webnovel

Tiba Di Hutan Randle

Pagi hari telah tiba. Anwen dan Odette sedang mempersiapkan segala yang dibutuhkan di perjalanan dan saat tiba di Hutan Randle.

Makanan, air, baju ganti, dan senjata semua sudah siap. Anwen menghabiskan lima koin perak untuk membayar penginapan dan membeli semua perbekalan tersebut. Jujur saja Odette merasa sangat tidak enak hati karena Anwen membayar semuanya tetapi Odette benar-benar tidak punya uang.

Mungkin ada uang yang tersimpan di saku bajunya yang tertinggal di Green Castle tetapi uang itu juga tidak ada gunanya karena tidak berlaku di sini.

"Nah, sudah selesai!" kata Anwen sesaat setelah mereka selesai menata barang-barang di dalam sebuah tas ransel berwarna cokelat.

Odette membawa tas itu di punggungnya karena dia yang akan duduk di belakang.

"Baiklah, apa kau siap untuk petualangan yang luar biasa?"

"Yah!"

Anwen dan Odette melakukan highfive lalu mulai menaiki Dan. Pagi ini Anwen dan Odette terlihat lebih akrab. Mereka sekarang sudah menjadi teman dan mungkin perpisahan mereka akan menjadi hal yang sulit.

Dan telah berlari meninggalkan Kota Vibes. Sementara itu, Rion dan Trish masih terus melakukan pengejaran.

Hari demi hari berganti dan malam berganti malam. Dan berlari melewati desa, kota, jembatan dan perlahan-lahan mereka mulai memasuki area berkabut. Mereka telah tiba di depan pintu masuk Hutan Randle.

Saat tiba di sana, Odette terperangah. Dia merasa merinding. Atmosfef di hutan itu terasa mengerikan.

"Anwen, apa ini Hutan Randle?" tanya Odette lalu menelan ludah, tenggorokannya tiba-tiba terasa lengket.

"Um. Iya."

"Entahlah Anwen, tetapi hutan ini terlihat sangat tidak aman." Odette melihat pepohonan yang ada di depannya.

Pohon-pohon itu terlihat sangat besar, ukurannya jauh lebih besar dari pohon-pohon yang ada di hutan sebelumnya.

Bukan hanya pohon namun semua tanaman rambat dan semak-semak terlihat berukuran tidak wajar.

Sekarang Odette mencoba melihat jauh ke dalam hutan namun dia tidak bisa melihat banyak hal karena suasana di dalam sangat gelap.

Cahaya matahari yang terik tidak bisa menembus lebatnya daun dari pepohonan yang tertaut satu sama lain dan itu tidak hanya membuat keadaan hutan menjadi gelap tetapi dingin, lembab dan berkabut.

ROAARR!

"AAH! Apa itu?!" Odette yang terbengong menatap hutan terkejut dan langsung memeluk Anwen ketika mendengar raungan keras dari dalam hutan.

"Nona Ody, tenanglah. Itu hanya monster," kata Anwen enteng.

'Hanya monster katanya.' Dahi Odette membiru.

Matahari bersinar sangat terik, tidak ada setitik awan pun yang berani menghalangi sinarnya. Langit di atas sana benar-benar biru.

"Nona Ody kita sudah sampai sejauh ini, tetapi kalau Nona Ody berubah pikiran tidak masalah. Aku akan senang kalau Nona Ody tinggal di sini," kata Anwen dengan nada bahagia.

Odette diam. Dia terlihat menimbang-nimbang. Sebelumnya nyalinya sangat besar karena dia berpikir Hutan Randle sama seperti hutan yang ada di Panthera namun setelah melihat Hutan Randle secara langsung, nyalinya langsung menciut seperti kerupuk yang dicelup ke air.

Anwen memang telah mengatakan bahwa di hutan tersebut ada monster tetapi mungkin karena tidak pernah bertemu atau melihat monster secara langsung, dia berani memutuskan untuk pergi ke Hutan Randle.

Raungan makhluk yang tadi dia dengar dari dalam hutan terdengar sangat menakutkan, suara makhluk itu sangat besar sehingga terasa menggetarkan daratan. Ukuran makhluk itu pasti juga sangat besar.

Dia ingin sekali membatalkan niatnya untuk memasuki hutan dan menemui Aathreya si penyihir tetapi di saat terakhir dia teringat dengan Mia dan janjinya kepada pasiennya itu.

"Jadi bagaimana?" tanya Anwen.

Odette akhirnya menghembuskan napas kasar dan membulatkan tekad lalu mengangguk. "Um. Ayo kita pergi," ucapnya.

***

Sementara itu di puncak Gunung Randle, Aathreya sedang duduk di sebuah batu.

"Tangkap semua yang bisa kau temukan, jangan biarkan satu ekor pun lolos," kata Aathreya kepada peri kecil yang saat ini berjongkok di atas kepalanya.

Jika kau bertanya apa yang sedang peri kecil itu lakukan, maka Narine akan menjawab bahwa dia sedang mencari kutu atau lebih tepatnya dipaksa mencari kutu.

Sejak memutuskan tinggal di gunung, kepala Aathreya jadi sarang kutu dan sialnya Narine akan selalu disuruh mencari kutu setiap hari.

"Aathreya, ini sudah tidak bisa ditanggulangi, lebih baik kepalamu dibotak saja," kata Narine yang sudah capek membuka satu per satu kutu di rambut Aathreya tetapi kutu-kutu di sana tidak pernah ada habisnya.

"Berhenti mengeluh dan terus cari. Lagi pula kau itukan pengangguran jadi anggap saja ini pekerjaanmu."

"Tapi kau tidak menggajiku untuk ini," Narine menggerutu.

"Aku akan membayarmu dengan ucapan terima kasih."

"Tidak berguna."

Aathreya tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia yang sebelumnya menunduk, mengangkat kepalanya dan memandang hutan di bawah lalu tiga detik kemudian dia tersenyum. "Sepertinya kita akan segera kedatangan tamu," ucapnya yang membuat Narine menghentikan aktivitasnya.

"Huh? Siapa?"

"Gadis itu."

Narine terbang dan hinggap di bahu lebar Aathreya. "Maksudmu gadis yang kau kirim dari masa depan untuk membantu Raja Panthera?"

Aathreya merogoh saku dalam mantel hitam yang dia kenakan lalu mengeluarkan sebuah smartphone berwarna gold.

"Itu … apa?" tanya Narine penasaran.

"Ponsel," kata Aathreya lalu menghidupkan smartphone tersebut yang membuat Narine terperangah.

"Ba-bagaimana bisa? Apa ini semacam kotak sihir? Dari mana kau mendapatkannya?"

Aathreya tidak menjawab. Mata ruby-nya fokus menatap gambar seorang wanita berambut hitam dan bermata biru yang sedang menggendong gadis kecil berambut cokelat yang memiliki mata biru yang sama. 'Aku baru tahu kalau kau sudah meninggal,' batinnya memandang lekat-lekat wanita yang sedang menggendong gadis kecil.

Sementara itu, Narine terlihat terbang memeriksa setiap sudut smartphone tersebut, dia terlihat begitu tertarik apa lagi saat dia melihat gambar bunga yang berkilau yang ada di softcaas smartphone itu. "Aathreya dari mana kau mendapatkan kotak gepeng yang indah ini?"

"Ini milik gadis itu."

"Huh?" Narine menoleh menatap pria tampan di belakangnya. "Bagaimana bisa ini ada padamu? Apa kau mencurinya?"

"Tidak. Aku hanya mengambilnya diam-diam," jawab Aathreya enteng dan Narine hanya bisa menatap aneh.

Setelah perbincangan yang tidak berguna itu, Aathreya berdiri lalu menatap ke arah hutan yang terhampar luas di hadapannya.

"Apa yang gadis itu lakukan di hutan ini?" tanya Narine sambil terbang di atas bahu Aathreya yang lebar.

"Bertemu denganku."

"Kalau begitu aku akan pergi untuk membantunya." Narine sudah ingin terbang menuju hutan tetapi Aathreya berkata tidak perlu.

"Tapi Aathreya, di hutan ini banyak monster bagaimana jika dia dimakan monster? Atau terbunuh karena serangan hewan buas?"

"Yah, tinggal kubur saja, di sini masih banyak tanah," jawaban Aathreya yang super gamblang membuat Narine tidak tahu harus berkata apa.

***

Kembali ke pintu masuk hutan.

Ringkikan Dan menggema di sekitar tempat itu.

"Dan, ayolah jalan!"

Anwen sedang berusaha untuk membuat Dan berjalan tetapi kuda itu itu sama sekali tidak ingin meninggalkan tempatnya. Insting Dan pasti memberitahunya tentang bahaya yang ada di dalam hutan.

Anwen terus berusaha namun karena Dan tidak kunjung ingin bergerak akhirnya Anwen menyerah.

"Nona Ody, sepertinya kita harus berjalan kaki," kata Anwen.

Dia dan Odette pun turun dari kuda untuk memasuki hutan namun sebelum pergi, Anwen berbalik menghadap Dan.

"Tetaplah di sini sampai kami kembali, apa kau mengerti?" ucapnya yang mendapat anggukan kepala dari Dan dan membuat Odette terperangah melihatnya.