webnovel

Pendekar Lembah Damai

Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. “Kang Wulung!” seru satu suara lainnya, “Apa tindakan selanjutnya?” Sejenak tak ada suara, hanya langkah-langkah kaki yang berderap kesana kemari. “Anak-anak! Bakar tempat ini!!!” perintah dari orang yang dipanggil dengan sebutan Kang Wulung, yang disahut dengan suara gemuruh banyak orang. Tak lama, suasana malam menjadi terang benderang dengan cahaya merah, Suro terdiam dibalik tubuh kaku Ki Ronggo, satu-satunya jalan supaya nyawanya bisa bertahan lebih lama adalah dengan diam tidak bergerak. Padahal ia berharap bisa mellihat wajah dan mengingat para penyerangnya, hingga kelak jika ia masih hidup dan berumur panjang, akan menuntut balas atas semua yang terjadi malam itu. Perjalanan seorang remaja, hingga dewasa di negeri yang jauh dari tempat kelahirannya. Takdir memaksanya menjalani hidup dalam biara Shaolin. Suatu saat ketika ia akan pulang ke kampung halamannya, ia harus bisa mengalahkan gurunya sendiri dalam sebuah pertarungan.

Deddy_Eko_Wahyudi · Aktion
Zu wenig Bewertungen
112 Chs

Kita Berangkat

Beberapa minggu kemudian, Suro sudah dapat menggerakkan tubuhnya dan mencoba untuk melatih anggota geraknya dengan berjalan, meskipun sambil sesekali mengernyitkan dahi karena masih merasakan sakit.

Biksu So Lai dan biksu kepala sudah memintanya untuk beristirahat penuh dan tidak melakukan aktivitas apa-apa, tetapi ia merasa cukup yakin akan kondisi tubuhnya sudah lebih baik. Harapannya, dengan melatih bergerak akan membuat bekuan-bekuan di setiap sendi tubuhnya bisa lancar, dan akan mempercepat proses kesembuhannya.

Targetnya adalah segera pergi dari tempat ia dirawat. Ia bermaksud untuk tidak berlama-lama berada di dalam kuil Shao Lin, semua itu dikarenakan rasa tidak nyaman sudah merepotkan semua orang yang ada di kuil itu.

Bagi Suro, sikap ramah para biksu dalam melayaninya dirasakan sangat berlebihan. Mereka sangat baik dan menghormati Suro meskipun berbeda dalam hal keyakinan.

Jika tidak ada peristiwa yang mereka alami, pastinya Suro sudah berada dalam pelayaran pulang kenegerinya membangun mimpi bersama Li Yun dan Rou Yi.

Ditemani Li Yun dan Rou Yi disamping kiri dan kanannya, Suro menyusuri jalanan yang cukup lebar menuju bukit yang terletak dibelakang Kuil Shou Lin, di mana waktu itu ia melamar Li Yun, meskipun dengan terrtatih-tatih, tetapi kedua gadis itu dengan sukarela dan wajah bahagia membantunya.

inar matahari tidak begitu panas menyengat menjelang tengah hari, ia merasa kelelahan karena perjalanannya menuju bukit belakang Kuil turun naik, tidak masalah jika tubuhnya dalam kondisi baik, tetapi kali ini cukup membuatnya berkeringat. Meskipun begitu ia merasa segar dan lebih baik.

Begitu sampai di tujuan, pandangan matanya takjub menyaksikan lukisan alam yang terhampar, dan ia merasakan syukur masih diberi kesempatan hidup oleh Yang Maha Kuasa.

Di bawah salah satu pohon yang rindang, Suro duduk diapit Li Yun dan Rou Yi. Mereka berdua tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya menikmati keadaan itu. Sudah lama mereka tidak berbincang-bincang seperti ini.

Suro dapat melihat dari sudut matanya, kedua gadis disampingnya menghela nafas puas dengan senyuman yang mengembang.

Ah, ia tak bisa membayangkan jika kedua gadis itu mati bunuh diri untuk menyusulnya. Fikirannya sudah merasa buruk jika sampai hal itu terjadi. Ingatannya sewaktu dalam keadaan tidak sadar dan berada di alam yang ia tidak tahu berada dimana membuatnya bergidik.

Jika hal itu terjadi, apa yang akan ia katakan pada kedua orang tua Yang Li Yun dan Tabib Hu, ayah Yin Rou Yi, padahal mereka sudah mengamanatkan harta mereka satu-satunya pada Suro.

"Maafkan kakak sudah merepotkan kalian," Suro berujar.

Pemuda itu merasa sudah membuat kedua gadis itu sibuk dan lelah ketika merawatnya.

"Kakak jangan bicara begitu, sungguh kami tak merasa kerepotan," Li Yun menjawab.

"Benar, kakak tak perlu merasa sudah menyusahkan kami," kali ini Rou Yi menimpali.

Suro tersenyum, matanya memandang berkeliling sambil sesekali menarik nafas dalam. Ia merasakan kelegaan yang luar biasa. Beban yang selama ini seperti menghimpit dadanya sudah tidak ada lagi semenjak tewasnya Perwira Chou.

Untuk sementara....

Seketika darahnya berdesir, bagaimana jika ada orang di atas perwira Chou yang melanjutkan pengejarannya. Salah satu prajurit mereka yang lari bisa saja melaporkan ke pemerintah dan menceritakan tentang dirinya.

Memikirkan itu membuatnya kembali gelisah dan menarik nafas panjang.

"Semoga itu tidak terjadi," Suro mengatakannya lirih dan tanpa ia sadari. Ucapannya keluar begitu saja.

Meskipun lirih, kedua orang gadis yang berada di samping kiri dan kanannya cukup jelas mendengar kalimat itu. Tampak sekali mereka penasaran dan ingin tahu.

"Ada apa kakak?" Li Yun berkata, dan itu mewakili apa yang juga akan ditanyakan oleh Rou Yi.

Suro memandang ke arah Li Yun dan tersenyum kecil. Ia baru menyadari kalau ia baru saja mengucapkan kalimat yang seharusnya cuma ada dalam batinnya. Karena sudah terlanjur, maka mau tak mau ia mengatakannya.

"Semenjak tewasnya Perwira Chou, kakak merasa sangat lega dan berharap tidak ada lagi pasukan atau orang-orang yang akan dikirimkannya untuk menangkap kakak. Tetapi, ketika menyadari kalau Perwira Chou bukanlah satu-satunya pemimpin pasukan, kakak khawatir ada prajurit yang masih hidup memberi laporan kepada atasannya langsung, kemudian kembali melanjutkan pengejaran. Pasalnya, kakak adalah buronan pemerintah."

Li Yun dan Rou Yi mengangguk, ia membenarkan apa yang dikatakan Suro. Jadi, status mereka saat ini belumlah benar-benar dalam keadaan aman.

Raut wajah mereka kembali menampakkan kecemasan.

Merasakan aura yang berbeda, Suro sedikit merasa menyesal membuat kedua gadis itu kembali murung dan khawatir.

"Jikalau demikian, alangkah lebih baik kalau kita segera pergi meninggalkan negeri ini. Mengingat peristiwanya sudah beberapa hari yang lalu, pastilah berita kematian Perwira Chou sudah sampai di kerajaan," ucap Rou Yi.

Suro mengangguk, "Itu yang kakak fikirkan. Kakak khawatir, kuil Shou Lin juga berada dalam ancaman. Mengingat di dalam kuil ini, mata-mata pemerintah juga belum jelas."

"Apakah kakak dalam kondisi sekarang mampu untuk melakukan perjalanan kembali? Perjalanan kita akan menempuh waktu seharian." Timpal Li Yun.

"Insyaallah, kakak semakin hari merasa lebih baik. Kita bisa berangkat pagi-pagi besok," katanya.

***

Selesai sholat subuh, para biksu kuil Shao Lin sebagian menghentikan kegiatan rutinitasnya, dan sebagian lainnya berkumpul di depan pintu gerbang kuil Shao Lin melepas kepergian Suro.

Suasana begitu haru, tak ada satupun wajah mereka yang tidak bersedih, mengingat keakraban yang terjalin begitu erat antara Suro dan orang-orang dari kuil Shou Lin, membuat mereka tak kuasa melepas kepergian Suro.

Semalam, di Balai Seribu Budha Suro sudah menceritakan apa yang mengganjal dihatinya dan keinginannya untuk segera pergi meninggalkan daratan China dihadapan Biksu-biksu kepala, termasuk Biksu So Lai dan Ketiga biksu senior yang sering mendampinginya.

Meskipun terjadi perdebatan, akhirnya mereka semua maklum. Jadi dengan berat hati, mereka pun harus merelakan kepergian Suro lebih cepat.

Tak lupa juga Suro mengingatkan adanya biksu penyusup didalam kuil Shaolin dan meminta mereka untuk berrhati-hati.

Malam tak terasa, mereka semua sudah berada di atas kapal.

Cheng Yu langsung memerintahkan anak buahnya untuk melepas jangkar setelah semua persiapan selesai, perjalanan panjang mengarungi lautan akan segera dimulai.

Dengan hadirnya Suro di atas kapalnya, Cheng Yu merasakan memiliki dua perasaan yang bertolak belakang. Perasaan gembira dan perasaan kehilangan.

Perasaan gembira karena selama sebulan lebih hari-harinya berada di sisi Suro, sosok yang telah merubahnya dari penjahat menjadi baik. Ia akan bisa bercerita banyak dan bertukar pikiran mengenai apa pun. Tekadnya, ia akan memanfaatkan sisa waktu yang ada bersama Suro.

Tetapi, perasaan kehilangan karena setelah masa itu lewat, barangkali ia tidak akan pernah bertemu Suro untuk selamanya. Akan sulit untuk bisa menemukan Suro kembali jika pemuda itu sudah berada di negerinya.

Padahal sebelumnya ia sangat berharap kalau Suro bisa bertahan lebih lama di negeri China, makanya waktu itu ia mengatakan agar Suro memulihkan kesehatannya terlebih dahulu baru kemudian berangkat berlayar pada enam bulan kedepan.

Mengingat alasan Suro yang memang tidak bisa menunda lagi perjalanan mereka, ia tidak bisa apa-apa memberi alasan. Keselamatan Suro lebih penting dari pada keinginannya.

Setelah beberapa saat, kapal pun berlayar.

Menghadap meja, Cheng Yu duduk ditemani Suro, Tetua Huang Nan Yu, Yang Li Yun dan Yin Rou Yi. Ada beberapa cangkir dan sebuah teko berisi teh hijau panas serta beberapa makanan ringan yang terhidang di atas meja.

Mereka tampak menikmati suasana malam saat itu diterangi lentera yang sengaja dipasang mengelilingi tempat duduk sekitar mereka.

Bagi Li Yun dan Rou Yi, perjalanan ini merupakan sesuatu yang baru. Mereka seperti tak menyangka kalau lautan begitu luasnya. Wajah mereka nampak berseri-seri dan cantik, apalagi disaat hembusan angin laut mengibarkan rambut mereka yang terurai.

"Nona Li dan Nona Yi," Cheng Yu berkata sambil tersenyum melihat raut wajah mereka yang nampak ceria dan kagum, lelaki tahu kalau itu adalah karean mereka menikmati perjalanan ini, "Semoga kalian berdua tidak mabuk selama perjalanan ini, ya. Karena, jika sudah merasa mabuk, wajah-wajah kalian akan sangat jelek. Perasaan akan menjadi tidak enak dan karuan, dan pastinya kalian akan berharap agar lebih cepat sampai di daratan."

Selesai mengatakannya, senyum Cheng Yu bertambah lebar, seolah membayangkan kejadian mereka berdua dalam keadaan mabuk.

"Aku berharap hal itu tidak terjadi. Tapi sepertinya tidak akan terjadi sebab Rou Yi pasti memiliki ramuan untuk mengobati mabuk laut," Li Yun tersenyum sambil melirik ke arah Rou Yi.

Merasa mata Li Yun terarah padanya, Rou Yin tersenyum tipis. Ia tahu Li Yun mengajaknya bercanda.

"Memang aku memiliki ramuan untuk itu, tapi barangkali aku tak akan memberikannya padamu," Rou Yi berkata dengan bermaksud menggoda Li Yun.

Raut wajah Li Yun tenang menanggapinya, tetapi sudut bibirnya sedikit menaik, nampak kalau ia akan membalas apa yang diucapkan Rou Yi.

"Oh Ya? Tak apa. Jika kau tak mau membuatkannya untukku, kakak pasti peduli dan tak akan berdiam diri begitu saja melihatku dalam keadaan mabuk," jawabnya tanpa beban.

Rou Yi terdiam sesaat, nampaknya ia tak bisa segera menjawab ucapan Li Yun. Ia seperti orang yang kalah bertarung.

"Ramuan itu ada padaku, dan kakak Luo tak memilikinya. Bagaimana bisa kakak membuat ramuan itu?" akhirnya ia menemukan jawaban balasan.

"Ah, itu mudah sekali," Li Yun langsung membalas, "Aku akan meminta kakak untuk meminta ramuan itu darimu."

Lagi-lagi, Rou Yi tertegun, tetapi kemudian ia membalas, "Bagaimana kalau aku tak mau memberikannya?"

Li Yun kembali tersenyum, matanya menatap nakal pada Rou Yi. Rou Yi mendadak sudah merasa kalah, Li Yun pasti masih punya bahan untuk melawan ucapannya.

"Aku akan meminta kakak untuk merayumu. Pasti kau akan takluk dan memberikannya pada kakak," kali ini, senyuman Li Yun seperti senyuman jahat menantang Rou Yi untuk membalas ucapannya.

Jawaban Li Yun langsung menusuk hatinya dan membuat darahnya berdesir cepat, membuat wajahnya tersipu malu dan bersemu merah. Tak ada jawaban yang bisa ia katakan untuk membalas ucapan Li Yun, gadis itu menang telak.

Ah, soal silat lidah, Li Yun sangat jago! Rou Yi membatin.

Mendengar debat kedua gadis itu membuat Cheng Yu tak bisa lagi menahan tawanya. Ia seperti sedang menonton drama lawakan. Sampai-sampai air matanya keluar. Tak disangka Huang Nan Yu yang juga mengamati dua orang gadis yang sudah dianggapnya anak sendiri itu pun ikut tertawa.

Rou Yi yang merasa terpojok, langsung mencubit lengan wanita paruh baya itu.

"Ah, bibi. Kau tak perlu ikut-ikutan mengolokku," katanya dengan wajah semakin menunduk.

Huang Nan Yu cuma tersenyum sambil menggeleng-gelangkan kepala. Ia juga tak mampu membela Rou Yi, keponakannya itu.

Yang Li Yun di dalam keluarga Yang adalah seorang anak gadis yang ahli dalam bersilat lidah, bahkan ibunya sendiri pun terkadang hanya bisa mengelus dada bila berdebat dengan Li Yun.

Suro yang menyaksikan keduanya berdebat sampai merasa salah tingkah. Bisa-bisanya Li Yun mengatakan akan merayu Rou Yi demi memintakan ramuan untuknya. Tak ada sejarahnya ia bisa merayu seorang gadis, dan Li Yun pun tahu akan hal itu. Suro sangatlah pemalu!

"Pendekar Luo, anda sangat beruntung!" Cheng Yu mengatakannya sambil terus tertawa, lalu kemudian ia menangkupkan kedua tangannya, "Aku berdoa, agar kalian menjadi sebuah keluarga yang harmonis, dikarunia banyak anak dan cucu, murah rezeki dan panjang umur!"

Meskipun sambil tertawa, tetapi Cheng Yu mengatakannya dengan tulus, dan mau tak mau karena tidak ada yang perlu ditutup-tutupi karena kenyataannya Suro memang akan menikahi kedua gadis itu, ia pun meng'Amin'kan do'a tulus Cheng Yu sambil sedikit menunduk dan tersenyum.

Suro terlihat mendelik pada Li Yun, tetapi Li Yun menjulurkan lidahnya dengan cepat seperti anak kecil. Rou Yi yang melihat kelakuan Li Yun langsung menutup mulutnya agar tak terlihat tersenyum.

"Ha.ha.ha.... Sungguh aku yang tua ini turut berbahagia juga," Huang Nan Yu menyambung, kemudian memegang bahu Suro, "Tuan Muda Yang sangat beruntung mendapatkan dua orang gadis yang saling melengkapi satu sama lain. Nona Li Yun yang ceria, dan Rou Yi yang pemalu. Aku juga mendoakan kebahagiaan atas kehidupan kalian."

Suro tersenyum simpul.

"Aku mohon maaf jika nanti ada kalimat kurang berkenan dari adik Li. Mohon dimaklumi," Suro berkata.

Cheng Yu langsung mengayunkan tangannya, "Tidak-tidak, anda tak perlu khawatir begitu. Memang karakternya sudah terbentuk begitu dari lahir dan itu memang sudah menjadi kelebihannya. Tetapi aku rasa, bukankah karena karakter Nona Li Yun yang demikian yang justeru membuatmu menyukainya 'kan?"

Seperti Rou Yi sebelumnya, Suro tak bisa menyembunyikan rasa malunya. Tetapi sekali lagi, kenyataanya memanglah demikian. Salah satunya memang karakter yang dimiliki oleh Li Yun.

Untuk itu, Suro menjawabnya dengan mengangguk malu dan kembali tersenyum simpul.

"Tuan Cheng Yu sangat pandai membaca karaker orang, memang demikianlah adanya," Li Yun menyahut tanpa malu-malu dan percaya diri. Gadis itu memang suka bicara terus terang.

Sontak Cheng Yu tertawa nyaring sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, tetapi sebelum tawanya berhenti, air matanya keluar sebagai ungkapan kalau hatinya merasa sangat bahagia bisa berkumpul bersama mereka.

Ia menangis bahagia melihat Suro dan dua gadis calon isterinya itu.

"Aku.... Ah, mohon maafkan aku," Cheng Yu mengusap air matanya, berada antara tangis dan tawa, "Aku terbawa suasana. Aku... aku ikut merasakan kebahagian yang kalian rasakan. Sungguh aku sangat berbahagia."