webnovel

Aku Kenal Seorang Ulama

Malam berikutnya, mereka kembali berkumpul di tempat yang sama. Sepertinya Cheng Yu betul-betul bertekad memanfaatkan hari-harinya untuk bersama Suro.

Semakin-hari, Cheng Yu merasa kalau Suro dan orang-orang yang bersamanya bukanlah orang lain lagi baginya. Ia sudah menganggap mereka semua sebagai keluarga. Barang siapa menyakiti keluarganya, sama saja menyakiti dirinya, dan ia tak segan-segan mempertaruhkan nyawanya untuk melindungi Suro dan keluarganya.

Memikirkan itu, hatinya selalu merasa terharu, sampai-sampai meneteskan air matanya. Ia ingat pertemuannya pertama kali dengan Suro yang diawali dengan pertarungan. Jika saja waktu itu Suro adalah orang yang kejam, pastinya ia sudah mati dari dulu, dan hari dimana mereka berkumpul seperti saat ini tak akan pernah ada. Ia tak menyangka dari pertarungan itu telah merubah hidupnya 180 derajat. Ia tak pernah merasakan kebahagian seperti yang ia alami saat ini hidup sebagai orang yang baik.

"Kakak, langit malam jika dilihat dari tengah lautan ternyata nampak lebih luas, ya. Betapa diri ini sangat-sangat kecil dan seperti tak ada artinya," Li Yun berkata dengan kekaguman sambil kepalanya mendongak ke atas, dimana langit yang cerah tak menyembunyikan ribuan bahkan jutaan bintang bercahaya di atas kepalanya.

"Umm," Suro mengangguk, "Maka, berdzikirlah mengingat kebesaran Allah. Dari sinilah kita bisa menggunakan akal fikiran dan hati kita, menyatakan bahwa Allah itu Maha Luas, Maha Besar, Maha Indah. Inilah dzikir yang bisa menenangkan hati. Berdzikir berbingkai pikir, tadzakur berbingkai tafakkur."

Mendengar penjelasan Suro, Li Yun merasakan hati dan kulitnya bergetar, karena ia baru menyadari cara pemuda itu mengingat tuhannya. Tidak seperti dirinya selama ini, memandang bulan dan bintang dilangit sekedar menikmati keindahannya saja, tanpa berfikir keagungan penciptanya.

Dipandangnya begitu lekat wajah Suro yang memandang ke langit dengan penuh kekaguman pada pemuda itu. Ia kembali bersyukur, semua tragedi yang ia alami bisa berakhir seperti ini sehingga bisa mendapat pelajaran yang sangat berharga dari kekasihnya itu.

"Kakak Luo," Rou Yi berkata, "Barulah adik Yi tahu, mengapa kakak senang memandang langit. Kakak seperti sedang berdialog dengan tuhan. Sehingga, dengan demikian Kakak Luo selalu ada tempat untuk menumpahkan semua permasalahan dan sekaligus bisa merasakan perlindungan tuhan. Tolong beri kami nasehat..."

Gadis itu rupanya merasakan energi yang sama seperti yang dirasakan Li Yun. Kekaguman pada Suro juga terlihat dari tatapan mata dan senyuman diwajahnya.

Suro tersenyum, lalu memutar pandangannya berkeliling satu persatu dihadapan mereka semua. Ia menghela nafas panjang.

"Perlindungan Allah yang paling penting adalah diberi keteguhan iman. Perlindungan Allah yang paling besar adalah diberi kekuatan iman. Makin kuat iman, kita mau diapa-apakan tidak masalah. Jadi kalau ingin diberi perlindungan Allah yang paling kokoh adalah minta diberi kekuatan iman dan minta diteguhkan. Akal kita dicerdaskan juga dapat merupakan perlindungan Allah sehingga kita bisa bertemu dengan perlindungan Allah. Maka sering-seringlah berdzikir, mengingat Allah melalui ayat-ayat yang dihamparkanNya di muka bumi dan di langit dan juga pada diri ini.

Perlindungan Allah itu bermacam-macam, contohnya pada Perang Badar dizaman Rasulullah SAW, bukan hanya pasukan malaikat saja yang turun tetapi musuh juga jadi terlihat sedikit dimata kaum muslimin.

Musuh terbesar bagi kita adalah bukan makhluk, karena itu hanya alat, musuh besar kita adalah setan dan kawan-kawannya. Hal yang paling berbahaya bagi kita adalah bukan orang lain tetapi sikap kita sendiri. Sedangkan kalau tidak ada musuh tidak akan seru. Maka orang-orang yang berlindung kepada Allah pasti memuaskan dan nikmat, karena perlindungan Allah itu sangat luas, bisa terdeteksi bisa juga tidak terdeteksi oleh akal kita. Tidak ada yang tidak masuk akal, tetapi akal kita yang tidak sampai.

Kakak selalu berdo'a menitipkan keluarga kepada Allah. Dengan mengamalkan doa "Hasbunallah wani'malwakil Ni'malmaula wani'mal nashir". Dengan mengamalkan doa ini dan meyakini bahwa semua makhluk itu milik Allah. Dengan Allah-lah urusan kita serahkan. Berdiri, duduk dan berbaring ingat kepada Allah karena semuanya milik Allah. Sesuai dengan kisah Nabi Muhammad SAW ketika diancam untuk dibunuh dengan pedang terhunus, kata yang keluar dari mulut Beliau adalah "Aku berlindung kepada Allah".

Ini adalah ilmu hati, berbeda lagi dengan ilmu akal dan ilmu fisik, karena nanti kita tidak bisa mati konyol karena hanya yakin. Ini adalah jalan syariat untuk tidak konyol.

Tidak boleh keyakinan melemahkan ikhtiar, tidak boleh kegigihan ikhtiar memperlemah keyakinan. Jadi lakukanlah ikhtiar; tubuh 100% bersimbah keringat terus berbuat. Kita tidak bisa konyol dengan hanya berdiam diri dalam pertarungan. Ilmu hatinya sudah benar dengan keyakinan tetapi sunnatullahnya adalah berbuat lebih baik dari pada berdiam diri.

Sebuah kisah meriwayatkan ketika Rasulullah hijrah dan berdoa di goa Tsur, sahabat Abu Bakar merasa gentar, jawaban Rasul adalah "Jangan sedih sesungguhnya Allah bersama kita".

Jadi kita sempurnakan syariat, tubuh harus dimaksimalkan, otak juga. Dua-duanya akan menjadi ibadah. Tidak masalah jika kita mati terbunuh. Tidak ada yang kalah kecuali orang yang kurang iman. Kemenangan dan kekalahan hanya dipergilirkan."

Suro berkata panjang lebar.

Cheng Yu langsung berdecak kagum usai Suro memberikan nasehat. Itulah sebabnya mengapa dalam menghadapi musuh, Suro terus berjuang mati-matian meskipun sudah kehabisan tenaga.

Tak ada istilah menyerah dalam kamus hidupnya. Yang ada adalah terus berjuang dalam mempertahankan apa yang menjadi haknya.

Suro yang lembut di mata Cheng Yu nampak begitu tangguh dimata musuh. Kekagumannya seperti tiada habisnya. Ada kekuatan yang dahsyat berdiri dibelakangnya.

"Tuan Muda Yang, sungguh sejak pertemuan pertama kita, anda sudah membuatku takjub. Aku belum pernah bertemu dengan orang seperti anda yang konsisten memegang teguh keyakinan. Aku yakin, guru anda adalah orang yang bijak dan berwawasan luas," Cheng Yu berkata mengulas sedikit masa lalunya saat bertemu dengan Suro.

Suro tersenyum, mendengar kata guru disebut, ingatannya pada Ki Ronggo Bawu membuatnya merindukan sosok itu. Cheng Yu benar dan ia juga sepakat kalau Ki Ronggo Bawu adalah orang yang bijak dan berwawasan. Meskipun Cheng Yu belum pernah bertemu dengan Ki Ronggo Bawu, dan tak akan pernah karena beliau sudah wafat.

Tetapi ia merasa ketakutan ketika menyangkut pribadinya seperti dipuji oleh Cheng Yu.

"Aku hanyalah manusia biasa yang tak akan pernah bisa lepas dari dosa. Maka, aku merasa tak pantas jika dikatakan memegang teguh ajaran yang kuyakini. Sungguh aku tak berani menyatakannya, apalagi disaat aku tak memiliki tempat untuk mengungkapkan permasalahan yang kuhadapi seperti disaat guruku masih ada," katanya sambil mendesah.

Mendengar kalimat Suro malah membuat Cheng Yu semakin kagum.

"Tuan Muda Yang," Huang Nan Yu menyapa, sebelum melanjutkan ia menghela nafas dalam. Ada raut kesedihan di sana yang membuatnya seperti menyesal, "Seandainya ayah dan ibu angkatmu masih ada, betapa bahagianya mereka semua bisa melihatmu seperti ini. Bisa melihatmu tumbuh seperti pohon besar yang menjulang tinggi ke langit."

Wanita paruh baya itu menundukkan kepalanya beberapa saat dan tak ada yang mengusiknya, membiarkannya asyik mengenang masa lalu pengabdiannya pada keluarga Yang.

Tak lama kemudian, terdengar suara helaan nafas panjangnya sambil menatap ke arah Suro sambil tersenyum lega, lalu bergantian ke arah Li Yun dan Rou Yi.

"Sekarang, aku tak menyangka. Aku masih bisa mengabdi pada keluarga Yang yang baru," katanya sambil mengangkat tangannya dan menundukkan kepalanya.

Suro langsung mengibaskan tangannya, melarang wanita paruh baya itu menghormatinya secara berlebihan.

"Sedapat mungkin, kita harus bisa mengambil hikmah dibalik kejadian itu semua. Mereka sudah dalam kondisi yang terbaik di alam mereka, berkumpul bersama tabib Hu dan Kakak Tan Bu." Suro mengatakan dengan kalimat yang yakin seperti pernah menemui orang-orang yang ia sebut barusan, matanya berbinar-binar dan wajahnya pun berseri-seri hingga semua yang ada bersamanya bisa melihat.

Ketika mengatakannya, Suro membayangkan kejadian yang ia alami sewaktu dalam keadaan koma. Dan ia yakin demikianlah keadaan mereka kelak di akhirat dalam keadaan selamat. Wallahu'alamu.

"Tetapi Li Yun dan Rou Yi, mohonlah setiap saat agar kelak kita dimatikan dengan kematian yang baik...." Suro melanjutkan kalimatnya sambil memandang dua gadis itu bergantian.

"Waktu itu, kakak berteriak dengan bahasa yang kami tidak mengerti. Apa yang kakak katakan?" Li Yun langsung teringat ucapan Suro. Sudah lama ingin ia tanyakan, tetapi selalu saja lupa.

Suro terdiam sejenak, dahinya agak berkerut. Kemudian tersenyum simpul.

"Oh, pada waktu itu aku meminta kalian agar jangan mati bunuh diri," jawabnya sambil memandang keduanya bergantian. Tentu saja hal itu membuat Li Yun dan Rou Yi bingung dan bertanya-tanya dalam hati sambil saling pandang.

Bunuh diri? Kenapa harus bunuh diri? Apakah Suro bisa melihat masa depan ketika ia berada dalam keadaan koma, dan apakah memang mereka akan mati bunuh diri?

"Mengapa kakak berkata seperti itu?" Rou Yi bertanya penasaran.

Melihat kedua gadis itu nampak penasaran dan mendesaknya untuk bercerita, sejenak ia menjadi bingung. Ia merasa tak penting untuk menceritakan apa yang terjadi saat itu.

"Aku hanya takut kalian menyusulku...." Suro menjawab ringkas dengan senyum terkekeh.

Wajah kedua gadis itu langsung terlihat cemberut.

Malam semakin larut, tetapi perbincangan juga semakin seru sambil menikmati hidangan teh panas yang semakin dingin dan makanan ringan yang mereka persiapkan.

"Pendekar Luo," Cheng Yu berkata, "Anda pasti terkejut ketika tiba dinegerimu."

Suro menaikkan alisnya dan menegakkan tubuhnya sedikit, "Apakah semakin ramai?"

"Kalau ramai, memang ramai, tetapi di sana sudah ada seorang ulama yang tinggal tak jauh dari pelabuhan. Aku sangat akrab dengannya dan sering mengunjunginya. Namanya Kyai Rahmat."

Raut wajah Suro langsung berubah cerah, senyumnya langsung berkembang dan nampak malu-malu.

Cheng Yu yang faham akan perubahan raut wajah Suro dan senyumnya itu membalas dengan tatapan mata menggoda Suro.

"Ada apa dengan senyummu?" tanyanya dengan mata semakin menyipit.

Baik Li Yun maupun Rou Yi rupanya tak mengetahui apa yang terjadi, dan tak tahu mengapa kekasih mereka itu pun tampak begitu gugup menanggapi pertanyaan Cheng Yu.

"Oh, tidak. Jika memang sudah ada ulama di sana, pasti ada masjid, atau paling tidak Surau," Suro menjawab, meskipun demikian, kalimatnya masih terdengar ada yang ditutupi.

Cheng Yu semakin memajukan tubuhnya dengan cara melipat kedua tangannya dan meletakkannya di atas meja, sehingga posisi tubuhnya dengan Suro lebih dekat, membuat Suro semakin bertambah kikuk.

"Dan?" Cheng Yu seperti menunggu jawaban Suro.

Sementara, yang lain masih bingung melihat Cheng Yu menggoda Suro.

"Dan.... dan.... dan akhirnya kita bisa shalat berjamaah," jawab Suro merasa terbebas, "Lama sekali aku tidak melaksanakan shalat wajib dan Jum'at berjama'ah."

Suro menarik nafas lega, wajahnya seperti membayangkan sesuatu yang dahulu pernah ia lakukan sebagai rutinitas. Tetapi, Cheng Yu merasa Suro masih belum jujur mengatakannya. Bukan itu sebenarnya yang ada dalam fikirannya.

"Kalau masalah shalat berjama'ah, menurut yang aku tahu itu bisa dilakukan dimana saja meskipun tidak di dalam masjid. Tetapi ada hal utama agar semua ibadah yang anda lakukan bisa bernilai penuh'kan?" Cheng Yu berkata seperti menjebak.

Terdengar suara Li Yun meghela nafas panjang, ia seperti bosan dan tak sabar mendengar kalimat Cheng Yu yang seperti bermain tebak-tebakan.

"Ayolah tuan Cheng. Apa maksud kalimatmu itu?" katanya pada Cheng Yu, tetapi kemudian ia memandang ke arah Suro, "Kalau kakak tahu, apa sebenarnya yang dimaksud tuan Cheng, kenapa tidak langsung mengatakannya saja?"

Suro hanya bisa terdiam sambil menggaruk-garuk kepalanya.

Cheng Yu tertawa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu mulutnya terdengar berdecak beberapa kali sebelum ia mengatakan apa yang ada dalam fikiran Suro.

"Tentu saja, menikahkan kalian," jawab Cheng Yu singkat.

Jleb!

Suro langsung tersenyum cengengesan, karena apa yang dikatakan Cheng Yu memang yang ada dalam kepalanya saat ia merasa senang begitu mendengar ada seorang ulama berdiam tak jauh dari pelabuhan.

Meskipun ia bisa menemukan banyak ulama jika masuk lebih jauh ke daratan, tetapi ia fikir tak boleh lagi menunda waktu untuk menikahi kedua orang gadisnya itu. Lagi pula, terbatasnya waktu yang dimiliki oleh Cheng Yu dan anggotanya berada dikampung halamannya tak memungkinkan mereka untuk menghadiri pernikahan Suro.

Maka, adalah suatu hal yang baik jika memang ada ulama yang dekat dengan pelabuhan. Cheng Yu bisa mengundang ulama tersebut ke kapal untuk menikahkan Suro dengan Li Yun dan Rou Yi.

Li Yun dan Rou Yi nyaris terhenyak dari tempat duduknya. Wajah keduanya menampakkan kegembiraan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Next chapter