Sudah beberapa hari Nalini dan ibunya berdiam di dalam tempat persembunyiannya. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu dengan tidur dan berjalan-jalan mengelilingi tempat itu tanpa berani mencoba keluar. Sementara luka di kaki Nalini sudah sepenuhnya sembuh.
"Mbok, kapan Guru datang ya?" tanya Nalini sembari kakinya bermain air. Ia duduk di tepi aliran air. Beraneka tanaman bunga tumbuh subur di sekitarnya. Nyai Dhira mendatangi dan menemaninya duduk.
"Simbok tidak tahu, Nduk. Tapi benar, kalau di sini terus kita akan jadi manusia gua," ujar Nyai Dhira seraya tertawa terkekeh.
"Jadi manusia gua yang gemuk, Mbok. Lihat saja, baru berapa hari di sini saja tubuh kita semakin gemuk," keluh Nalini sambil mencubit pipinya yang mulai kelihatan berisi.
Untuk mengatasi kebosanan, Nalini beranjak dan mulai mengamati bermacam tanaman. Sama seperti bunga yang ada di tenpat itu, tanaman itupun banyak yang tak dikenalinya.
Tangan lentik Nalini meraba rumpun daun-daun kecil yang bentuknya seperti hati. Warnanya hijau pekat dan bunganya berbentuk seperti butiran lada.
"Mbok, ini tananan apa? Aku tak pernah menemukannya di kebun," ucap Nalini. Gadis itu mengamati tanaman itu dengan seksama. Tampak jelas rasa ingin tahunya yang besar.
Nyai Dhira mendekat dan memperhatikan tanaman itu. Berulangkali dahinya berkerut, mencoba mengingat pengetahuan tentang tanaman yang ia miliki.
"Hmm, kalau tidak salah ini namanya Katumpangan. Bisa dijadikan tanaman obat," jelas Nyai Dhira. Perempuan itu ikut asyik mengamati tanaman itu.
"Oh ya? Bisa untuk obat apa saja, Mbok?" tanya Nalini antusias. Matanya membesar. Tiap kali mendapatkan ilmu baru ia akan mengingatnya dengan baik.
"Manfaatnya banyak, Nduk. Bisa untuk obat ginjal, sakit demam dan penyakit kulit," terang Nyai Dhira. Mantan tabib itu kini mulai asyik ikut mengamati tanaman yang ada di sana satu persatu. Sesekali ia mengangguk sendiri atau mengerutkan dahinya.
"Mbok, aku rasa Eyang Guru sengaja menanam tumbuhan-tumbuhan ini di sini. Yang aku heran, untuk apa?" tanya Nalini sembari mengibaskan rambut panjangnya yang terurai.
"Sst, jangan keras-keras bicara tentang beliau, kalau tiba-tiba datang bagaimana?" tanya Nyai Dhira memperingatkan anaknya. Jari telunjuknya diletakkan tepat di depan mulutnya.
Nalini tersenyum meringis melihat tingkah ibunya. Ia sendiri punya dugaan, Eyang Guru masih lama datang. Atau bahkan lupa kalau mereka ada di sana.
"Mbok, bagaimana jika Guru lupa kalau kita ada di sini?" ucap Nalini dengan alis terangkat. Ia merasa pekerjaan menunggu memang sangat membosankan. Apalagi menunggu sesuatu yang tak pasti.
"Seorang pandita tak pernah ingkar janji, Nduk." Nyai Dhira menjawan dengan bijaksana. Ia kini selalu memiliki prasangka yang baik pada sosok Guru yang telah menyelamatkan nyawanya.
Nyai Dhira lalu menarik tangan Nalini dan mengajak ya ke ruangan besar yang ada di ujung tempat itu.
"Lihat, Nduk. Ini adalah kotak-kotak berisi ramuan obat. Kemarin Simbok melihat-lihatnya. Semuanya obat langka dan mahal. Hanya orang penting dan kaya yang mampu menyimpan ini." Nyai Dhira membuka sebuah kotak. Terlihat ada akar yang dikeringkan berwarna agak merah dan putih.
"Kamu tahu apa nama benda ini, Nduk?" tanya Nyai Dhira pada Nalini.
Gadis itu menggelengkan kepalanya. Baru kali ini ia melihat akar sebesar itu dan diletakkan di tempat tertutup istimewa. "Aku tak tahu, Mbok. Ini seperti akar yang dikeringkan," kata Nalini.
Nyai Dhira tersenyum penuh arti. Ia seolah bersiap akan mengatakan hal yang sangat penting. "Simbok pernah melihatnya sekali, Nduk. Dulu, saat masih kecil. Buyutmu pernah memiliki akar seperti ini. Namanya ginseng. Tanaman ini tidak ada di sini, asalnya dari negeri yang jauh." Nyai Dhira menjelaskan penuh penghayatan. Kedua bola matanya membesar.
Nalini terkesima mendengarnya. Keluarganya turun temurun memang memiliki keahlian pengobatan, terutama kakek buyutnya yang menurut cerita pernah mengabdi di istana raja.
Tapi baru kali ini ia mendengar cerita tentang akar bernama aneh itu, ginseng.
"Dari negeri yang jauh? Dari mana itu?" tanya Nalini. Tangannya kanannya memegang ginseng lalu membauinya. "Baunya menyengat, Mbok!" ujar Nalini seraya menjauhkan akar itu dari hidungnya.
"Iya menyengat, khasiatnya juga kuat." Nyai Dhira menjawab sambil memasukkan herbal itu ke dalam kotaknya lagi. "Menurut kakek buyutnya, jenis ginseng yang seperti itu berasal dari negeri Tiongkok. Jauh sekali."
Nalini mengangguk-angguk mendengar penjelasan ibunya. Ia lalu iseng membuka kotak yang lain. Ketika dibuka, ia juga melihat akar yang sudah dikeringkan. Hanya bentuknya agak bulat dan warna kecoklatan..
"Ini juga ginseng, Mbok? Tapi bentuk dan warnanya beda," ujar Nalini seraya mengamati benda yang ada ada di dalam kotak.
Nyai Dhira mengambilnya, mengamati sepintas lalu tersenyum.
"Kalau yang ini namanya som jawa, Nduk. Tanaman ginseng asli dari tempat kita. Khasiatnya juga sama-sama mujarab," terang Nyai Dhira. "Sayang sekali aku tak punya obat-obatan sebagus ini untuk menolong orang sakit, andai kemarin aku bisa menyelamatkan nyawa orang-orang itu ..." Nyai Dhira tak meneruskan kalimatnya. Hatinya masih terasa sakit mengingat kejadian kemarin. Matanya mulai berkaca-kaca.
"Sudahlah, Mbok. Jangan diingat-ingat lagi, yang lalu biarlah berlalu. Jika tak diusir dari desa, kita tidak pernah sampai di tempat ini," ucap Nalini menenangkan ibunya. "Kita juga tak akan tahu ada tempat setenang dan senyaman ini," imbuhnya sambil tersenyum.
Nyai Dhira menyusut air matanya yang nyaris jatuh. Garis bibirnya perlahan melengkung ke atas. Anak gadisnya benar, dibalik musibah ada hikmah yang bisa dipetik.
"Mbok, aku ingin melihat-lihat senjata itu," ucap Nalini seraya menunjuk ke deretan senjata yang tertata rapi di atas rak.
"Hati-hati, Nduk. Dilihat saja jangan dipegang, takut melukai." Nyai Dhira mewanti-wanti anaknya. Ia sendiri bergidik ngeri membayangkan senjata-senjata tajam itu digunakan untuk berkelahi.
"Tidak, Mbok. Jangan khawatir," balas Nalini. Perlahan gadis itu mengamati senjata itu satu persatu. Ada tombak-tombak panjang, ada juga deretan keris dengan gagang dan warangkanya yang berukir indah. Nalini berulangkali berdecak kagum. Ia ingin memegangnya tapi ingat larangan ibunya.
Tangannya berpegangan pada dinding yang dikiranya kosong. Tanpa sengaja ia menekan bagian yang menjadi tombol pintu rahasia.
Dinding bergetar. Nalini kaget bukan main dan mundur ke belakang. Dilihatnya pintu rahasia itu perlahan semakin lebar.
"Nduk, apa yang kau lakukan?!" Nyai Dhira terkejut setengah marah melihat putrinya melakukan hal yang tak semestinya.
"A-aku tak sengaja, Mbok." Nalini menggigit bibirnya sendiri, merasa takut karena telah melakukan kesalahan.
Pintu rahasia sudah sepenuhnya terbuka, tapi tak kelihatan terang dari arah lorong. Malam hari rupanya.
"Mbok, sudah lama kita tidak mengenal siang dan malam. Tampaknya di luar sana sedang malam, lorong itu gelap sekali," ucap Nalini takut-takut.
Ia menekan tombol rahasia berulang kali tapi pintu itu tetap terbuka, tak bisa ditutup lagi.
"Bagaimana ini, Nduk? Bahaya sekali kalau celah ini tetap terbuka. Apa kau tahu cara menutupnya?" tanya Nyai Dhira cemas. Udara malam mulai terasa berhembus masuk dari luar, dingin meniup tubuh. Nyai Dhira berjalan mondar mandir sambil sesekali melongok ke arah lorong gelap.
Mulut Nalini terkunci rapat, ia juga panik dan ketakutan. Pikiran-pikiran buruk mulai bermunculan di kepalanya, bagaimana jika ada hewan liar menerobos masuk?
Suara derap kaki kuda tiba-tiba terdengar dari arah kegelapan. Semakin lama semakin dekat, suara ringkikannya memecah kesunyian. Kuda dan penunggangnya jelas menuju ke arah gua rahasia.
Tubuh kedua perempuan yang sedang kebingungan itu gemetar ketakutan. Mereka cepat berlari dan bersembunyi di balik pilar.
Nalini merasakan degup jantungnya begitu kencang, keringat dingin mengucur deras di seluruh tubuhnya. Meski begitu, ia masih memberanikan diri melihat siapa yang datang.
Kuda besar berwarna coklat berhenti tepat di mulut celah rahasia. Penunggangnya yang berbaju putih dan mengenakan caping meloncat turun dengan satu gerakan tangkas. Sosok yang yang sangat dikenali Nalini.
Gadis itu menarik nafas lega. Ternyata Eyang Guru yang datang, orang yang sudah sekian lama ditunggu-tunggunya.
Eyang Guru terlihat masih berdiri di depan celah, ia seperti menunggu sesuatu. Berulangkali tatapannya menoleh ke arah belakang sembari mengelus leher kudanya.
Setelah menanti sekian lama, terdengar derap kaki kuda dari kejauhan. Nalini dan Nyai Dhira tetap mengawasi dari tempat persembunyiannya.
Seekor kuda hitam terlihat muncul dari ujung lorong. Penunggangnya seorang lelaki yang tampak jauh lebih muda dari Eyang Guru. Ia mengenakan pakaian pendekar berwarna hitam. Wajahnya tertutup oleh caping lebar yang juga dikenakannya.
"Lama sekali kau, Arya!" tegur Eyang Guru. Lelaki tua itu lalu berjalan menuntun kudanya dan menautkan talinya di cabang pohon perdu.
"Ampun, Guru. Saya agak lupa jalan rahasia ke arah sini. Tadi sempat tersesat dan berputar-putar," jawab pemuda bersuara berat itu. Ia menghaturkan sembah dan menunduk di depan Eyang Guru.
"Baiklah, ayo cepat bertindak. Kita tak punya banyak waktu untuk mengatasi wabah mematikan itu," ucap Eyang Guru. Ia lalu melangkah memasuki gua diikuti pemuda bernama Arya.
"Keluarlah kalian, aku yang datang," ucap Eyang Guru tanpa melihat ke tempat persembunyian Nalini dan ibunya, tapi is tahu mereka bersembunyi mengawasinya.
Nyai Dhira menjawil lengan Nalini dan mengajaknya keluar. Mereka berjalan mengendap-endap mendekati Eyang Guru.
"Beribu ampun, Guru. Tadi saya tak sengaja menekan tombol pembuka pintu dan tak bisa menutupnya lagi." Nalini mengatakan itu dengan takut-takut. Ia sama sekali tak berani melihat wajah Eyang Guru.
"Iya, Guru. Maafkan putri saya, ia tak sengaja," timpal Nyai Dhira. Ia tak ingin kecerobohan putrinya menjadikan Eyang Guru marah.
Lelaki tua itu membuka capingnya lalu menjadikannya sebagai kipas. Butir-butir keringat tampak berlelehan di mukanya. Ia berpikir sebentar, mencerna kalimat dua perempuan di depannya itu. Lalu senyum tipis dan mengangkat tangan kirinya.
"Tak perlu minta maaf. Pasti kamu tidak bisa menutup pintu itu lagi 'kan?" ujar Eyang Guru.
Nalini menggeleng lemah.
"Itu karena aku juga membukanya dari sisi luar, jd tak bisa menutup lagi," jelas Eyang Guru. Lelaki itu teringat pintu celah yang masih menganga.
"Arya, tutup pintunya!" Perintah Eyang Guru sembari menoleh pada pemuda itu.
Arya cekatan bergerak dan menekan tombol. Dinding bergetar, celah pintu menutup kembali dengan rapat.
Nyai Dhira dan Nalini berpandangan. Mata bertemu mata. Belum terjawab pertanyaan siapa sebenarnya Eyang Guru, kini di depan mereka hadir lagi sosok yang lain.
"Aku datang bersama muridku, Arya Dipa. Kita akan membawa kalian keluar dari sini, tapi dengan syarat." Ucapan Eyang Guru seolah menjawab pertanyaan Nyai Dhira dan Nalini.
"Ampun, Guru. Apa syaratnya, hamba akan penuhi," ucap Nyai Dhira seraya menyatukan kedua telapak tangannya dan menyembah, sebagai bentuk penghormatan.
"Bantu aku mengatasi wabah ini. Temukan ramuan obat yang bisa digunakan oleh orang-orang sakit itu. Bukankah kau sebelumnya seorang tabib?" titah Eyang Guru pada Nyai Dhira. Seketika perempuan itu mengangkat wajahnya seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya.
Nalini juga mengangkat wajahnya. Di saat yang bersamaan, Arya Dipa membuka capingnya. Gadis itu terpana melihat wajahnya yang tampan seperti seorang pangeran. Mata Nalini tak berkedip. Setengah mulutnya terbuka ....