Night king : Kebangkitan Sang Kucing Hitam
Chapter 21 : Kikuk
"Ayo, kita bicara lagi dengan ayah," kata Lin Tian, yang mengalihkan topik pembicaraan mereka, tanpa menyadari bahwa panggilan telepon tersebut sudah diakhiri oleh Lin Pan.
Lin Tian memandang Lin Hua dan Lin Xiao secara bergantian. Keduanya tampak menatapnya penuh curiga. Lin Tian pun menelan ludahnya dan merasa sesaat lagi dirinya akan dicecar dengan banyaknya pertanyaan.
Lin Tian pun tersenyum canggung, beberapa saat lalu dia merasa mulai nyaman dengan lingkungannya sekarang, tetapi sekarang dia merasa dibebankan kembali.
Takut-takut Lin Xiao dan Lin Hua bertanya hal-hal yang aneh, Lin Tian pun mencoba mencairkan suasana dengan bersiul. Namun, yang Lin Tian lakukan tidaklah berhasil. Lin Hua dan Lin Xiao masih tetap memandanginya dengan tatapan penuh curiga.
"Kalian ini kenapa?" selidik Lin Tian semakin dipenuhi rasa cemas dan gusar yang menelisik memenuhi ruang sanubarinya.
Pelu mulai membasahi keningnya, dia mengelah napas dari waktu ke waktu dan beberapa kali menelan ludahnya karena tatapan Lin Hua dan Lin Xiao semakin membuatnya takut.
Lin Hua dan Lin Xiao saling berpandangan, sesaat setelah itu barulah terdengar suara tawa dari keduanya. "Hahaha, lihatlah! Kau ini kenapa, Kak? Mengapa kau ketakutan seperti itu? Ada apa denganmu, apa pertanyaanku itu sangat mengusik dirimu?"
Lin Hua pun mengangguk, hal yang sama pun ingin dirinya tanyakan pula pada Lin Tian. Namun, Lin Xiao sudah lebih dulu mengatakannya.
Lin Tian pun tersenyum canggung, dia terlihat menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Ada perasaan malu yang mengisi rongga dadanya sehingga dia merasa sulit untuk berkata-kata.
"Apa karena perkataan diriku yang mengatakan, bahwa kita mungkin saja bersaudara di kehidupan sebelumnya, yang sudah membuat Kakak diam?" telisik Lin Xiao, kembali membahas kalimat yang sesungguhnya membuat Lin Tian mati kutu dibuatnya.
Lin Tian tidak langsung menjawabnya, dia ragu untuk mengatakan bahwasanya dirinya seseorang yang telah mati dan saat ini sedang menjalani kehidupan yang kedua. Andai Lin Tian mengatakan hal tersebut, entah apa reaksi Lin Hua dan Lin Xiao nantinya?
Mungkin mereka akan tertawa, pikir Lin Tian yang semakin melalang buana.
"Sudah, sudah. Jangan mencecarnya dengan pertanyaan itu. Mungkin saja dia baru selesai menonton drama di tv, yang menceritakan tentang menjalani kehidupan kedua setelah mati," ucap Lin Hua berusaha mencairkan suasana yang sempat menegang itu.
Lin Hua bukan semata-mata untuk mencairkan suasana saja, tetapi dia bisa membaca pikiran Lin Tian saat ini sedang kikuk atas pertanyaan-pertanyaan yang terus mencecar dirinya.
"Benarkah itu, Kak?" tanya Lin Xiao memastikan.
Lin Tian mengangguk pelan, "Ya, benar. Tadi aku menonton drama bersama Lin Hua. Dramanya menceritakan tentang seorang pendekar yang mati dan akhirnya hidup kembali. Namun, kehidupan yang dia jalani sangat berbeda dengan kehidupan pertamanya."
Tanpa Lin Hua dan Lin Xiao sadari, kalimat yang baru saja meluncur bebas dari mulut Lin Tian, sebenarnya menggambarkan kehidupannya yang sekarang. Itu bukanlah karangan Lin Tian belaka, tetapi ceritanya tersebut benar adanya.
Lin Hua memicingkan matanya. Lin Tian sedikit membawa namanya dalam penjelasannya tersebut, yang sesungguhnya tidak benar adanya. Hal ini menimbulkan pertanyaan besar dalam benak Lin Hua. Benarkah yang Lin Tian katakan sekarang?
"Ah, jadi begitu ceritanya. Kakak, kau ini menonton film saja langsung terbawa perasaan, apa lagi nanti saat kau ditingkat kekasihmu, jangan-jangan kau akan langsung melompat ke laut," kata Lin Xiao dengan gayanya yang ceplas-ceplos.
Lin Hua segera mencubit pinggang Lin Xiao. "Aduh, Kakak. Mengapa kau mencubitku? Sakit tahu," gerutunya seraya mengerucutkan bibirnya.
"Aku tidak peduli. Lagi pula, kata-katamu itu ada-ada saja. Aku tidak akan membiarkan Lin Tian melompat ke laut hanya karena seorang gadis. Aku tidak akan memberinya izin untuk melakukan hal yang begitu bodoh."
"Memangnya di dunia ini hanya ada satu orang wanita saja sampai-sampai Lin Tian rela mati hanya untuk wanita itu? Tentu masih banyak wanita di luaran sana yang lebih menyayangi Lin Tian dan rela mati demi kebahagiaannya."
Lin Hua pun berbicara tanpa ada jeda. Jika sudah seperti ini, maka terlihat sifatnya yang ketus dan tidak mau kalah dari siapa pun.
Lin Hua telah menyelesaikan kalimatnya, barulah setelah itu Lin Xiao mendatanginya, merangkul bahu gadis ayu itu.
"Aku tahu wanita yang Kakak maksud itu?" selidiknya, seraya mengedipkan sebelah matanya dengan tingkah menggoda.
"Memang siapa wanita itu?" gumam Lin Hua dengan santai. Namun, ada sedikit rasa kekhawatiran yang mengusik pikirannya.
Lin Tian pun juga ingin mengetahui wanita yang dimaksud Lin Xiao. Melihat ada rasa antusias dari Lin Tian, membuat Lin Hua buru-buru menutup mulut Lin Xiao yang hendak mengeluarkan kata-kata nakalnya.
"Sudah, sebaiknya kita lupakan saja kata-kataku tadi. Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan saja?" usul Lin Hua. Kalimatnya ini sengaja dia katakan guna mengalihkan topik pembicaraan mereka.
"Jalan-jalan?" Lin Xiao mengulang kata terakhir dari kalimat Lin Hua, seraya mengelus dagunya yang agak lancip tersebut.
"Boleh saja. Aku setuju. Lagi pula, Ayah tidak akan marah jika kita pergi bersama. Bagaimana, Kak Lin? Apa kau setuju untuk jalan-jalan?"
Lin Xiao menanyakan apakah Lin Tian setuju dengan usulan dari Lin Hua. Sesungguhnya, Lin Tian ingin sekali pergi jalan-jalan dan dia sudah meminta Lin Hua untuk mengantarkannya jalan-jalan. Akan tetapi, selalu saja ada hambatannya sejak tadi.
Lin Tian sudah membuka mulutnya dan kalimat siap dia katakan. Namun, belum sempat dia menjawab Lin Hua sudah lebih dulu menarik tangannya.
"Sudah, jangan pikir panjang lagi. Jika, kita terus saja berdebat di sini yang ada nanti kita tidak pergi-pergi," tutur Lin Hua, seraya menarik tangan Lin Tian menuju salah satu mobil kesayangannya.
Mobil yang terparkir cukup jauh dari tempat mereka berdiri sekarang. Lin Xiao pun mengekor di belakang.
"Kamu ingin mengajakku kemana? Bukankah tadi kamu mengatakan kita akan pergi jalan-jalan?"
Mengetahui bahwa Lin Hua akan mengajaknya jalan-jalan, Lin Tian pun tampak mencari sesuatu. Ada hal yang dicarinya sejak beberapa saat lalu. Namun, tidak kunjung dirinya temukan.
Lin Hua tidak menjawab, dia terus menarik tangan Lin Tian sampai akhirnya mereka berhenti di salah satu mobil Ferrari keluaran salah satu negara terbesar di Eropa.
"Masuklah!" perintah Lin Hua, seraya membukakan pintu mobil miliknya tersebut.
Lin Tian pun tertegun, "Masuk? Masuk kemana?" tanyanya keheranan.
Lin Hua menepuk keningnya, sementara itu Lin Xiao terbahak-bahak. Dia tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa.
Lin Tian memicingkan matanya, "Apa ada yang salah dari pertanyaanku? Tadi kamu mengatakan kalau aku harus masuk, lalu aku harus masuk kemana? Bukankah kita akan pergi jalan-jalan? Mengapa aku harus masuk?"
Lagi dan lagi pertanyaan Lin Tian membuat Lin Hua geleng-geleng kepala. Lin Xiao yang berada di seberang mobil semakin terbahak-bahak mendengar kepolosan dari saudaranya itu.