webnovel

Masih di Sini

Nanda mengernyitkan keningnya. Lentera seperti ada dan tiada di ruangan ini. Napasnya normal dan lancar. Akan tetapi pandangannya tak menunjukkan demikian. Layaknya tidak ada orang di sini, transparan.

Pria itu menoleh pada orang yang menyandarkan keningnya jua di sandaran sofa. Kelelahan. "Dia kenapa?"

"Terguncang," jawab Devan dengan mata terpejam. "Bukan masalah besar."

"Bukan masalah besar?" ulang Nanda lebih mengetengahkan alis tebalnya. "Sungguh? Dia nggak tampak begitu."

"Lakukan tugasmu saja." Devan berkata menarik napasnya dalam-dalam.

"Tapi-"

"Nanda."

Suara berat itu mengunci tenggorokan Nanda. Tanda bahwa ia sudah masuk terlalu jauh ke urusan yang di luar kuasanya. Tanda bahwa Nanda harus berhenti di sana, jangan keterlaluan.

Sesuai kata Devan, Nanda mengangguk pelan. "Dia akan baik-baik saja. Semuanya normal. Kalau penyembuhannya cepat, kurang dari dua bulan dia sudah bisa seperti biasanya. Hanya saja, bekasnya nggak akan hilang. Kamu nggak masalah dengan itu, kan?"

Yang ditanya Lentera, yang bergumam Devan. "Dia nggak akan masalah sama hal itu. Oke, kalau ada situasi darurat lagi saya akan memanggil kamu. Terima kasih untuk hari ini."

Nanda menoleh sekilas pada Lentera. Tangannya terulur menyentuh pucuk kepala Lentera. "Cepat sembuh."

Lantas, kepergian Nanda membawa ekor mata Lentera mengikutinya. Pergerakan pertama setelah perang dingin sekian menit dengan pria di sana. Ekor jas putihnya melambai seakan mengatakan cepat sembuh juga untuk Lentera.

Devan menempati lagi tempat kosong Nanda. Dibaliknya ujung kursi itu demi menyangga lengannya yang terlipat. "Saya pikir ada yang mau kamu katakan pada saya, Len?"

Lentera kembali lagi seperti biasa pada sikap transparannya. Telinga ditulikan, mulut dirapakan. Kelopaknya nyaris tidak berkedip, bak tak bernyawa. Padahal Devan tahu sendiri Lentera mendengar apa pun yang dikatakannya. "Lentera. Kalau kamu ingin saya pergi dari sini, kamu harus berbicara, bukan?"

Orang itu seharusnya masih bersyukur Lentera menahan semuanya sendiri. Benar-benar semuanya. "Saya cuman mau kamu pergi. Sesulit itu?"

Devan menelengkan kepalanya sejenak, mengulas senyum kecilnya. "Saya ingin tanya tentang cara kerja kamu."

"Saya nggak mau jawab."

"Akan berbahaya untuk kamu kalau kamu nggak menjawab saya. Kamu harus tahu itu." Dalam jeda singkatnya, Devan mempersiapkan kalimat membekuk lainnya. "Saya nggak akan membiarkan kamu tertembak kalau tahu situasinya runyam begini."

"Jadi kamu sengaja?" Kini Lentera berganti mempelototi Devan.

Devan mengangkat bahunya tak enak hati. "Bukan juga. Saya lebih santai karena saya pikir kamu bisa mengobati diri sendiri. Tapi ternyata tidak. Saya juga panik, Len. Apalagi setelah luka itu … kamu obati."

"Intinya, saya minta maaf atas semua ini," ungkap Devan tulus. "Kamu belum siap, seharusnya saya dan kamu tahu akan hal itu."

Tulus …. Apa hal itu masih berlaku di diri Devan yang dilihatnya tadi siang? Mengingat wajah kuyunya yang kelelahan, pucatnya karena transfusi darah dalam jumlah banyak, seharusnya pria itu pusing, kan?

"Nah," ujar Devan lagi. "Jadi? Ingin atau tidak?"

Apa pun asalkan Devan tidak di sini lagi. Terserah saja. "Kekuatan saya ini berfungsi pada orang lain, bukan saya."

"Pernah mencobanya?"

Jari-jarinya bertautan, dimainkan selagi memikirkan kata yang tepat. "Mmm … ibu saya yang bilang begitu. Jadi saya tidak pernah mencoba."

"Ibu?" ulang Devan bingung. "Kamu punya ibu?"

"Kalau tidak, saya lahir dari mana?" tanya Lentera datar.

"Bukan, bukan. Maksud saya, kamu masih punya ibu?"

Tangannya bergerak menarik selimutnya sekaligus memerosotkan dirinya kala udara sudah berubah jadi dingin. Jawaban atas pertanyaan Devan adalah, ia tidak ingin menjawabnya. "Apa yang kamu ketahui tentang saya? Kamu memata-matai latar belakang saya, kan?"

Banyak dari Devan yang bisa ia duga. Tapi kenapa dari dulu ia menolak praduga-praduga yang bisa jadi benar itu? Raut menegang Devan bisa ia baca lagi. Pria itu tidak sedatar yang diperkiraannya. "Apa? Setelah ini saya tidak bisa kabur?"

"Kamu benar," desah Devan pasrah. Mengangguk kaku selain mengelus tengkuk dinginnya. "Saya memata-matai kamu. Tentang ayah kamu, apalagi setelah hari itu. Dan ya, kamu tidak bisa kabur. Tadinya saya ingin menggunakannya sebagai ancaman, tapi kamu sudah tahu duluan."

"Saya tidak akan kabur," ujar Lentera mengatupkan kedua mata jernihnya. Semoga saja ketakutannya terbayarkan dengan tidur. "Tapi berjanji jangan melakukan hal seperti itu lagi. Kabur entah ke mana, melakukan hal di belakang saya. Saya tidak suka cara itu. Diskusikan rinciannya dengan saya."

Tak habis Devan dibuat kagum oleh Lentera. Kalau tak mengingat mempertahankan kebuncahannya, bisa jadi Devan tersenyum lebar. "Yakin?"

"Tapi saya mau tahu dulu." Lentera mengintip tipis dari balik selimut tebalnya. "Kenapa orang itu dibunuh?"

"Ada yang menyuruhnya, Lentera."

"Alasannya?" desaknya ingin tahu.

Devan tampak ragu menyatakannya. Netranya hanya berpandangan tanpa jawaban. Bimbang jawab menjawab begini.

Sampai akhirnya napas keluarnya dibuang kasar. "Kamu tahu kenapa restoran itu ramai, Len?"

Lentera menggeleng pelan. Ia hanya bertugas mengantarkan, bukan membuat pesanan. "Nggak."

"Ada zat adiktif di dalamnya," ucap Devan memperhalus kata-katanya. "Kamu mengerti apa yang saya maksud. Salah satu pelanggan tetap mereka adalah putri dari orang yang menyuruh saya. Sampai di sini kamu paham?"

Lentera mengangguk, dengan Devan yang melanjutkan. "Dia kecanduan, padahal sebelumnya belum pernah mengonsumsinya. Setelah kecanduan, dia tertangkap karena zat itu. Penjara, lalu pusat rehabilitasi. Merasa namanya sudah buruk, dia bunuh diri."

Dia tercenung lama. Cukup lama sampai Devan berani melanjutkannya lagi. "Saya bilang saya memberikan perlindungan untuk yang membutuhkan. Karena memang itu yang terjadi, menurut saya. Selama orang itu hidup, apa putrinya bisa hidup tenang?"

"Saya pikir … kamu pembunuh berdarah dingin," gumam Lentera sekilas. "Maaf."

Devan terkekeh tipis. Sangat tipis sampai tidak terdengar. "Saya bilang itu pekerjaan. Bukan membunuh untuk bersenang-senang. Saya bukan psikopat, percayalah. Saya bisa sedih, bisa senang, bisa merasa bersalah."

Walaupun Devan tidak sesungguhnya demikian. Kebetulan saja kemarin orang itu menceritakannya meski Devan tidak bertanya. Kalau tidak, ia juga tidak tahu apa yang harus ia jelaskan pada Lentera.

Tapi sisanya, perihal perasaan, Devan memang merasakannya. Hanya menekannya kelewat dalam sampai sekitarnya sudah menghitam dan hampir punah. "Apa sekarang masih mau mengusir saya?"

"Iya," ceplos Lentera asal. "Wajah kamu pucat. Untuk apa masih di sini?"

"Memastikan kamu baik-baik saja," jawab Devan setenang air.

"Bahu kamu," celetuk Lentera lagi. "Apa sudah minta Nanda untuk mengobatinya?"

"Kamu sudah mengobatinya, Len," kata Devan menyungging mungil. "Nanda lebih baik tidak tahu luka itu. Aneh, kan, kalau saya menunjukkan luka yang separuh sembuh?"

"Tapi saya mengobatinya tidak total, Dev!"

"Hei," panggil Devan lembut. "Saya pernah melewati yang lebih buruk, ingat? Dan saya baik-baik saja. Masih di sini bersama kamu."