webnovel

Belajar Menembak

"H-Hei," bisik Lentera mencicit. Susah payah mengatupkan kedua tongkat jalannya untuk berdiri menopang dirinya di tengah jalan. "Itu Devan?"

"Iya," sahut Nanda polos. Menoleh ke orang satu-satunya yang berada di tanah lapang lantai basement. "Kenapa? Hari minggu semuanya selalu libur. Nggak ada yang di sini kecuali saya saat dibutuhkan dan tuan rumahnya sendiri."

"Bukan." Lentera mendekat lagi ke samping Nanda. Mencicit lagi separuh takut. "Kenapa dia nggak pakai kaus? Kan dia yang memanggil saya."

"Oh itu." Nanda mengangguk seolah mengerti maksud Lentera.

Iya, dia mengerti. Tapi tidak ada sedikit pun maksudnya untuk menanggapi maksud itu. "Dev! Hei!" teriaknya yang memantul di setiap sudut kecil. "Lentera tanya kenapa kamu nggak pakai kaus!"

Merah padam tercipta sebagai sulur-sulur indah di pipi pucatnya. Bagus, sekarang Lentera hanya ingin bersembunyi di balik kamarnya saja. Padahal berdiri saja susah, kini ia dapat kekuatan lebih untuk mengangkat tongkat jalannya demi memberi Nanda pelajaran. "Dasar kurang ajar."

"Itu besi, Len!" protes Nanda otomatis bergerak menjauh. "Oh, ayolah."

"Kalau ayolah seharusnya dari awal kamu nggak ngerjain saya, kan?" Terseok, tertatih pun, berkat Nanda sekarang ia bisa lebih lancar menggunakan tongkat yang diapit di bawah ketiaknya. "Sini nggak?"

"Kamu yakin mau kejar saya?" Senyuman usil nan mengesalkan itu terbit dari bibirnya. Satu demi satu langkah diambilnya mundur. Sebuah langkah lebar yang tak mungkin dijangkau Lentera. "Mau dicoba beneran?"

Lentera memelototkan matanya kesal. Gemas, tongkatnya sendiri sudah diacungkan tinggi. "Saya lempar aja mau nggak?"

"Hei, hei. Sudah," lerai Devan tahu-tahu ke tengah. Handuk panjangnya terlilit di kisaran leher gemilaunya. Kemerlap karena hujan keringat. "Kaki kamu, Len. Jangan sampai makin luka."

Acungan tinggi senjatanya itu diempaskan lagi sudut bawahnya ke tanah basement, menuruti peringatannya. Desisan Lentera mengingatkan Nanda untuk tidak macam-macam lagi. "Awas aja lagi. Siapa tahu jadi kamu yang makai benda ini, kan?"

Pemandangan langka melihat Nanda tanpa jas putihnya itu. Tengah bersiul-siul seakan menganggap omongan Lentera adalah sebuah hal lalu.

Tapi pemandangan lain baru disadari oleh Lentera saat berada tepat di depannya. Semburat yang menghilang tadi didorong lagi ke depan, memicu detak jantungnya yang tak karuan ini. Berdengung lebih dari rasa pusing yang dialaminya kemarin. Aroma kayu manis harum menelungsup lancang. Setiap orang yang dilewatinya pasti akan melayang.

"Udah bisa lancar pakainya?" tanya Devan yang ditujukan pada dua benda di sisi tubuh Lentera. "Kemarin kamu ngeluh-ngeluh terus?"

"Ya karena saya minta Nanda ambil kursi roda, dia bilang nggak punya!" tuduh Lentera berdecak sebal. Ekor matanya disipitkan curiga. "Terus dia minta saya buat pakai ini. Maksa. Gila, kan?"

"Nan," panggil Devan kilat. "Kamu kenapa nggak gendong dia ke sini aja?"

Nanda mengedikkan bahunya tak acuh. Dari basement seluas ini, yang dipilihnya adalah arena menembak di paling ujung. "Kamu minta saya memanggilnya dan jaga dia, Dev. Bukan buat bawa dia ke sini."

"Kan sama aja, Nan?"

Dari kejauhan Nanda terlihat mengibaskan tangannya. Dia tak ingin memperpanjang masalah. "Yang penting Lentera udah di sini. Lagipula dia nggak mungkin dua bulan nggak pakai kaki dia, kan?"

Gatal mulutnya ingin menyumpah serapahi sebebas-bebasnya terkhusus untuk Nanda. Ia kesusahan, mana ada pria itu membantu memeganginya? Tugasnya cuman memandang dari belakang saja. Kurang ajar, sekali lagi.

"Hei, udah." Jentikan Devan hadir di kening polos Lentera. "Jangan gampang dipancing sama orang. Mau dia bercanda atau nggak, abain aja."

"Pantes muka kamu datar terus," ceplos Lentera kesal.

"Apa?"

"Nggak. Nggak ada," tutur Lentera mengayukan lagi kedua tongkat itu bersamaan. Bergantian dengan satu kaki kebasnya. "Dan kamu … minimal kamu bisa pakai baju dulu, kan, sebelum memanggil saya ke sini?"

"Di basement ini selalu jadi arena olahraga saya dan yang lain, Len." Devan mengekori lambat. Persis seperti cara Nanda membuntutinya. Bedanya adalah Nanda tak sesigap Devan. Sedikit saja oleng, pria itu sudah merangkapi pinggangnya. "Panas. Lima menit kamu di sini saja sudah keringatan. Apalagi saya?"

"Terus tujuan kamu membawa saya ke sini?"

DOR!

Satu bunyi kencang itu menggema cepat. Menyebar layaknya roket yang melejit pesat. Suaranya kencang ..., juga mengingatkannya akan tragedi kemarin.

"Untuk ini." Gemuruh berisik itu berasal dari Nanda yang menargetkan papan berilustrasi tubuh manusia. Berhasil membolongi bagian yang tengahnya. "Devan mau kamu belajar menembak."

Terkaku, leher kepalanya bergerak serat ke kanan. "Maksud kamu ...?"

"Untuk berjaga diri, bukan membunuh, Len," tanggap Devan cepat. "Jangan salah paham. Saya nggak mau kamu pasrah seperti kemarin. Jadi lebih baik kamu belajar tentang ini sekarang. Kalau saya nggak ada, kamu lebih aman karena bisa mengandalkan diri kamu."

"T-tapi ...." Lentera bolak-balik mengarah pada Devan dan Nanda. Lalu, pilihannya jatuh pada Devan. "Kalau untuk melukai saya bisa pakai kekuatan saya, kan?"

"Kalau begitu, kenapa kaki kamu bisa tertembak, Len?" Devan menghela napas singkat. Melajukan lagi langkah mereka berdua yang terhenti di tengah lantai bersemen kasar ini. "Peluru itu lebih cepat daripada refleks kamu. Kapan dia menarik pelatuk, kamu nggak bisa menebak kecuali kamu teliti."

"Saya setuju jadi partner bukan untuk ini." Lentera masih berseru ngotot. Kala disodorkannya benda hitam itu oleh Nanda, ia masih menolak. "Jauhkan benda itu dari saya."

"Dicoba dulu, Len," bujuk Nanda.

"Kalian berdua nggak tahu apa yang saya rasakan!" Ekor matanya memunculkan kengerian sebelas dua belas dengan Devan. Urat-urat merah skleranya menyatakan betapa membencinya Lentera harus berhubungan dengan yang namanya senapan. "Kalian sudah terbiasa begini, terserah. Tapi saya tekankan saya nggak akan pernah terbiasa!"

"Devan nggak bisa setiap waktu ada di samping kamu, Len." Nanda berkata lagi. Sekarang dua orang mengelilingi Lentera. Pandangnya tertuju memperingati Lentera. "Ada kalanya kamu yang memancing, dia yang melakukan tugasnya dari kejauhan. Itu, kan, tugas kalian?"

Pupil Lentera bergerak ke Devan. Jadi pria itu masih menyimpan fakta yang sebenarnya? "Dev, please. Saya mohon."

"Saya setuju dengan Nanda, Lentera." Senjata berlaras itu diambil dari Nanda untuk diserahkannya pada Lentera. "Saya nggak mau ambil resiko dengan kamu yang terluka lagi."

Jadi, tidak ada yang membelanya? Baik Nanda maupun Devan masih menatapnya, mempertanyakan kapan Lentera mau mengambil benda yang difungsikan untuk melukai lawannya.

Kemarin, ia memang sempat menyesali tidak membuat kedua tangan pria itu lumpuh atau hancur. Tapi setelah benda itu diserahkan kepadanya, ia jadi bimbang lagi.

Kalau begini, bukannya lebih baik mati di tangan ayahnya?

"Ini airsoft gun. Kamu pakai ini dulu untuk latihan sebelum pakai yang asli, Len. Yang ini tidak melukai." Devan meraih tangan Lentera. Merasakan wanita itu tidak semenolak di awal. "Demi diri kamu sendiri."