webnovel

08. Persetujuan

"Anggap aja aku amnesia."

Bentala tertawa kecil sekali lagi setelah mengingat kalimat itu kembali berputar di kepalanya seperti rekaman kaset.

Laki-laki itu menyandarkan tubuh sepenuhnya pada punggung sofa, kedua kakinya berada di atas meja dan sesekali sepasang mata yang mengantuk itu belum juga dapat terlelap. Ben dan gangguan tidurnya yang sangat merepotkan. Semenjak kepergian kakaknya, nyaris seharipun tak pernah ia lalui dengan tidur yang nyaman. Ia harus menelan obat tidur yang didapatkan dari resep psikiaternya jika tengah kelelahan dan benar-benar harus tidur. Ben sendiri tak tau apa yang terjadi dengan dirinya, bahkan seluruh penghuni rumahnya saja juga tak tau gangguan tidur yang ia alami ini.

Laki-laki itu menghela napas sekali lagi. Sungguh ketimbang memikirkan tentang kedatangan Nilam malam tadi, ia justru tak bisa menggenyahkan Nika dari ingatannya. Wanita itu benar-benar berubah total dan hal itu sangat mengganggu Ben. Apalagi kemarin, Nika sampai sesenggukan di depannya dan hendak menolak kesepakatan pernikahan kontrak ini. Ben menegakkan tubuhnya. Ia kemudian sadar satu hal bahwa.

"Kamu bahkan bukan seseorang yang bisa menunjukkan emosimu di depanku," gumam Ben, "sebenarnya ada apa sama kamu, Nika."

Katakan saja semua pikiran dan tanya yang muncul dalam kepala Ben itu adalah bentuk dari kekhawatiran jika rencana pernikahan kontrak itu sepenuhnya gagal. Bentala tak tau apa yang akan terjadi pada mamanya. Wanita yang sangat ia kasihi itu telah membujuknya sampai yang ke tujuh kali, bahkan mungkin lebih tepatnya bukan membujuk. Tetapi memaksa Ben untuk menikah dengan Nika.

Ia masih ingat percakapan dengan mama dua minggu lalu, tepat sebelum acara pertunangan dilaksanakan.

"Kalau kamu nggak mau menikah sama Nika, mama sendiri yang akan atur pernikahan kamu di Belanda sama Belinda, Ben."

Bentala yang sebelumnya sangat bersemangat untuk menyantap bekal makan siang yang diantarkan mama ke kantor itu kembali meletakkan sendoknya dengan memutar bola mata ke atas diiringi helaan napas pendek.

"Ma?" keluh Ben menatap wanita paruh baya berwajah ayu dengan sanggul sederhana itu.

"Mama tau aku nggak bisa hidup di Belanda."

Rahayu yang duduk di sofa berseberangan dengan Bentala, meletakkan kedua tangan di pangkuan setelah sejak tadi sibuk menata makan siang anaknya di meja.

"Kalau gitu nggak ada pilihan lain, kan? Nikahi Arunika." Seketika Bentala kehilangan nafsu makannya, sekalipun makanan yang dibawakan oleh mama adalah masakan favorit Ben. Rasa lapar yang sejak tadi mendera sudah hilang seketika.

"Dia kandidat yang kuat saat ini, dia juga memegang butik besar milik mamanya, kan? Lagian nggak akan lama lagi AR Group juga pasti akan sepenuhnya dipegang sama Nika, kalau kamu menikah dengan dia perusahaan kita bisa semakin kuat, Ben."

"Bisa nggak sih, sekali aja Mama nggak jadiin satu urusan pribadiku sama perusahaan ini?" desah Ben, "lagian Nika bukan wanita yang bisa diajak untuk menikah. Dan kalaupun menikah, aku mau benar-benar menikahi wanita yang aku cintai, Ma."

"Mama pengen cepet-cepet punya cucu, Ben."

Jawaban Rahayu sukses membungkam Bentala untuk yang kesekian kalinya.

"Harusnya mama udah nimang cucu buat saat ini, kalo aja kakakmu masih ada ...," ucapan wanita itu menggantung, matanya mendadak redup dengan segaris senyum yang amat sangat enggan untuk Ben lihat lagi.

Bagi Bentala, jika mama sudah mengucapkan kalimat seperti sedemikian rupa, hal itu adalah ultimatum yang tak bisa Bentala hindari lebih lama lagi. Karena semakin lama ia menghindar, maka boom waktu akan semakin berbahaya untuk dirinya juga wanita itu.

"Semuanya pasti baik-baik aja kalau dia masih di sini, 'kan?" imbuh Rahayu menatap Ben penuh harap.

***

"Kamu yakin sudah membacanya?" tanya Bentala.

Laki-laki itu menatap selembar kertas di tangannya kemudian beralih ke arah Nika. Benar-benar memastikan bahwa coretan di kertas itu adalah tanda tangan Nika, namun tanda tanya jelas membengkak dalam kepala Ben. Sedangkan si wanita yang pagi itu mengenakan setelan olahraga hanya menoleh menatap Bentala secara singkat.

"Kenapa?" balas Nika balik bertanya.

Ben belum sempat bertanya karena masih kebingungan dengan sikap Nika ini.

"Bukannya memang itu yang kamu mau?"

Jawaban itu kembali menyadarkan Bentala. Ia hanya mengangguk sekilas meski belum sepenuhnya memahami sifat Nika yang selalu berubah-ubah. Seperti subuh ini, saat Ben masih merebahkan tubuh dengan mata terpejam tanpa tidur pulas itu, tiba-tiba Nika meneleponnya dan meminta bertemu di rumah sakit tempat Naya dirawat semalam.

"Aku cuma mau memastikan karena kamu nggak menambahkan atau mengurangi apapun di sini," jelas Ben mengangkat kertas itu kembali.

Nika melengos sejenak, mengalihkan tatapan dari Ben dan bersedekap dada.

"Aku cuma ingin semua ini cepat berakhir."

"Oke, kalau gitu aku akan atur semuanya secepatnya." Ben meletakkan selembar kertas berisi surat perjanjian itu ke dalam mobil.

Lantas ia kembali memutar tubuh ke arah Nika yang masih berdiri di sana sambil bersedekap dada. Rambut sepundaknya pagi ini diikat ekor kuda, menyisakan helaian-helaian tipis yang tertinggal dan membuat Nika terlihat semakin cantik meski dengan setelan olahraga. Untuk kali pertamanya lagi, Ben melihat sosok lain dari Nika. Karena biasanya ia hanya melihat Nika dengan setelan jas formalnya.

Ben tau, Naya memang wanita cantik dan berbakat dengan pesona yang luar biasa. Akan tetapi, laki-laki itu juga sangat amat paham, bahwa benteng yang dibangun Nika sangatlah tinggi, sehingga wanita itu jarang berbaur dengan sesama atau sekedar berbincang untuk minum teh. Ben selalu mendapati Nika sendirian saat mereka bertemu secara tak sengaja.

"Tapi, kalau boleh tau. Kenapa kamu mengajakku bertemu di tempat ini?" tanya Ben sekali lagi.

Ia masih tak mengerti, mengapa dari sekian tempat di Jakarta, mereka harus bertemu di rumah sakit tempat Naya dirawat. Wanita itu tak segera menjawab, ia juga tak menatap Ben sebagai lawan bicaranya. Namun, kini kedua tangan yang sejak tadi terlipat di depan dada mendadak terurai ke bawah. Nika memutar tubuh menghadap ke arah gedung rumah sakit berlantai tiga itu.

"Cuma mau meyakinkan diri," balas Nika sangat pelan. Tak peduli Ben dapat mendengarnya atau tidak.

'Sudah benarkah keputusanku untuk menyetujui pernikahan kontrak ini, Nika?' batin wanita itu menatap lekat ke arah gedung tinggi di sana.

"Aku punya satu permintaan buat kamu."

Tak pelak ucapan Ben barusan sukses memecah lamunan Naya yang berada di raga Nika yang sedari tadi bungkam dengan segala pikiran yang mendesak dalam kepala. Wanita itu menoleh ke arah Ben dan menatapnya tanpa bertanya.

"Temani aku minum teh pagi ini," sambung Bentala dengan segaris senyum yang untuk pertama kalinya ia suguhkan kepada Naya.

Bersambung ...