegawaiku menyelamatkan situasi dari Bima yang hendak membahas tentang Merlin. Sebelum laki-laki itu mulai mendongeng, aku melangkah menuju pintu keluar.

Di sana aku melihat Arsa sedang berdiri di samping mobilnya dengan membawa paper bag. Aku kenal dengan merk paper bag yang dibawanya.

Kakiku mendekat dan secepat mungkin Arsa mendorongku masuk ke dalam mobil. Belum sempat aku protes, laki-laki itu sudah menghidupkan mobilnya meninggalkan tempat itu. Mungkin aku perlu menghubungi polisi dengan tuduhan penculikan, tapi anehnya aku hanya diam saja.

Arsa menghentikan mobilnya di sebuah taman khusus anak-anak. Lalu menyerahkan paper bag yang tadi dibawanya padaku.

"Mbak belum sarapan, 'kan?" tanyanya. "Nih, saya belikan donat langganan mama saya."

Aku menerima paper bag itu kemudian membukanya. Donat-donat itu terlihat menggiurkan, tapi Arsa lebih menarik ketimbang makanan manis itu.

"Mbak punya hubungan apa sama laki-laki itu? Saya lihat kalian lumayan akrab dan nggak canggung sama sekali."

"Lo cemburu?"

Aku bertanya sambil menggigit Donat dalam potongan besar. Kedua pipiku menggembung sesekali Arsa melirikku yang sedang mengunyah.

"Kalau saya bilang cemburu, apa mbak percaya?"

Aku menggeleng. "Cuma orang bego yang percaya sama lo."

"Jadi, selama ini mbak nggak pernah pecaya sama saya?"

Suara Arsa terdengar kecewa.

"Mungkin nggak," jawabku sambil mengusap bibir bekas gula-gula yang menempel.

"Kenapa mbak nggak pernah ngasih saya kesempatan?"

"Gue nggak pernah ngasih siapapun kesempatan," ucapku.

"Tapi mbak ngasih kesempatan laki-laki itu."

"Laki-laki apa?" Keningku berkerut dalam. "Maksud lo Johan?"

"Laki-laki yang tadi ngasih mbak kopi terus kemarin peluk mbak tanpa izin."

"Oh," sahutku malas.

"Cuma oh?" Arsa tampak tidak puas.

"Terus?"

Arsa mengembuskan napas kasar lalu merebut donat yang tersisa sedikit itu dari mulutku. Tanpa rasa jijik memasukkan potongan donat itu ke mulutnya.

"Asal mbak tahu, saya cemburu lihat kalian sedekat itu."

Arsa cemberut persis seperti anak kecil. Secara refleks aku mendekatkan wajahku kemudian mengecup pipinya sekilas.

"Jangan ngambek karena lo lebih cocok jadi bocah nakal," bisikku.

***