webnovel

Instruktur Bela Diri

Redakteur: Atlas Studios

Pada pukul dua siang, di luar sebuah bangunan sederhana berlantai dua yang rusak dan tidak terawat di pinggiran Sektor Utara.

Klein, yang mengenakan seragam inspektur masa percobaannya, melihat kebun yang dipenuhi rumput liar dan tanaman merambat yang telah merambat ke atas dinding. Dia menolehkan kepala dalam keterkejutannya.

"Instruktur bela diriku tinggal di sini?"

Bukankah seharusnya seorang ahli bela diri yang dipilih oleh Burung Malam akan luar biasa ….

Leonard Mitchell, yang mengantar Klein ke sana, terkekeh dan berkata, "Jangan meremehkan Tuan Gawain karena lingkungan tempat tinggalnya. Meskipun dia tidak pernah dianugerahi sebuah gelar bangsawan, dia adalah seorang kesatria sejati pada masanya."

Setelah mengatakan hal itu, Burung Malam puitis, yang mengenakan kemeja putih, celana panjang hitam, dan sepatu bot kulit tanpa kancing, tiba-tiba merasa melankolis.

"Dia aktif pada zaman saat para kesatria memudar. Para prajurit yang mengenakan baju besi akan menyerbu barisan musuh meskipun terdapat tembakan senjata dan tembakan meriam, menghancurkan musuh-musuh mereka dan mengubah arah pertempuran. Namun sayangnya, mereka segera bertemu dengan penemuan senapan uap bertekanan tinggi dan senapan mesin enam laras. Sejak saat itu, para kesatria pun secara bertahap terpaksa mundur."

"Tuan Gawain juga mengalami nasib yang sama. Lebih dari dua puluh tahun yang lalu, Ordo Kesatria dari Kekesatriaan Awwa, menghadapi persenjataan paling canggih dari tentara Republik Intis … fiuh, setiap kali aku mengingat hal ini, aku seperti menyentuh tumpukan debu sejarah. Penyair di dalam diriku bergejolak ketika memikirkan suratan takdir yang tak dapat dibalikkan ini, namun sayangnya, aku tidak tahu bagaimana caranya menggubah puisi itu."

… Lalu apa gunanya mengatakan begitu banyak hal? Klein pura-pura tidak menyadari penghinaan diri Leonard dan memberikan sebuah saran yang serius, "Teman kuliahku pernah mengatakan kepadaku bahwa menulis puisi memerlukan tingkat bakat tertentu. Sebaiknya kamu memulainya dengan membaca Antologi Puisi Klasik Kerajaan Loen."

Suasana hati Leonard berubah begitu saja. Dia menjawab dengan nada yang ringan, "Aku telah membeli buku itu sejak dulu, dan juga judul-judul lainnya, seperti Puisi Pilihan Roselle. Aku akan bekerja keras untuk menjadi seorang Penyair Tengah Malam sesungguhnya, Tuan Peramal."

Apakah dia mengisyaratkan … metode akting? Klein menjawab, seolah-olah dia tidak bisa memahaminya, "Kamu juga masih membutuhkan buku tentang tata bahasa."

"Baiklah, mari kita masuk." Leonard mengulurkan tangannya dan mendorong terbuka gerbang besi yang setengah tertutup itu. Kemudian, keduanya mengikuti jalan menuju rumah itu.

Mereka masih cukup jauh dari rumah itu, ketika Klein melihat seorang pria jangkung berjalan keluar dari balik pintu utama.

Dia memiliki rambut pirang yang pendek, alisnya sudah mulai beruban. Raut wajahnya tampak seperti telah dirusak oleh usia, keriput-keriputnya terukir dalam di wajahnya.

"Apa yang kalian lakukan di sini?" pria tua itu bertanya dengan suara berat.

"Tuan Gawain, sesuai kontrak Anda dengan departemen kepolisian, inspektur dalam masa percobaan ini akan mempelajari seni bela diri di bawah bimbingan Anda," Leonard menjelaskan sambil tersenyum.

"Bela diri? Tidak perlu mempelajari bela diri di zaman ini." Gawain menatap Klein dengan mata yang keruh dan berkata dengan suara tanpa emosi, "Kamu harus belajar cara untuk mengeluarkan pistolmu dan menembak. Kamu harus menguasai persenjataan yang paling canggih."

Apakah ini trauma psikologis yang disebabkan oleh senapan mesin enam laras dan senapan uap bertekanan tinggi? Klein tidak memberikan jawaban yang sembrono; sebaliknya, dia tersenyum dan memandang Leonard.

"Seni bela diri masih merupakan keterampilan yang harus dikuasai oleh seorang polisi. Sebagian besar dari penjahat yang kami hadapi bukanlah mereka yang harus dieksekusi di tempat. Beberapa bahkan mungkin tidak memiliki senjata sama sekali. Dalam situasi ini, kami harus mengandalkan teknik bela diri," kata Leonard, tampak jelas sudah siap untuk menghadapi situasi ini.

Dengan ekspresi yang gelap, Gawain terdiam selama lebih dari sepuluh detik, sebelum berkata, "Lepaskan sebuah pukulan."

Dia berbicara kepada Klein.

Klein, yang tidak memegang tongkatnya, teringat akan pertandingan tinju yang pernah dia lihat di kehidupan sebelumnya. Dia mengangkat tangannya dan melepaskan tinjunya ke depan.

Bibir Gawain berkedut tanpa terlihat. Dia berpikir sejenak dan berkata, "Tendang."

Agak miring ke samping dan memutar pinggulnya, Klein mengencangkan otot pahanya dan menendang ke depan dengan kaki kanannya.

Uhuk … Gawain menutup mulutnya dan berdeham. Dia menatap Leonard dan berkata, "Aku akan menghormati kontrakku. Tetapi berdasarkan dasarnya, dia harus datang ke sini empat kali seminggu, tiga jam per pertemuan, untuk bulan pertama."

"Anda adalah ahli bela dirinya. Semuanya terserah Anda." Leonard mengangguk tanpa ragu. Dia tersenyum dan berkata pada Klein, "Sampai ketemu saat makan malam."

Setelah Leonard berjalan keluar dari gerbang besi, Klein bertanya dengan Penasaran, "Instruktur, bagaimana aku harus mulai berlatih? Meninju, atau melakukan teknik langkah kaki?"

Sebagai pejuang dunia maya yang mahir, dia memahami pentingnya teknik langkah kaki dalam pertempuran.

Gawain berdiri sambil bertolak pinggang, ketika dia menggelengkan kepalanya tanpa semangat.

"Yang kamu butuhkan sekarang adalah latihan kekuatan."

"Lihat itu? Itu adalah dua buah barbel yang terbuat dari baja. Mereka akan menjadi rekanmu untuk hari ini.

"Selain itu, kamu juga harus berlatih squat1 yang dalam, berlari, dan lompat tali. Mari kita lakukan satu set itu satu per satu."

Sementara Klein masih dalam keadaan linglung, Gawain tiba-tiba menaikkan suaranya dan berkata dengan tegas, "Mengerti?"

"Mengerti!" Pada saat ini, Klein merasa seolah-olah dia telah kembali ke pelatihan militer dan menghadapi seorang instruktur yang tidak manusiawi.

"Gantilah pakaianmu. Ada satu set pakaian latihan kesatria di atas sofa." Gawain tiba-tiba menghela napas. Dia berbalik dan berjalan menuju barbel baja yang berwarna hitam.

….

Pukul enam sore, di sebuah meja yang berada di sudut Restoran Will Tua.

Selain Frye, yang sedang menjaga Gerbang Chanis, semua anggota Perusahaan Keamanan Mawar Hitam hadir di sana. Ada enam orang Burung Malam dan lima orang staf sipil.

Taplak meja berwarna putih menutupi bagian atas meja panjang itu. Para pelayan membawa piring-piring makanan, membaginya per porsi, sebelum kemudian menyajikannya kepada setiap tamu.

Klein melihat steik yang dilumuri saus black pepper. Dia juga melihat daging babi asap, sosis yang dipasangkan dengan kentang tumbuk, puding telur, asparagus, dan keju spesial. Dia bahkan melihat sampanye berwarna merah mawar. Namun, dia sedang tidak nafsu makan. Pelatihannya sore tadi hampir membuatnya muntah.

Melihat Burung Malam yang tampak pucat dan baru dilantik itu dengan mata yang keruh, Dunn mengangkat gelas air anggur merah di depannya dan tertawa.

"Mari kita sambut anggota resmi terbaru kita, Klein Moretti, mari bersulang!"

Wanita berambut hitam yang tampak dingin dan tertutup, Royale Reideen, Tanpa Tidur Kenley White, Leonard Mitchell yang ceroboh, serta Penyair Tengah Malam, Seeka Tron yang berambut putih dan bermata hitam, semuanya mengangkat cangkir mereka dan menatap anggota baru tim mereka.

Klein melawan ketidaknyamanan akibat pelatihan tadi dan mengangkat gelas sampanye berwarna kuning sawo. Dia berdiri dan mengucapkan, "Terima kasih."

Dia mendentingkan gelasnya dengan setiap Burung Malam, memiringkan kepalanya ke belakang, dan menghabiskan sampanye yang hanya sedikit.

"Apakah Nona Penulis kita tidak akan mengatakan sesuatu pada kesempatan ini?" Dunn tersenyum seraya menatap Seeka Tron.

Seeka Tron adalah seorang wanita berusia tiga puluhan. Dia memiliki penampilan biasa saja, tetapi memiliki sikap yang luar biasa, yang tampak tenang dan tenteram. Ditambah dengan beberapa helai rambutnya yang mulai memutih, hal itu menambah sebuah pesona yang unik baginya.

Klein pernah mendengar Neil Tua menyebutkan bahwa Penyair Tengah Malam ini memiliki pekerjaan sampingan sebagai penulis dan telah berusaha untuk menyerahkan karya-karyanya ke berbagai koran dan majalah. Sayangnya, hanya beberapa koran tidak terlalu terkenal yang menerimanya.

Seeka tersenyum dan menatap Dunn.

"Untuk membuat istilah 'Nona Penulis' menjadi sebuah kenyataan, Kapten, aku pikir Anda harus memberiku sejumlah dana untuk menerbitkan sendiri hasil karya milikku."

Dunn tertawa.

"Kamu harus belajar dari Neil Tua dan memberiku sebuah alasan yang lebih cocok."

"Aku paling terkesan dengan Tuan Neil dalam masalah ini!" Rozanne menggema di sela-sela daging kambing panggang yang sedang dikunyahnya.

Di tengah-tengah obrolan dan tawa, Leonard menatap Klein dan berkata sambil tertawa, "Apakah kamu begitu lelah sampai-sampai kamu kehilangan nafsu makan?"

"Iya," Klein menghela napas.

"Kalau kamu masih belum menyentuh makananmu, aku bisa membantunya." Leonard bertindak seolah-olah dia tidak ingin membuang-buang makanan.

Klein tidak merasa keberatan. Dia mengangguk dan berkata, "Itu tidak akan menjadi masalah."

Dan dengan itu, sebagian besar makanan di depannya dimakan oleh Leonard dan yang lainnya.

Menjelang akhir dari makan malam tersebut, para pelayan menyajikan pring-piring berisi puding daging sapi dan es krim.

Klein mencicipi es krimnya dan mendapati jika es krim itu terasa dingin dan manis. Es krim itu sangat membangkitkan selera makannya.

Tanpa disadarinya, dia telah menghabiskan es krim yang ditaburi saus blueberry itu.

Dan sebagai akibatnya, dia mulai merasa lapar. Itu adalah sebuah rasa lapar yang menuntut untuk mendapatkan makanan untuk mengisi kembali energinya setelah mengeluarkan tenaga yang besar.

Menelan ludahnya sendiri, Klein mengalihkan pandangannya ke depan, hanya untuk melihat semua piring itu telah kosong. Tidak ada sisa makanan yang tersisa sedikit pun.

"Mari kita akhiri makan malam ini, dan bersulang untuk terakhir kalinya," usul Dunn.

Sebelum Dunn menyelesaikan kalimatnya, Klein bertanya, "Kapten, bolehkah saya memesan sepiring makanan lagi?"

Kelompok itu menjadi hening setelah mendengar permintaan seperti itu, hanya untuk dipecahkan dengan suara gelak tawa, tidak lama kemudian.

"Hahaha, akhirnya kamu sudah pulih kembali. Tidak masalah, pesanlah dua piring jika kamu mau." Dunn menggelengkan kepalanya dan tertawa."

Sambil menunggu waktu yang tak tertahankan dengan sabar, Klein mendengar perutnya keroncongan.

Akhirnya, steik dengan saus black pepper yang baru saja disiapkan, disajikan di hadapannya.

Garpu dan pisaunya menari ketika Klein menghabiskan steik setengah matangnya dalam waktu sembilan puluh detik, air mata hampir keluar dari matanya. Sari daging dan aroma dari sausnya tetap melekat di dalam mulutnya.

Beberapa saat kemudian, Klein menghela napas puas, ketika dia melihat piringnya yang sudah kosong. Dia meletakkan pisau dan garpunya, lalu menyesap sampanyenya.

"Pelayan, tolong bonnya." Dunn membalikkan badannya dan memanggil pelayan.

Pelayan itu pergi ke meja kasir, lalu kembali dengan bonnya. Dia memberi rinciannya secara lengkap.

"Anda telah membuka lima botol Sampanye Desi, masing-masing botol harganya dua belas soli dan tiga sen, segelas kecil Air Anggur Merah Desa Selatan seharga sepuluh sen … setiap steik daging sapi dengan saus black pepper harganya satu soli dua sen … setiap porsi puding daging sapi harganya enam sen, es krim harganya satu soli per porsi … totalnya jadi lima pound, sembilan soli, dan enam sen."

Lima pound, sembilan soli, dan enam sen? Itu hampir sebesar gaji mingguanku! Sebuah restoran memang jauh lebih mahal daripada makan di rumah! Klein mendecakkan lidahnya setelah mendengar itu. Dia merasa beruntung karena sang Kapten telah mengatakan bahwa dia tidak perlu membayar dari sakunya sendiri. Mereka memiliki sedikit uang tunai di kas kecil dari pendapatan bonus!

Dia menghitung biayanya dengan cermat dan menyadari bahwa harga hidangan yang paling mahal adalah alkohol. Lima botol sampanye berharga lebih dari tiga pound!

Hal ini tidak berbeda dengan di Bumi … Klein diam-diam mengusap perutnya dan meminum sampanye terakhirnya.

….

Keesokan paginya, Klein merasa buncit. Dia mencoba untuk turun dari tempat tidurnya dalam keadaan masih mengantuk.

Tepat saat dia mengerahkan kekuatannya, dia langsung terbangun akibat otot-ototnya yang sakit. Dia merasa seolah-olah tubuhnya tidak berada di bawah kendalinya.

"Benar-benar sebuah perasaan yang tidak asing … sama seperti hari itu, setelah kami dihukum dengan melakukan loncat kodok. Hari ini adalah hari liburku, tetapi aku masih harus mengunjungi pembimbingku dan melihat apakah aku boleh meminjam monograf mengenai puncak utama Hornacis dari perpustakaan di Universitas …" bibir Klein berkedut ketika dia berjalan keluar dengan susah payah.

Dia ingin menarik napas pada setiap langkahnya.

"Klein, apa yang telah terjadi padamu?" Melissa, yang baru saja keluar dari kamar mandi, memperhatikan kakaknya dengan curiga karena posturnya yang aneh dan gerakannya yang lambat.