Lonceng kecil yang menggantung di antara daun pintu itu berdenting saat Naya mendorong pintu berwarna putih yang separuh bagian atasnya terbuat dari kaca. Diikuti Bentala yang sejak tadi berjalan di belakang Naya, wanita itu menoleh ke samping kanan dan kiri untuk mencari tempat. Namun, tak butuh waktu lama, bahkan sebelum Bentala yang notabenenya adalah seseorang yang mengajaknya untuk minum teh memutuskan akan duduk di mana. Naya sudah memilih sudut terbaik, tepatnya sebuah kursi yang berada sangat dekat dengan jendela kaca. Sehingga keramaian di luar sana tampak dengan jelas.
Pada akhirnya, Bentala pasrah dan mengikuti ke mana Nika memutuskan untuk duduk. Sehingga kini keduanya duduk saling berhadapan dalam diam, menunggu pelayan yang tak sampai satu menit sudah datang menghampiri mereka dengan buku menu.
"Dua espresso panas dauble—."
"Satu teh hijau tanpa gula," ucap Naya sukses membuat ucapan Bentala terhenti.
Lelaki itu sempat menatap Naya sekilas sebelum kemudian menyebutkan pesanannya sendiri berupa satu cangkir teh hijau tanpa gula, mirip dengan pesanan Nika. Setelah pelayan itu pergi membawa pesanan mereka, kedua insan itu masih sama-sama diam dengan keheningan yang rasanya memenuhi seluruh kedai kopi sederhana bernuansa vintage tersebut.
Dinding bagian depan lebih didominasi dengan kaca yang full dari langit-langit kafe sampai ke lantai. Temboknya berwarna putih beige dan cokelat terang menumbuhkan suasana nyaman u tersendiri untuk Naya yang sejak semalam sudah mengambil keputusan besar.
"Maaf, aku nggak terbiasa minum kopi," ucap Naya yang sekali lagi sukses membuat keruan tipis tercipta di dahi Bentala.
Bentala masih ingat dengan jelas, setelah beberapa kali ia bertemu dengan Nika, wanita dingin itu selalu memesan minuman pekat berwarna hitam lengkap dengan rasa pahitnya. Tapi, hari ini?
"Kenapa?"
Pertanyaan itu membuat Naya sontak menoleh ke arah Bentala dan keduanya saling melempar pandangan. Namun, satu lagi hal yang janggal, wanita itu tersenyum tipis pada Bentala.
"Aku punya maagh," jawab Naya pendek.
Sedangkan Bentala tak bersuara lagi, sebab kini kepalanya sudah bising dengan pertanyaan-pertanyaan tentang Nika yang baru saja menunjukkan sisi lainnya kembali. Bentala serasa dipeemainkan oleh kepribadian wanita satu ini.
"Silahkan pesanannya, Kak. Dua teh hijau tanpa gula." Suara seorang pelayan itu sukses menyeruk keheningan yang kembali terjadi di sana.
Kini dua cangkir teh yang sama-sama masih mengepulkan asapnya tersaji di depan mereka masing-masing. Cukup lama terdiam dalam keheningan, sampai akhirnya Naya yang sibuk mengamati teh di cangkirnya bersuara.
"Hidup emang sesuatu yang lucu."
Laki-laki yang baru saja menyeruput minuman hangat itu mengernyit setelah mengecap minuman yang dipesan Naya. Yah, meskipun kenyataannya ia sendiri yang memutuskan untuk memesan teh hijau. Bentala hanya latah karena sempat terkejut dengan pesanan Nika barusan.
"Apa sekarang kamu udah menyesali keputusanmu?" tanya Bentala.
"Soal?"
"Pernikahan kontrak."
Lagi-lagi kedua mata Ben menyipit mendapati Nika tertawa kecil. Ini benar-benar seperti bukan Nika. Wanita itu seperti seseorang yang dibangkitkan kembali menjadi orang lain.
"Mungkin enggak, dan mungkin aja iya."
"Kalau gitu, kenapa kamu mutusin buat tanda tangan secepat ini? Bahkan nggak ada poin tambahan lain dari kamu."
"Karena aku amnesia."
Diam.
Hanya itu yang dapat dilakukan Bentala mendengar jawaban dari Nika. Setelah sedetik kemudian laki-laki itu mendorong cangkir di depannya sedikit menjauh, Ben kemudian meletakkan kedua lengannya di atas meja. Tatapannya lurus pada sepasang manik hitam yang tampak tajam tapi juga terlihat kehampaan di sana. Sorot mata itu tetap saja sama, tapi segaris senyum sederhana itu tak sepenuhnya dikenali oleh Ben.
"Kamu ... beneran kayak orang yang berbeda."
"Apa bedanya? Pada akhirnya kita juga tetap aja akan menikah, 'kan?" Kini giliran Naya yang mengangkat cangkirnya ke atas.
Wanita itu memejamkan mata dan tampak menghirup aroma teh hijau dengan khidmat sebelum sedetik kemudian menyeruput minuman hangat itu dengan raut melegakan.
"Teh di sini enak juga," gumam Naya setelah meletakkan cangkirnya.
Ben masih dalam posisinya menopang tubuh di atas meja dengan kedua lengan. Lantas kini giliran Naya yang melakukan hal serupa. Wanita itu juga meletakkan kedua sikunya di atas meja persegi panjang yang tak begitu lebar, dan sedikit mencondongkan punggung ke depan. Sehingga tatapan mata keduanya semakin intens karena jarak antara Bentala dan Naya hanya Tinggal beberapa senti saja.
"Jadi, aku harap kita nggak perlu nunggu lebih lama lagi. Aku mau pernikahan ini dilakukan secepatnya," ucap Naya.
Kontan saja Bentala segera menegakkan tubuhnya kembali mendapati sikap dan ucapan Naya yang seperti demikian.
"Kenapa kamu berubah pikiran?" pada akhirnya pertanyaan yang terus menghantui pikiran Bentala tentang sosok Nika terlepas juga.
Laki-laki itu sungguh tak bisa menahan diri untuk tak mengulik lebih jauh tentang siapa sosok di depannya yang sangat misterius ini. Seorang wanita kaku dengan kepribadian dingin yang dengan gamblang dan keras kepala mengatakan bahwa ia tak pernah tertarik pada pernikahan. Namun, hari ini Nika malah menyerahkan surat perjanjian itu kepada Bentala lebih cepat daripada perkiraannya.
"Kenapa kamu mau menikah denganku?"
"Memang kenapa? Bukannya kamu yang bilang kalau pernikahan ini cuma sebatas formalitas," ucap Naya, "kamu bilang, aku sendiri yang kasih saran untuk kita menikah kontrak."
Bentala masih diam. Ia benar-benar berubah menjadi sosok yang tak terbaca dan sukses membuat Ben nampak seperti orang bodoh di sana. Kini Naya kembali meminum teh hijau dalam cangkirnya. Ia bahkan tersenyum secara terang-terangan di depan Ben kemudian ikut duduk menyandarkan punggung di sandaran kayu.
"Aku cuma ikuti apa keputusan kamu, karena aku percaya sama kamu Ben. Kamu bilang, aku juga harus melakukan tugasku, kan? And now, I'm doing it."
Satu, dua pelanggan kedai kopi pagi itu yang tak begitu ramai serasa kabur dari pandangan Bentala. Bahkan saat ini tak ada objek lain selain Nika yang berada tepat di depannya. Seluruh perhatian laki-laki itu sukses tertuju pada sosok Nika yang untuk pertama kalinya mengucapkan kalimat sepanjang itu di depannya.
"Kamu sendiri," ucap Naya sebelum kemudian kembali menatap Ben dengan intens.
"Kenapa kamu setuju sama pernikahan ini?"
"Karena aku udah sejak lama menyukai kamu, Nika."
Ucapan itu tak pelak membuat Naya yang sebelumnya menyeruput teh, tersedak. Wanita itu terbatuk-batuk untuk beberapa saat sebelum kemudian ia kembali menatap sepasang mata Bentala dengan keterkejutan sempurna.
'Jadi, laki-laki ini beneran suka sama Nika?' batin wanita itu.
Naya masih menatap Ben dengan penuh tanya. Berharap ia dapat menemukan petunjuk tentang permainan apa yang sebenarnya sedang Ben lakukan untuknya. Dan lagi, Naya jadi kepikiran tentang keputusannya untuk menyetujui semua ini.
'Kalau Bentala benar-benar menyukai Nika, lalu kenapa dia terlihat terpaksa?' pertanyaan itu masih hanya dapat disuarakan dalam batin Naya.
Melihat reaksi Ratih yang selalu menekannya untuk segera menikahi Bentala, rasanya Nika yang asli memang tak pernah berniat untuk menikahi laki-laki ini.
"Kalau begitu sesuai keinginan kamu." Naya mendongak menatap Ben dengan tatapan penuh tanya.
"Apa?"
"Satu minggu lagi kita akan menikah."
Bersambung
Terima kasih sudah membaca, jangan lupa dukungannya, ya!