"Ini apa-apaan?"
Jane terkejut saat melihat dua orang asing memasuki apartemen miliknya.
"Kalian mau apa di apartemen aku hah!"
Jane meninggikan suara, saat dua orang pria di depannya hanya saling pandang.
"Maaf Nona. Kami yang membantu Nona Jane pindah," ucap salah satu dari mereka akhirnya.
"Hah, pindah?"
Jane tentu saja tidak paham dengan apa yang orang-orang ini bicarakan. Sejak kapan juga dia memutuskan pindah. Apartemen ini bahkan baru ditempatinya satu bulan.
"Iya Nona. Kami diminta Tuan Nakula membantu Nona untuk pindah. Sebagian sudah kami angkut dalam mobil. Sisanya menunggu Nona, untuk apa lagi yang ingin dibawa."
Mendengar nama Nakula disebut. Jane paham sudah kalau itu ulah mantannya yang memang tidak berakhlak. Seenaknya memutuskan pindah tanpa berunding dengannya lebih dulu.
"Tidak! Kalian ambil kembali barang-barang di mobil. Aku tidak mau pindah."
Jane langsung saja masuk ke dalam apartemennya. Dugaannya benar kalau unitnya itu sudah bersih. Entah kemana orang-orang itu mengangkut barang-barangnya.
"Maaf Nona. Tapi tepat pukul delapan malam ini, pemilik yang baru akan menempati apartemen ini."
Jane semakin dibuat kesal. Nakula benar-benar terlalu ikut campur dalam urusannya.
Tanpa berpikir lagi. Jane segera menghubungi si biang kesal sore ini.
"Halo Sayang. Sudah kangen? Aku baru selesai rapat. Kau di mana?"
Jane menghirup oksigen banyak-banyak. Dia harus bisa mengontrol emosinya. Apa lagi yang dia hadapi Nakula yang notabene, si pemancing keributan.
"Nakula!"
Percuma saja mengatur napas. Nyatanya Jane masih saja berteriak kepada orang di dalam panggilan.
"Kau apa kan apartemenku hah! Suruh orang-orangmu mengembalikan barang-barangku!" ucap Jane dengan teriakan. Dua orang yang menunggu di ambang pintu bahkan sampai tercicit takut. Terlihat sekali kemarahan dalam wajah Jane.
"Setelah aku pikir-pikir kau pindah saja. Di sini lebih dekat dari kantor. Lebih luas, lebih nyaman juga," ucap Nakula yang terdengar tidak merasa bersalah sama sekali.
"Tidak mau. Aku mau di sini. Kau jangan seenaknya mengatur hidupku Nakula."
"Bukan masalah atur atau tidak. Kau sekarang berada dalam manajemenku. Jadi aku memberikan fasilitas padamu. Kau jangan berpikir yang iya-iya, Jane. Lagi pula, perusahaanku seperti miskin saja tidak bisa memfasilitasi tenaga ahli. Bisa malu tujuh tanjakan dengan Pak Samuel nanti."
Jane memijat pelipisnya yang terasa berdengung. Bukannya merasa bersalah, Nakula justru lebih memikirkan penilaian Samuel. Di samping itu juga, ada niat pamer dengannya.
Dirasa percuma melawan. Jane memilih ikut saja alur yang ingin Nakula buat.
"Oke, kalau begitu sebutkan alamat apartemen yang kau janjikan itu. Aku akan ke sana."
"Oh tidak. Aku akan menjemputmu. Kau tunggu sebentar, sambil perhatikan saja pekerja yang kusuruh membantumu. Bye."
Telepon ditutup begitu saja. Jane benar-benar kesal dengan Nakula. Dia berjanji akan membalas atas perbuatan semena-mena atasannya itu.
"Jadi bagaimana Nona? Ada yang perlu dibawa lagi?" tanya petugas tadi yang memang menunggu keputusan Jane.
"Ya angkut saja semua."
Jane hanya bisa pasrah. Niat untuk pulang cepat dan bersantai-santai musnah juga. Setelah ini juga, dia masih harus berbenah di tempat yang baru. Nakula benar-benar merepotkan untuknya.
Makian untuk Nakula pun tidak lepas dari bibir Jane. Jika saja Nakula bukan bos di tempatnya bekerja, sudah barang tentu akan dia jadikan samsak tinju.
***
"Sudah siap kan Jane? Ayo pergi."
Nakula datang menemui Jane satu jam kemudian. Datang dengan senyuman lebar, seakan tanpa rasa bersalah apa pun.
"Kau tidak ingin mengatakan apa pun padaku?" ujar Jane yang belum juga menerima uluran tangan Nakula.
"I love you."
Jika tidak ada orang lain di antara mereka. Jane mungkin akan benar-benar menendang Nakula hingga ke luar pulau sekali pun. Kelakuannya benar-benar menguji kesabaran.
"Bukan itu Nakula." Jane berpikir sejenak, lantas menunduk lesu. "Sudah lah tidak perlu dibahas. Ayo cepat. Aku harus memastikan apartemen yang kau pilih, benar-benar sesuai seleraku."
Nakula mengikuti Jane yang berjalan lebih dulu. Dia mengangguk untuk menyetujui perkataan Jane.
"Kau pasti akan suka sekali. Apartemen ini, bahkan tidak ada apa-apanya, sudah kecil, sempit, tidak aman."
"Kenapa kau menyebutkan kata tidak aman? Aku belum pernah kemalingan di sini," sahut Jane yang memang merasa aneh dengan alasan Nakula memintanya pindah.
"Kata siapa. Kau bahkan dikunjungi pencuri kemarin. Aku tidak mau kecolongan lagi yang jelas," ujar Nakula yang mana langsung menggandeng Jane. Takut sekali, mantan kekasihnya itu hilang.
"Hah. Kapan? Kok kau bisa tahu kalau itu pencuri? Mantan maling memangnya ya, kau ini?"
Nakula tidak langsung menjawab. Dia kebingungan sendiri untuk menyebut nama orang yang kemarin datang untuk Jane. Selain itu, jika mengingat, Nakula jadi kesal sendiri.
"Ya begitu lah," ucap Nakula akhirnya.
"Hah?"
Jane jelas saja merasa bingung. Nakula mendadak menjadi pendiam saat ini. Dia pun hanya membuka tutup pintu mobil untuk Jane masuk saja. Duduk di depan setir dan melajukan kendaraan tanpa sepatah kata pun.
Merasa aneh didiamkan. Jane menoleh dan melihat wajah Nakula yang seperti sedang merajuk. Ini jelas ada yang salah. Seharusnya dia yang marah terhadap pria tersebut. Ini justru terbalik.
"Nakula," panggil Jane.
"Hem."
"Marah?"
"Hah?"
Nakula sontak menoleh ke arah Jane. "Kau marah?" tanyanya.
"Harusnya memang iya, aku yang sedang marah dan kesal padamu. Kau seenaknya mengatur tempat tinggalku. Tapi kenapa aku yang justru didiamkan olehmu heh!"
Jane akhirnya mengeluarkan unek-uneknya. Enak saja dia yang menjadi korban, tapi dia juga yang kena getahnya.
"Oh maaf Sayang. Aku bukan kesal padamu. Aku tidak marah kok."
Nakula kembali meringis. Menunjukkan giginya yang putih. Tersenyum kembali ke arah Jane.
"Maaf ya. Setidak bisanya didiamkan olehku ya," goda Nakula yang seperti mendapatkan kesempatan emas.
"Enak saja. Aku kesal karena kau mengambil jatahku," sahut Jane yang tidak mau kalah.
"Iya deh iya. Nanti aku berikan jatah yang banyak. Mau berapa ronde?"
Jane tanpa ampun memukul lengan Nakula. Membuat pria itu mengaduh syok.
"Aku sedang menyetir Jane. Sehidup semati ya tidak sekonyol ini juga."
Jane terdiam lagi. Kali ini dia akan benar-benar marah yang sesungguhnya pada Nakula.
"Sudah jangan merajuk. Ini kita sudah sampai."
Jane menoleh ke luar jendela. Benar saja mereka sudah tiba di apartemen yang tidak jauh dari kantor. Salah satu apartemen yang mahal harganya, karena terletak di daerah perkantoran yang strategis.
"Hah di sini Nakula? Ini mahal loh."
"Iya juga sih."
Jane cemberut saat ucapannya seperti menjadi bahan pertimbangan Nakula.
"Tadinya mau aku siapkan rumah. Tapi kan kita belum berunding mau memiliki anak berapa. Jadi ya untuk sementara di sini dulu saja ya."
Ucapan Nakula begitu manis. Tanpa sadar Jane sempat merasa malu dengan hal itu.
***