webnovel

My Slave, My Servant, My Daughter

kisah tentang Pak Sumi, seorang intel kepolisian yang berhasil membuka kedok rumah Bordil dan menemukan hal yang lebih buruk daripada PSK (Pekerja Seks Komersial) yaitu menemukan seseorang yang akan merubah hidupnya untuk selamanya. kisah tentang keluarga, masa lalu, dan ambisi seorang anak. Kisah tentang suatu keluarga kecil yang berperan besar dalam beberapa kasus skala nasional, masa lalu yang penuh dengan intrik, persahabatan, juga kengerian dan kekejian, serta ambisi seorang anak untuk mendapatkan kepercayaan, cinta dan kasih sayang... ah dan juga tubuh. Cerita akan berkutat pada Marie dan Pak Sumi, lalu orang-orang yang terdekat seperti Bu Rati (Istri Pak Sumi), Tiga anggota daun Semanggi (Clover), dan tokoh antagonis. Apakah Marie bisa mendapatkan apa yang diinginkannya? berakhir bahagia atau tidak, itu semua pilihan anda, pembaca. *Penulis sangat tidak menyarankan untuk dibaca oleh anak-anak tanpa pengawasan Orang tua. Isi konten dan konflik cerita sangat mungkin TIDAK SESUAI untuk anak-anak (atau mungkin sebagian remaja baru). dimohon kedewasaan pembaca. **pict source: https://www.trekearth.com/gallery/Africa/photo1403560.htm

Cloud_Rain_0396 · Horror
Zu wenig Bewertungen
102 Chs

Kenyataan Pahit dan Khayalan Manis

Ada satu hal. Ada satu hal yang membuat Bu Rati mengakhiri telepon saat itu. Itu adalah Lili. Waktu itu Quora bergegas berlari ke arah pintu belakang sambil membawa seorang anak kecil, itu adalah Lili. Bu Rati terkejut dan langsung begitu saja mengakhiri panggilannya dan menghampiri Quora, terjadi 'per-cek-cok-kan' kecil di antara mereka. Quora membawa Lili ke dalam mobil dan menidurkannya di jok belakang. Lili tiba-tiba ambruk saat ditinggal Bu Rati bertelepon.

"Quora! Quora! Sebentar! Kamu mau pergi ke mana!?" Kata Bu Rati yang tahu Quora langsung menuju ke kursi pengemudi.

Bu Rati langsung mengikuti Quora yang sedang duduk di kursi mengemudi.

"Mau ke Rumah sakit, tidak lihatkah Bu Rati ini?" Kata Quora sambil memperlihatkan muka Lili yang pucat. Lili menutup matanya dengan mulut berbusa.

"Ah! Dia memakan ubi itu!" Kata Bu Rati.

"Sudah tahu begitu, ayo kita harus cepat ke rumah sakit! Aku sudah menyuruh polisi yang lain kesini." Kata Quora.

"Jangan! Tolong bawa Marie sekalian! Aku butuh bantuanmu untuk mengangkat infus dan alat bantu pernafasannya!" Kata Bu Rati.

"Bu, kau ingin aku kembali ke dalam rumah? Bagaimana dengan anak ini?! Kita tidak bisa membuatnya menunggu lagi! Nyawanya dalam bahaya!" Kata Quora meninggikan suaranya.

"Lalu apa? Kau mau membuat Marie menunggu dan membusuk disana ha? Cepat tolong aku dulu mengangkat Marie kesini." Kata Bu Rati.

"Bu," Quora bimbang.

"Tapi, setidaknya kita harus menyelamatkan satu nyawa daripada bertaruh untuk membuat dua-duanya tetap hidup dengan kemungkinan sedikit." Lanjut Quora.

Mendengar hal itu Bu Rati terenyak. Di satu sisi dia ingin Lili tetap hidup, Dia ingin membawanya ke rumah sakit sesegera mungkin. Tapi jika Ia lakukan itu kemungkinan besar Marie akan mati disana. Karena alat penunjang hidup Marie sudah pernah dicopot, Marie tidak akan bertahan lebih lama lagi. Tapi jika mereka kembali ke dalam rumah, Lili kemungkinan akan kehilangan nyawanya.

Di tengah kegalauan itu sebuah tangan kecil tiba-tiba memegang baju Quora dan menarik-nariknya dari belakang. Itu adalah tangan Lili. Anak itu berusaha bangun dengan segenap tenaganya. Quora menyadari hal itu dan menengok belakang, begitu juga Bu Rati, Wanita itu melihat ke dalam mobil.

"Tolong… Marie… to… Marie dulu." Kata Lili sambil tersenyum di akhir perkataannya.

Melihat hal tersebut Quora lalu berkata "Ya baiklah." Quora memalingkan muka.

"Tapi Bu Rati, anda tolong tetap disini bersama anak ini." Lanjut Quora.

"Lalu bagaimana caramu membawa Marie jika sendiri?" Tanya Bu Rati.

"InsyaAllah Bisa!" Tegas Quora.

Quora lalu beranjak dari kursi depan dan berlari masuk ke dalam rumah.

Bu Rati berteriak "Tolong hati-hati dengan badan Marie saat kau menggendongnya, tidak perlu berlari!"

"IYAA" Sahut Quora yang sedang berlari ke dalam rumah.

Bu Rati menunggu di mobil ia masuk mobil di jok belakang bersama Lili dan membawa Lili ke depan bersamanya. Jok belakang dipersiapkan Bu Rati untuk Marie. Mobil yang dipakai hanya ada dua jok. Kemudian Bu Rati membiarkan pahanya menjadi bantal untuk anak itu. Sejak mengatakan hal untuk menolong Marie, Lili masih terbangun. Mata mereka saling menatap. Bu Rati berusaha untuk tersenyum di hadapan Lili. Lili merespons senyuman Bu Rati dengan tersenyum pula. Bu Rati mengelus kepala anak itu.

"Lili, apa kepalamu sakit?" Kata Bu Rati sambil memperhatikan muka Lili.

"Tidak." Kata Lili.

"Begitu? Tak apa jika itu terasa sakit, tolong tunggu sebentar ya, kita tunggu adikmu dulu kesini." Kata Bu Rati.

Anak itu mengangguk.

Mereka menunggu Quora untuk mengeluarkan Marie dari kamarnya. Mungkin ada 5 menit mereka menunggu ternyata Quora memang bisa menggendong Marie bersama alat-alatnya dalam sekali jalan. Oleh Quora, Kasur (yang dapat di geser karena mempunyai roda dibawahnya) itu didorong keluar melalui pintu belakang. Pagar tanaman yang terbuat dari kayu dilepas untuk jalan Kasur itu beserta alat-alat kesehatan yang lain.

Kemudian Bu Rati menyadari jika mata Lili mulai sayu. Bu Rati merasa Dia harus berbicara dengannya dan menjaganya tetap tersadar.

"Kau tahu Lili. Lili itu nama bunga dalam Bahasa Inggris. Bunganya cantik, putih seperti Lili. Tapi Lili, dalam Bahasa Indonesia bunga itu apa namanya?"

Anak itu hanya menggeleng-geleng kepala.

"Bakung. Bunga bakung… itu bunga bakung… Hei Lili? Kenapa Lili menangis? Nak?" Kata Bu Rati.

"Lili… tidak menangis, Ibu yang menangis…. Jadi… Lili menangis juga." Kata anak itu.

Kenyataannya memang benar. Bu Rati tidak bisa menahan tangisannya. Air matanya merembes keluar ketika ia harus berbicara pada Lili.

Marie telah berada di mobil. Quora langsung menancap gas menuju ke rumah sakit. Sudah tak dipedulikan lagi oleh Bu Rati, entah itu pintu rumah yang masih terbuka, pagar tanaman yang copot atau tanaman hias milik Bu Rati yang rusak. Semua perhatiannya kini hanya kepada kedua anaknya itu. Di tengah perjalanan tangan Lili yang berada dalam dekapan tangan Bu Rati bergerak, mengisyaratkan jika Lili ingin berbicara.

"Ada apa nak?" Kata Bu Rati mengalihkan pandangannya yang semula ke jalan raya menjadi ke Lili.

"Tolong… selamatkan Marie." Mohon Lili.

"Itu sudah pasti! Marie pasti selamat, kamu jangan khawatir ya." Kata Bu Rati.

"Meski Aku tidak ada…" Lanjut Lili.

"Kalau Lili tidak ada? Lili, Marie pasti sedih jika kamu tidak ada." Kata Bu Rati.

"Lili… Lili dengar Marie butuh orang (yang dia maksud adalah organ), pakai saja Lili." Kata Lili.

Entah mengapa syaraf ingatan otaknya bekerja pada saat ini.

"Lili…." Bu Rati tidak sanggup melanjutkan bicaranya.

Air mata Bu Rati tidak bisa terbendung lagi. Dia mendekap tangan Lili dengan sepenuh hati dan mendekatkan kepalanya dengan kepala Lili.

"Lili… Ibu tidak mau kehilanganmu." Kata Bu Rati lirih.

Bu Rati sangat ingin berkata TIDAK pada tawaran Lili. Tapi Bu Rati juga menyayangi Marie, dan telah Bu Rati ketahui jika organ tubuh Lili cocok dengan organ yang dibutuhkan Marie.

"Lili tidak apa-apa, Ibu jangan menangis." Kata Lili dengan mata sayunya dan tersenyum.

Sampai Di Rumah Sakit Bhayangkara, Mereka langsung menuju ke ICU. Banyak orang mungkin akan membawa teman, keluarga, atau kenalan mereka yang sakit parah ke UGD atau IGD, tapi tidak dengan Bu Rati. Dia adalah dokter, apalagi suatu keniscayaan jika Ia adalah dokter di Rumah Sakit itu, tentu Ia dapat dengan leluasa keluar-masuk dan mengetahui ruangan mana yang cocok dengan keadaan putri-putrinya tersebut.

Hati Bu Rati menjadi lebih lega dari sebelumnya. Meski begitu orang itu masih harap-harap-cemas terhadap keadaan putri-putrinya itu. Kemudian ada telepon masuk dari Pak Sumi.

"Assalamualaikum, bagaimana pak?" Kata Bu Rati.

"Waalaikumsalam, iya Marie dan Lili, kamu.. ee… sekarang kamu ada dimana?" Kata Pak Sumi tidak beraturan.

Sangat jelas jika orang itu juga sangat khawatir.

"Aku ada di Rumah Sakit. Mereka ada di ICU sekarang. Seharusnya aku juga ikut masuk ke dalam ICU, tapi aku… aku masih ingin istirahat dulu, mungkin 5 menit kau baru masuk." Kata Bu Rati.

"Kenapa kamu juga masuk ke ruang ICU, memangnya boleh?" Tanya Pak Sumi.

"Pak... tolong jangan lupakan jika aku juga seorang dokter." Kata Bu Rati.

"Astagfirullah, ya kamu benar, maaf tapi semua ini membuat kepalaku pusing, Aku tidak bisa berpikir dengan benar sekarang." Kata Pak Sumi.

"Iya." Kata Bu Rati singkat.

Beberapa detik mereka diam. Mereka tidak tahu apa yang harus dibicarakan. Tapi, baik Pak Sumi maupun Bu Rati, keduanya tidak ada yang mengakhiri telepon. Mereka hanya ingin terhubung.

"Pak, tapi memangnya kalau di dalam pesawat boleh telepon?" Tanya Bu Rati.

"Tidak boleh itu bisa mengganggu sinyal menara ATC." Jawab Pak Sumi.

"Lalu kenapa?" Tanya Bu Rati.

"Kenapa Aku telepon? Meskipun sekarang ada co-pilot yang sedang cek-cok dengan Pak Warno karena Aku bertelepon, Aku masih ingin mendengar kabar disana, itu saja." Kata Pak Sumi.

"Tolong jangan bertingkah egois pak, kami baik-baik saja. Itu kabar disini. Sekarang Aku matikan teleponnya ya." Kata Bu Rati.

"Bu…" Kata Pak Sumi.

"Aku ingin kamu kesini dengan selamat, untuk itu tolong baik-baik saja di pesawat, kita bertelepon hanya akan mengganggu." Kata Bu Rati.

"Tapi aku.." Kata Pak Sumi.

"Pak, aku tidak ingin kehilangan Lili, Marie, apalagi dirimu, sekali lagi, Kami baik-baik saja disini. Tolong setelah sampai bandara secepatnya ke rumah sakit bhayangkara, Kami menunggumu disini." Kata Bu Rati.

"…Baiklah, aku tutup, tapi tolong jangan memaksakan dirimu, jika merasa capai istirahat saja. Assalamualaikum." Kata pak Sumi

"Waalaikumsalam." Jawab Bu Rati.

Meski begitu Pak Sumi masih tidak kunjung mengakhiri panggilannya, akhirnya Bu Rati yang melakukannya.