webnovel

Pair of Wings - Land of caged ukorian

Mika memang berbeda dari Ukorian, tapi Arrah berjanji bahwa dia akan bisa membaur. Perjalanannya bersama Arrah membawanya terpisah di negeri Ukora, Di Ukora para pemuda harus mengikuti seleksi untuk menentukan apakah mereka akan masuk ke Klan Aviator, Trainer, Magis atau yang paling menakutkan... klan Mentalis? Apakah Mika akan memilih untuk pulang saja ke dunia asalnya? karena tidak seharusnya dia terlibat terlalu jauh... tapi ada perasaan kuat yang menahannya untuk terus mencoba agar bisa terbang... Ya, terbang!!! anak manusia harus bisa terbang... di Ukora. ------------------------------------------------------------------------------------------- Sebuah cerita yang akan membawa kamu masuk ke petualangan fantasi, dengan alur cerita yang diluar dugaan. Ikuti terus kisah Mika di negeri yang terkurung, dan bagikan komentar serta dukungan kamu untuk penulis :)

Hendrawans · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
11 Chs

Tipo Amabi Pakal Pojums

Pagi itu dia terdiam diatas pijakannya, diatas sebuah batu yang memanjang keatas. Batunya berbentuk seperti batang pohon, dengan pondasi dibawahnya yang melebar, arahnya condong kedepan tepat menghadap kearah air terjun yang berada di depan.

Meski corak dan teksturnya tampak alami namun sepertinya batu pijakan itu memang ada disana sebagai tempat berpijak untuk mengamati keempat air terjun yang saling bersampingan dengan masing-masing warna air yang jernih.

Butir-butir lembut embun pagi yang menyelimuti dedaunan membuat udara disekitarnya sangat sejuk, meski cenderung lembab namun terasa sangat nyaman.

"Apa yang akan kita lakukan setelah ini?" tanya Mika pada Arrah yang sejak tadi berdiri disitu.

"Makanlah, setelah itu persiapkan dirimu" jawab Arrah sambil melemparkan makanan kearah Mika.

Mika mengacuhkan makanan yang diberikan oleh Arrah untuknya, dia kehilangan nafsu makan.

"Sebaiknya kau makan dan kumpulkan tenagamu dengan baik, kau harus memanjat ke atas salah satu air terjun itu" Jawab Arrah sambil menatap sekelilingnya.

Keempat air terjun itu berwarna putih, hijau toska, kuning dan merah muda yang masing-masing memantulkan cahaya matahari, air terjun tersebut bercampur menjadi satu berwarna perak berkilauan.

Suara burung-burung yang terbang mengelilingi sungai meramaikan pagi hari itu, sesekali mereka terbang mendekati Mika yang berdiri tepat ditengah, namun kemudian pergi menjauh seolah-olah ingin mengenal anak lelaki itu.

Air terjun itu turun dari tebing yang sangat tinggi, dengan setiap tebingnya dikelilingi oleh tumbuhan berwarna hijau muda yang tumbuh subur.

"Kenapa aku harus memanjatnya?" tanya Mika singkat sembari menatap dengan kagum kilauan air terjun tersebut.

"Untuk keluar dari sini kita harus melewatinya, gunakan akal mu dan lakukan satu per satu" Arrah lalu terbang keatas dan kemudian melayang mengelilingi Mika, dia mengamati dengan seksama setiap jengkal anak lelaki itu.

Suara jatuhnya air dari ke empat air terjun itu sangat berisik, mengiringi percakapan kedua orang tersebut.

"Dibalik air terjun itu adalah batas dari kerajaan Ukora, dan kita akan aman dari kejaran pasukan kerajaan yang memburumu semalam, dan ingatlah bahwa setiap air terjun memiliki jalannya masing-masing" Lanjutnya.

Arrah terbang keatas dan melayang menghadap Mika yang masih terdiam dipijakannya.

"Hmmm dia sebenarnya dapat mengajakku terbang keatas, tapi mengapa?" pikirnya sambil menghampiri salah satu air terjun tersebut.

Mika mengamati sejenak, dengan mengelilingi satu persatu air terjun tersebut. Didapatinya setiap air terjun memiliki empat buah bagian yang memotong disetiap tingkatannya. Sekilas keraguan sempat terbesit di dalam hatinya, apakah dia harus memanjatnya atau kembali ke danau tempatnya diselamatkan.

"Hei! Benar juga barangkali ada yang mau langsung memberikan petunjuk untuk pulang!" namun diurungkan niatnya setelah mengingat Hellhound semalam.

"Huh enak sekali jika memiliki sayap yang bisa membawamu kemanapun kau mau" hatinya tampak jengkel melihat tingkah Arrah yang tidak mau berterus terang

Mika lalu mendekati air terjun berwarna putih, karena terlihat lebih normal dibanding air terjun dengan warna lainnya.

"Aku akan mencoba yang satu ini" sambil menerobos air yang mengalir deras.

Dengan badan yang basah kuyup diraihnya akar yang tertanam merayap di dinding tanah. Akar ini menjulur naik keatas, berwarna putih kekuningan dan tampak kering meskipun terkurung dibalik air terjun.

Perlahan namun pasti Mika kemudian merangkak naik keatas, beruntung baginya dia pernah mengisi libur musim panasnya dengan latihan fisik.

"Baiklah, sudah seperempat aku memanjat. Sepertinya ini rongga yang aku lihat dibawah tadi" dengan cepat Mika sudah jauh naik keatas.

Dia tampak serius mengamati rongga tersebut, diangkatlah kakinya kanannya untuk melangkah lebih jauh pada sisi yang lainnya yang tampak lebih kuat dan stabil.

"Srak..." Terdengar seperti suara tanah yang pecah. Mika kehilangan pijakannya karena longsor, dia pun meluncur jatuh dari tebing.

Beberapa meter sebelum menyentuh tanah, seseorang menjamahnya dari belakang dan mengangkatnya.

Arrah! Dia menyelamatkan Mika dari kejadian fatal yang bisa merenggut nyawanya, namun Arrah kemudian hanya mendaratkannya kembali ditengah-tengah keempat air terjun itu dan tanpa berbicara. Arrah kemudian kembali ke tempatnya semula dengan tatapan dingin tanpa ekspresi sedikitpun.

Meski demikian rasa penasarannya semakin bertambah! Ya, Mika tidak peduli apakah dia mungkin akan mati pada percobaan berikutnya, bukankah memang tidak ada pilihan lain untuknya?

Kali ini Mika berpikir akan mencoba air terjun kedua, yaitu yang berwarna hijau toska, lagi-lagi karena lebih mendekati warna air pada umumnya.

"Baiklah, kali ini aku yakin!" seraya mendekati buliran air yang sama derasnya.

Belum lagi dia mendekati air terjun itu, langkahnya tertahan, seolah-olah ada yang menyita perhatiannya. Air terjun berwarna kuning tampak sangat menarik memantulkan cahaya matahari di atasnya.

Dia alihkan pandangan ke arah Arrah yang tampak sabar menunggu.

"Payah! Ekspresi wajahnya masih dingin, akan lebih mudah aku mengetahui mana air terjun yang tepat jika ekspresi wajahnya berubah setiap kali aku memilih!!" Mika berbicara pada dirinya sendiri.

Dengan keyakinan penuh dia menghampiri air terjun ketiga, kembali diraihnya akar yang ada dibaliknya. Kali ini membutuhkan waktu yang lebih cepat dibanding percobaan pertama. Mungkin Mika sudah mulai terbiasa, begitupun raut wajahnya mulai terpancar rasa percaya diri. Mika berusaha melewati rongga-rongga tebing dengan lebih berhati-hati.

"Kau mencapai ketinggian dengan lebih cepat dari saat kau memanjat pertama kali, Mika" Suara Arrah memecah gemerisik air terjun

"Apa yang dia katakan? Aku tidak mendengarnya dengan jelas sama sekali" gerutu Mika yang kemudian melanjutkan pendakiannya.

Sejenak dia berhenti untuk menatap ke sekitar tebing, dilihatnya ada semacam gundukan akar yang sewarna dengan tebing mengarah ke air terjun disampingnya. Entah mengapa setelah melihatnya hati Mika tergerak untuk segera turun kembali kebawah.

Bukan! Bukan karena takut, tapi dia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Disusurinya tebing itu, membutuhkan waktu lama untuk sampai turun kebawah, tapi Mika tahu bahwa setidaknya itu jauh lebih baik dibandingkan harus terjun bebas menghantam tanah.

Sesampainya dibawah, dia berdiri tepat ditengah-tengah sambil memandang megahnya air terjun didepannya. Dia kemudian berpikir mungkin ada kaitannya dengan apa yang diucapkan Arrah sebelum dia mulai memanjat.

"Hmm... setiap air terjun memiliki jalannya masing-masing" Mika bergumam mengulang kalimat yang diucapkan Arrah sebelumnya.

Dia pandangi satu-persatu keempat air terjun tersebut, "hehe..." selipat senyum merekah di wajah Mika seolah dia telah menemukan sesuatu.

"Aku tahu!" Mika berlari menghampiri air terjun pertama.

Kemudian Mika kembali memanjat dimulai dari air terjun yang terletak paling kiri tersebut, Mika sadar bahwa ini bukan tentang bagaimana kau memilih air terjun yang tepat, tetapi tentang bagaimana kau memanjat keseluruh empat air terjun tersebut, ya! keempatnya sekaligus.

Dengan yakin dia memanjat air terjun pertama, begitu tiba pada rongga pertama dia tidak melanjutkannya keatas, melainkan menyamping menuju air terjun disebelahnya yang berwarna biru.

Tangannya terlihat ragu untuk menyeberang "apakah pegangan ini kuat? apakah aku akan jatuh? Atau yang terburuk, Arrah tidak menolongku kali ini?" namun Mika telah membulatkan tekad untuk menunjukkan pada wanita menyebalkan itu bahwa dia bukanlah lelaki yang lemah. Kejengkelannya pada Arrah seakan menambah semangatnya untuk terus menyelesaikan tugas itu.

Keraguannya mulai hilang bersamaan dengan tangan yang berhasil menjamah akar yang menyilang diantara kedua air terjun tersebut, kemudian dengan penuh keyakinan dia menyusuri celah menuju air terjun selanjutnya. Mika pun terus menanjak untuk mencapai rongga air terjun kedua yang terletak lebih keatas persis mengulangi usahanya sebelumnya.

"Berhasil!" Mika tampak kegirangan.

Begitupun saat dia mencapai rongga berikutnya, secepat kilat dia menyusuri tebing untuk menuju air terjun ketiga. Setiap langkahnya terlihat semakin cepat, sepertinya dia mulai terbiasa.

Masing-masing air terjun memiliki rongga yang hampir sama lebarnya, dengan luasnya memungkinkan manusia untuk berpijak penuh diantara lantai dan atap rongga.

Rongga tersebut ditumbuhi beberapa tanaman hijau yang memanjang berbentuk silinder yang menutupi pandangannya kedepan. Seolah-olah hidup, tanaman tersebut berkurang panjangnya saat disentuh, sehingga mempermudah Mika untuk melihat pijakan pada rongga selanjutnya.

Sebelum menuju air terjun yang terakhir, Mika mencoba mencari keberadaan Arrah, namun dia tidak mendapatinya disana. "Hei! Kemana perginya dia?!"

"Masa bodoh, akan segera ku selesaikan permainan ini!" Mika melanjutkan usahanya untuk mencapai puncak tebing.

"Ya! Tinggal sedikit lagi aku akan mencapai puncaknya. Jika aku sudah menuruti perintahnya dia tetap tidak mau memberitahu ku lebih lanjut, aku akan mencari jalan pulangku sendiri" Sepertinya Mika akan berhasil.

Begitu tangannya menggenggam puncak tebing, kakinya sibuk mencari pijakan yang kuat. "Akan sia-sia usahaku jika aku terjatuh, bukan hanya itu saja, aku bisa kehilangan nyawa dan tak pernah kembali pulang" sepertinya pengalaman ini membuat anak yang pendiam itu berbicara jauh lebih banyak dari biasanya.

Mika berhasil mencapai puncak air terjun dengan keadaan yang basah kuyup.

"Mika" terdengar suara Arrah yang telah menunggunya diatas.

"Mulai sekarang, langkah mu kedepan tidak akan semudah ini" Lanjutnya dengan nada yang datar.

"Apa katanya? Mudah? Coba sekali-kali kau lepaskan sayapmu dan mulai merangkak naik sepertiku tadi" Gerutunya di dalam hati.

Akan tetapi diatas air terjun itu hanya seluas beberapa langkah kaki saja yang disambut oleh tebih yang jauh lebih tinggi lagi mengelilingi sejauh mata memandang. Namun bagi Mika yang paling membingungkan adalah untuk apa Arrah memaksanya bersusah payah hanya untuk mencapai sebuah tebing lagi?

Mika membalikkan pandangannya, dari tempatnya berpijak dia bisa melihat sebuah negeri dengan cahaya gemerlapnya.

"Tipo Amabi Pakal Pojums" Arrah menyebutkan kata-kata yang sangat asing ditelinganya, seolah-olah dia bisa menebak apa yg sedang dipikirkan oleh Mika saat itu.

"Hah? Apa yang kau katakan?" Tanyanya masih memandangi kegelapan di depan matanya.

"Mereka adalah legenda dari dunia ini, keempatnya masing-masing saling meneruskan tanggung jawabnya dalam melindungi semua bangsa yang ada disini" Arrah menjelaskan

"Mereka telah menghilang sejak Gorian mulai berkuasa di Ukora" Kenangnya.

"Dan kau tahu? keempat kata tersebut adalah nama masing-masing air terjun yang kau lewati barusan, dan kau berhasil menemukan polanya untuk naik ke atas" Mika sedikit memahami apa yang di ucapkan Arrah, tapi tetap saja dia semakin bingung soal apa hubungan semua itu dengan dirinya?

"Boleh aku pinjam gelangmu lagi?" tanya Arrah yang langsung melepaskannya tanpa menunggu jawaban dari Mika

Dipakainya gelang tersebut, lalu Arrah meletakkan telapak tangannya di dinding sebuah batu besar yang ada ditengah-tengah ruang hampa tersebut.

Ditunggunya sesaat muncullah garis-garis disekeliling tangannya membentuk sebuah lubang yang semakin membesar, dan setelah lubang itu dirasa cukup besar, Arrah kemudian melangkahkan kaki masuk kedalamnya.

"Hei, mau kemana kita?" Mika semakin bingung saja.

"Keluar dari sini" Jawab Arrah sambil menarik tangan Mika. Dia khawatir jika dari seberang negeri Ukora ada yang memperhatikan mereka.