webnovel

Nisekai

Setelah keluar dari acara perpisahan, Fadil menemui Sang Kakek di dalam kamar. Beliau mewariskan Ajian turun-temurun yaitu Ajian Brajamusti. Setelah beberapa saat, beliau menghembuskan nafas terakhir. Semenjak mewarisi Ajian Brajamusti, kehidupannya perlahan mulai berubah. Tubuhnya yang kebal serta elemen api yang ia miliki, membuatnya terlindungi dari para penjahat. Suatu hari, ketika sedang menjaga warung ia membuka sebuah botol misterius berisi action figur. Munculah sosok Ras Bidadari bernama Sarah. Suatu ketika, awal fenomena kesurupan memunculkan makhluk misterius. Mereka berdua, bertemu sosok penyihir putih bernama Luna. Lambat laun, mereka tinggal bersama. Mereka membentuk sebuah organisasi yaitu Demon Killer. Fadil, Luna dan Sarah menjalani dua kehidupan sebagai Demon Killer, Mahasiswa berwirausaha sekaligus rumah tangga. Namun, tanda kebangkitan Raja Iblis Mamon membuat kehidupan normal dan Dunia diciptakan para Dewa terancam. Bisakah Fadil dan Demon Killer bisa menghadapinya?

Tampan_Berani · Fantasie
Zu wenig Bewertungen
195 Chs

Ikatan spesial

Sesampainya di kampus pemuda itu berjalan sempoyongan. Tak ada yang memperhatikan raut wajahnya kecuali Luna, gadis berambut putih memandam rasa cinta kepadanya dalam diam. Fadil duduk di bangku tengah sisi kanan, sedangkan Luna duduk berhadapan dengan meja Dosen. Ketika kegiatan kuliah berlangsung, Fadil secara diam-diam memperhatikan gadis itu. Begitu juga dengan Luna, mencuri pandangan secara diam-diam pada lelaki yang ia sukai. Hingga suatu hari, tanpa sengaja mereka saling berpandangan.

Raut wajah mereka berdua seketika memerah, lalu memalingkan wajah karena malu. Hanya saja, dengan raut wajahnya yang datar dan juga dingin, membuat teman sekitarnya tidak menyadarinya. Selesai perkuliahan, Fadil pergi menongkrong bersama temannya di kantin. Di sana dia melakukan kegiatan layaknya mahasiswa normal. Puas menongkrong, dia pergi ke lantai tiga untuk menikmati fasilitas WiFi kampus. Dia duduk tak sendiri, melainkan ditemani oleh gadis berambut putih walau jarak duduknya agak jauh.

Kedua headset terpasang di kedua telinganya, lalu dia mulai memainkan game kapal perang. Selesai bermain game, dia melihat-lihat senjata api pada layar ponselnya. Sejak lama, ia ingin mencobanya walau dalam satu tembakkan, namun kesempatan itu tak kunjung datang sehingga pada akhirnya dia hanya bisa melihatnya saja. Kemudian dia melirik ke arah gadis itu, namun betapa terkejutnya dirinya saat melihat gadis berambut putih duduk di sampingnya. Gadis itu, mengenakan headset pada kedua telinganya sembari menatap layar ponsel miliknya.

Kemudian dia menyadari akan penampilannya, sudah satu minggu gadis itu mengenakan baju yang sama saat pertama kali dia bertemu dengannya. Jantungnya berdegup kencang, raut wajahnya tersipu malu saat meliriknya secara diam-diam. Dia pun teringat perkataan Dimas, agar dirinya tidak menyia-nyiakan kesempatan dalam suatu hal penting. Tetapi melakukan hal itu, tak semudah membalikkan telapak tangan. Dirinya sangat gugup untuk berbincang dengannya, namun ia tidak ingin sekali lagi dan lagi membuang kesempatan.

Kedua tangannya mengepal kuat, lalu ia melirik gadis itu yang sedang memainkan ponselnya. Lidahnya seketika menjadi kaku, tapi ia terus memacu lidahnya untuk bergerak. Begitu juga dengan tubuhnya yang seketika menjadi kaku layaknya robot. Kemudian dia menepuk wajahnya dengan cukup keras lalu ia menatap gadis itu yang sedang memainkan ponsel.

"Rupanya, kamu main Modern Warship juga," sapa Fadil ketika melirik game yang sedang ia mainkan.

"Berbicara denganku?" tanya gadis itu dengan raut wajahnya yang datar, sembari melepas headsetnya.

"Iyalah, di sini hanya ada kita berdua."

"Oh begitu. Iya aku juga memainkannya," timbalnya sembari melirik ponselnya.

"Kita satu kelas, jadi boleh kita berkenalan?" mengajak kenalan dengan rasa gugup.

"Untuk apa? Aku sudah tau namamu. Namamu adalah Fadil Faturahman, tinggi 168 cm, berat 69 kg, asal Desa Kenanga bukan?" kata gadis berambut putih sembari memainkan ponselnya.

Sekilas, dia teringat dengan kehidupan gadis itu selama di kampus yang selalu menyendiri. Fadil menepuk wajahnya sendiri lalu ia menghembuskan nafas panjang sembari tersenyum.

"Dengar gadis gula, berkenalan bukan hanya sekedar mengetahui identitas seseorang. Tapi sebagai pondasi awal dalam membentuk sebuah ikatan," jelas Fadil.

"Maksudmu, kau ingin membangun sebuah ikatan denganku?"

"Iya," jawabnya.

"Ikatan yang sangat spesial, istimewa dan luar biasa dari yang lain?" tanya gadis itu sembari merangkak dan duduk di atas pahanya.

Sepasang insan saling mendekat, jantung lelaki itu berdegup kencang saat gadis berambut putih duduk di pangkuannya. Raut wajah Fadil semakin merah, kepalanya terasa pening dan ia berusaha mempertahankan kesadarannya. Gadis itu bertanya dengan pertannyaan yang sama, lalu ia mengiyakannya tanpa tau apa yang di pikirkannya.

Mereka berdua akhirnya saling berkenalan, penantian yang panjang akhirnya telah berakhir. Kini dia tau siapa nama gadis itu. Namanya adalah Luna Clara, seorang gadis keturunan blasteran asal Inggris.

Mamahnya adalah warga negara asal Jepang, bernama Tama Clara sedangkan papahnya bernama Erwin Clara. Mendengar nama papahnya, seketika dia teringat seorang namun tidak terlalu jelas. Begitulah sekilas info, tentang keluarganya yang ia ceritakan sendiri. Fadil berharap, semoga untuk ke depannya Luna tidak kembali menjadi gadis penyendiri.

Dua minggu lamanya, Fadil menjalani kehidupan sebagai mahasiswa Sastra Jepang. Semenjak perkenalan dirinya dengan Luna, gadis itu duduk tepat di sampingnya. Dia terus memandangi wajahnya hingga raut wajahnya memerah. Fadil sedang berlatih menulis kanji, dirinya merasa terganggu tetapi di sisi lain ia juga merasa senang. Pemuda itu penasaran, kenapa Luna memindahkan tempat duduknya. Biasanya, dia duduk nyaman berhadapan dengan meja Dosen, sembari berbincang dengan teman di sebelahnya.

"Luna kenapa kamu pindah kemari? Apa kamu sedang ada masalah dengan temanmu?"

"Tidak," jawabnya singkat.

"Terus kenapa kamu pindah?" tanya Fadil dengan rasa penasaran.

"Ingin melihat wajah Darlingku lebih dekat," balasnya membuat Fadil merasa seperti tertujuk oleh sebuah panah kebahagiaan.

Fadil pun mengatur nafasnya, lalu berpikir positif siapa tau panggilan Darling hanya untuk salam sapa untuk teman yang lebih akrab. Kemana pun dia melangkahkan kakinya di lingkungan kampus Luna pasti ikut. Dua pundak, saling bertempelan membuat dirinya semakin salah tingkah. Secara diam-diam teman sekelas, dan beberapa senior yang ia kenal membicarakan dirinya secara diam-diam. Fadil pun menjaga jaraknya, namun Luna terus menempel lalu ia pun berlari menjauhi gadis itu. Namun Luna terus mengikutinya, hingga akhirnya dirinya pun menyerah.

Mereka berdua duduk di bangku taman, tempat dirinya berbincang dengan sahabatnya. Nafasnya ngos-ngosan, keringat mengucur dengan derasnya lalu Luna mengeluarkan botol tupperware berisi air dalam tasnya.

"Minum Darling," kata Luna sembari memberikan botol.

"Thanks Luna, ngomong-ngomong kenapa kamu memanggilku Darling?" tanya Fadil tersipu malu.

"Darling, kamu lupa? Kemarin kamu bilang, bahwa kita menjalani ikatan spesial dari yang lain?"

"Iya, tapi bukan begitu maksudku?" timbalnya dengan raut wajah memerah.

"Oh, begitu. Tapi aku merasa, hatiku selalu menyatu denganmu. Sepertinya, aku akan terus memanggilmu Darling," timbalnya membuat Fadil salah tingkah.

Semenjak saat itu, Luna terus memanggilnya dengan sebutan "Darling". Gara-gara gadis ituambat laun, seluruh teman sekelasnya memanggil Fadil dengan sebutan "Darling-kun". Berkat adanya Luna duduk disampingnya, segala kesulitan seputar perkuliahan menjadi mudah. Luna selalu mengajarinya hal yang ia tidak kuasai. Kehidupannya yang kedua, ia merasa jauh lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Apa yang dia alami, ia ceritakan pada Sarah.

Sarah menatap cemburu, sedangkan lelaki itu terus bercerita dengan polosnya. Namun gadis itu, teringat akan pesan seseorang sehingga api cemburu sedikit padam. Dia penasaran, sifat asli penyihir itu lalu ia teringat oleh nomer ponselnya. Kemudian dia meminta Fadil untuk meminjamkan ponselnya.

"Buat apa?" tanya Fadil.

"Sudah berikan saja!" ujarnya sedikit memaksa.

Sementara itu, di sebuah rumah mewah pinggiran ibukota Luna berbaring di atas kasur. Kedua headsetnya terpasang pada telinganya, pandangannya menatap layar ponsel. Suasana kamar, bagaikan habis di serang angin topan membuat gadis itu tidak terganggu. Kemudian, sebuah nomer tak di kenal mulai berdering lalu Luna pun mengangkatnya.

"Hallo?"

"Ini aku Sarah," jawabnya.

"Manusia langit rupanya, ada perlu apa kamu menelponku?" tanya Luna.

"Sudah lama aku tinggal di bumi, aku ingin tau segala kehidupan dan teknologi di sini. Bisakah kita bertemu? Sekalian aku ingin berbincang banyak hal denganmu."

"Boleh, dimana dan kapan kita bertemu?"

"Bagaimana kalau lusa?" tanya Sarah.

"Mungkin setelah selesai kuliah, tapi dimana kita bertemu?" gadis berambut putih itu bertanya kembali.

"Di rumahku," jawabnya.

"Di rumahmu? Ok aku akan langsung datang, kalau begitu sampai jumpa."

Belum sempat Sarah memberitahukan lokasinya, gadis itu mematikan ponselnya begitu saja. Dia menatap layar ponsel di tangannya dengan terheran-heran. Bagaimana caranya dia datang tanpa kuberitahu alamatnya? Tanya Sarah dalam batinnya. Selesai menelpon ia kembalika ponsel di tangannya pada pemilik aslinya. Sarah pun memalingkan wajah, sesekali menatapnya dengan tatapan cemburu. Melihat hal itu dia merasa tidak enak, lalu ia mencari cara agar moodnya kembali.

"Ayolah jangan seperti itu, cerita apa aku berbuat salah?"

"Enggak."

Fadil pun terdiam, sembari menghembuskan nafas panjang tak tau apa yang sedang dipikirkan dan dirasakan. Sesekali melirik dan sesekali pula menbuang muka. Pemuda itu berpikir keras, walau pada akhirnya berakhir dengan mengibarkan bendera putih.

"Entah apapun itu, aku minta maaf. Tolong beritahu aku, apa yang harus aku lakukan agar kamu mau memaafkanmu?"

"Baiklah kalau begitu, malam ini dah seterusnya aku ingin tidur seranjang denganmu!" seru gadis itu dengan tersipu malu.

"Hah?!" ujarnya terkejut.

"Bagaimana?"

"Tapi kenapa? Bukannya lebih enak tidur di bawah?"

"Dasar kamu lelaki yang tidak peka. Sudah jangan banyak tanya, pokoknya aku ingin tidur seranjang denganmu titik!" timbalnya sedikit memaksa dengan raut wajah memerah.

Singkat cerita malam pun tiba, mereka berdua tidur di atas ranjang yang sama. Sarah tersenyum, sembari memeluknya dengan erat sedangkan Fadil menatap langit-langit dengan tersipu malu. Dia penasaran dengan apa yang terjadi hari ini, dan juga dirinya penasaran dengan siapa gadis itu menelpon. Pelukannya terasa nyaman, Fadil merasa hubungan mereka setingkat di atas. Di sisi lain, dirinya memikirkan kabar Si Rambut Putih. Sungguh membingungkan.

"Hei, apa yang kamu suka dari Luna?" tanya Sarah.

"Apa yah? Mungkin rambutnya yang putih, juga sifatnya yang unik."

"Sifatnya yang unik?"

"Di kelas dia itu dingin sekali, tapi ketika bersamaku ia sedikit banyak bicara. Terkadang dia juga perhatian, entahlah aku tidak tau. Mungkin jika kamu lebih dekat dengannya, mungkin kamu akan tau." Jelasnya sembari memeluknya.

Mendengar hal itu Sarah pun terdiam, ia semakin penasaran dengan sisi asli Si Gadis Berambut Putih. Mungkin setelah mengenalnya lebih dalam, dia akan tau sisi aslinya. Setelah mengetahuinya dia tau apa yang harus ia lakukan selanjutnya.