Arsa bukan tipe orang yang betah marah berlama-lama. Hanya dengan ciuman di pipi, laki-laki itu langsung luluh. Aku menarik napas lega melihatnya bersikap biasa saja dan tampak lahap menyantap donat.
"Lo persis anak kecil," ucapku sambil mengusap bibir Arsa yang belepotan menggunakan tisu.
"Saya kesal sama Mbak!"
"Lo nggak perlu marah cuma karena Bima."
"Oh, jadi namanya Bima?"
Aku mengangguk. "Dia cuma orang nggak penting."
"Saya nggak mau lihat mbak dekat-dekat sama dia. Setiap kali saya lihat dia ada di sekitar mbak, jangan salahkan saya bersikap kurang ajar," ucap Arsa.
"Ya, lo bisa hajar dia sesukanya."
"Nanti kalau lihat dia deketin mbak."
"Lo bawa gue ke sini, nggak kerja?" tanyaku memastikan.
"Paling-paling gaji saya dipotong," jawab Arsa sambil nyengir.
"Lo kerja yang rajin nggak usah malas-malasan."
"Saya rajin kerja kalau mbak Molly mau nikah sama saya."
"Kalau makan nggak usah sambil ngomong," ucapku sambil menimpuk kepala Arsa menggunakan botol mineral.
***
Setiap hari Arsa menjemputku dan bagusnya Bima tidak terlihat belakangan ini. Hari-hariku sedikit lebih ringan tanpa sekali pun mengingat bayangan Johan. Mungkin Arsa mampu mengalihkan perhatianku dari Johan.
Minggu berikutnya berlalu begitu cepat. Kesibukan di toko juga semakin padat akibat mengurus pesanan bunga yang akan digunakan untuk pernikahan Bima.
Selama seminggu ini aku mengabaikan keberadaan Arsa bahkan sering pulang larut malam dan membiarkan laki-laki itu menunggu di mobil. Pernah sampai ketiduran di dalam mobil membuatku tidak tega membangunkannya.
Alhasil kami berdua tertidur di dalam mobil dan terbangun keesokan harinya.
Hari-hari itu berlalu begitu cepat dan tanpa terasa pernikahan Bima semakin dekat. Aku sengaja tidak datang di pernikahannya dan mengalihkan masalah pesanan bunga itu pada pegawaiku.
Sengaja aku meninggalkan kesibukan di toko dengan menyewa sebuah villa yang jauh dari rumahku. Arsa yang mengetahui kegiatanku, tentu saja tidak tinggal diam. Sehari setelah aku menginap di villa itu, aku melihat kedatangannya dengan koper besar di samping kakinya.
"Saya mau liburan bareng mbak," ucapnya.
Masa liburan itu berlalu begitu saja dan ketika aku kembali pada rutinitas harian. Kedatangan Johan di toko bunga menyebabkan raut wajahku langsung berubah.
Pagi ini aku benci melihatnya berdiri di bawah cahaya matahari yang menyebabkan wajahnya bersinar. Johan mampu menarik perhatianku, bukan hanya dulu, tapi juga sekarang.
"Gue mau ngomong sama lo," ucap Johan membuatku tidak bisa menolak permintaannya.
***
"Apa Intan datangi lo?"
Aku menatap Johan sekilas, tampak enggan menjawab pertanyaannya.
"Mol, jawab pertanyaan gue."
"Kalau iya, memangnya kenapa?" tanyaku.
"Gue nggak mau dia ngerepotin lo," jawab Johan.
"Intan nggak ngerepotin gue."
"Lo nggak tahu semanja apa Intan dan semua hal yang dia mau harus dipenuhi. Gue nggak mau lo direpotin sama dia, Mol."
"Intan tunangan lo," ucapku mengingatkan. "Nggak perlu bahas kejelekan dia di depan gue."
"Gue cuma nggak mau lihat lo kenapa-kenapa, Mol."
"Gue baik-baik aja, Jo."
Seandainya Johan tahu aku tidak keberatan dengan Intan, tapi keberatan dengan caranya berbicara. Mungkin saat ini Johan tidak akan berkata seperti ini.
"Kalau Intan minta lo bantu dia atau apa pun itu, jangan pernah lo lakuin. Gue nggak mau lo terbebani sama sikapnya," ucap Johan sambil menepuk bahuku.
Aku tersenyum tipis sedikit lebih lega karena pertemuan kali ini tidak melibatkan begitu banyak emosi.
"Kalau ada apa-apa, lo bisa cari gue, Mol."
Aku mengangguk. "Gue baik-baik aja, Jo."
***
Johan menungguku hingga sore dan mengajakku makan malam bersama. Aku yang tidak memiliki kegiatan apa-apa langsung menyetujui ajakannya.
Hanya saja aku lupa mengenai Arsa yang biasa menjemputku. Ketika mobil Johan baru saja meninggalkan tempat itu, aku melihat mobil Arsa berhenti di depan toko.
Aku tidak sempat memberitahu Johan untuk berhenti karena mobilnya sudah melaju cepat melewati jalan raya.
Ponselku berbunyi pertanda Arsa menghubungiku. Johan melirikku sekilas, tapi tidak mengatakan apa-apa. Merasa bersalah, aku menjawab panggilan dari Arsa dengan harapan laki-laki itu tidak melihatku pergi bersama Johan.
"Mbak udah pulang, ya?" tanya Arsa begitu aku menempelkan ponsel di telinga.
"Gue pulang sama Johan," jawabku jujur.
"Johan yang waktu itu?"
Suara Arsa terdengar aneh, tapi aku tidak mau berpikiran macam-macam.
"Iya, Johan yang itu."
"Oh, oke."
Sambungan itu berakhir sepihak membuatku mengerutkan kening akan sikap Arsa yang kekanakan.
"Siapa Mol?" tanya Johan.
"Arsa," jawabku singkat.
"Lo masih berhubungan sama bocah itu?"
Suara Johan terdengar tidak suka ketika mendengarku menyebut nama Arsa. Entah apa yang menjadi penyebab sahabatku ini tidak menyukai Arsa sejak mereka bertemu.
"Dia lumayan baik, Jo."
"Lo nggak tahu sifat aslinya, Mol," ucap Johan penuh penekanan.
"Gue nggak peduli seperti apa Arsa karena gue juga bukan orang baik-baik."
Johan bungkam selama perjalanan menuju angkringan—tempat di mana kami akan makan malam.
Makan malam itu berlangsung lebih cepat karena Johan memiliki urusan lain. Aku berpikir mungkin saja Intan menjadi alasan itu.
Aku bungkam selama perjalanan pulang sementara Johan berusaha mengajakku berbicara. Semangatku menguap begitu saja dan suara radio terdengar lebih menarik ketimbang mengobrol dengan Johan.
"Gue ada kerjaan keluar kota habis itu ada yang mau gue omongin sama lo, Mol."
"Kenapa nggak sekarang aja?"
Johan menggeleng. "Gue masih punya urusan sama Intan. Setelah urusan gue selesai, gue baru bisa ngomong sama lo."
Aku tidak berbicara lagi, meski Johan berusaha memecah keheningan. Mendengar nama Intan langsung merusak suasana hatiku.
***
Johan langsung pulang menolak tawaranku untuk mampir sebentar. Tidak berapa lama suara mobil berhenti di halaman rumahku.
Arsa.
Aku mengetuk jendela mobilnya kemudian melihat betapa muramnya wajah bocah itu. Sepertinya akan ada drama panjang lagi.
"Hei," sapaku.
Arsa tidak menjawab.
"Lo marah, ya?"
"Mbak ngerasa saya marah atau bagaimana?"
Aku malah bingung menjawab pertanyaan itu.
"Saya cuma mampir buat mastiin mbak sampai rumah dengan selamat. Habis ini saya langsung pulang."
Arsa berniat menghidupkan mesin mobil, tapi aku dengan cepat masuk ke dalam. Susah sekali membujuk bocah yang sedang marah ini. Namun, aku sudah memiliki cara untuk meredakan kemarahan bocah itu.
"Gue minta maaf," ucapku.
Arsa diam.
"Akhir-akhir ini gue sibuk ngurus toko terus nggak sempat ngabari lo. Terus tadi gue sama Johan cuma makan malam buat bahas tunangannya yang pas itu ketemu sama gue. Kalau lo mau marah silakan, tapi gue nggak ngerasa bersalah setelah ini."
Arsa menarik napas berat. "Mbak tinggal bilang sibuk, saya paham."
"Masalahnya gue nggak ngerti caranya bilang sibuk kalau lo marah kayak gini."
Arsa menatapku. "Terus mbak mau saya gimana?"
"Berhenti marah terus cium gue."
"Hah?" Arsa tampak terkejut.
"Cium gue, bocah."
Arsa belum bergerak membuatku mengambil inisiatif menarik kerah bajunya. Lalu mencium bibirnya dalam-dalam.
Bujukan ini seharusnya berhasil karena aku merasakan Arsa membalas ciumanku.
***