webnovel

MIKA & DONI

Jadi, awalnya aku dan dia tak saling kenal. Sama sekali aku tak tahu siapa namanya dan dari kelas berapa dia. Aku sih tak begitu peduli, karena aku sedang pedekate dengan sahabatnya. Terus, tepat seminggu setelah hari raya -momen yang pas untuk silaturahmi- datanglah si dia ke rumah. Aku kira cuma main biasa, ternyata.. Deg! Di tembak dong aku. Dia minta, aku mau gak jadi pacarnya. Coba pikir. Kita seperti air dan api. Karakter kita sangat berlawanan. Gak ada mirip-mirip apa gitu. Dan lagi poinnya, dia nikung aku dari sahabatnya sendiri. Haha.. Baik, aku terima. Sekarang aku resmi jadi pacarnya -si kakak kelas asing. Dari situ, perjalanan kami dimulai. *** Masih kepo tapi pusing lihat chapter yang puluhan? BACA INI DULU di Vol. 0 makanya.. ***

Qiy_van_Wilery · Teenager
Zu wenig Bewertungen
122 Chs

Cari Kostum

Setelah kesalahpahaman yang terjadi dengan Mas Doni, aku meninggalkannya begitu saja. Lagipula apa yang kuharapkan dari seseorang yang tengah melampiaskan emosinya. Aku sendiri belum pernah mengetahui karakter Mas Doni ketika marah, sehingga aku nampak sedikit takut seandainya dia melakukan kekerasan padaku seperti halnya apa yang genk Roxette sering lakukan. Meski itu tak terjadi padaku, namun aku tetap saja merasa tak perlu meladeni kemarahan Mas Doni.

Aku tak peduli entah kini Mas Doni telah kembali ke Bandung atau masih berada di Amerta. Mood-ku anjlok, dari yang semula aku bahagia dengan kehadirannya, kini berubah menjadi sedih dan penuh kecemasan. Terbersit harapan agar Mas Doni menemuiku segera, namun hingga malam tiba, dia tak datang.

Dua hari setelahnya, Mas Doni meneleponku. Dalam hati aku bersyukur, dia tidak berlarut-larut dalam kemarahannya. Aku pun tak berniat untuk memperpanjang masalah.

"Mika.." Suaranya terdengar parau.

"Ya, Mas, Mika disini."

Aku mendengar suara Mas Doni berbeda dari biasanya. Apa mungkin Mas Doni sedang sakit, batinku.

"Mas sudah di Bandung. Maaf kemarin tidak pamit Mika dulu."

"Mas, gak papa? Apa Mas sakit?"

"Gak papa. Oiya, Mas ada camp class sekitar sebulan sebagai rangkaian ospek. Jadi, Mas gak tau kapan bisa menghubungi Mika lagi."

"Mika..." lanjutnya, sebelum menutup telepon. "Aku sayang kamu, Mik."

Aku hanya terdiam, berpuas diri mendengarkan suara Mas Doni sudah lebih dari cukup bagiku. Membayangkan sebulan ke depan, kami tak dapat bertemu, pun tak dapat berkomunikasi.

Hingga esoknya, dan hari berikutnya, kami tak berbagi kabar apapun. Ponselku yang sudah kembali baik, hanya menjadi pajangan di meja belajarku. Sesekali ku lihat jika dayanya hampir habis, maka segera ku hubungkan dengan charge. Ponselku tetap menyala meski tak ada yang mengirim pesan untukku atau meneleponku.

***

4 JULI 2005

Libur sekolah telah usai, aku harus mempersiapkan diri untuk memulai tahun ajaran baru. Kini statusku sebagai siswa 3 IPS 1, masih bersama June sebagai teman sebangku ku. Yohan duduk terpisah dari kami. Sedangkan Al, dia memilih jurusan IPA, berbeda dengan kami bertiga. Secara kebetulan, aku ternyata menempati bangku Boy sebelumnya. Mejanya dipenuhi coretan teori-teori ilmu sosial, dan beberapa pasal dalam pelajaran tata negara. Tak terlewatkan, beberapa nama siswi yang menjadi incarannya dulu juga tertera di meja itu. June sibuk membacanya satu persatu lalu memberitahuku sesuatu.

"Mikaa, haha.. ada namamu disini. Gila, diincer beneran kamu sama Boy!" ujarnya.

"Ya.. tapi ternyata meleset ya, Jun!"

Kami pun tertawa terbahak-bahak mempermalukan diriku. Betapa bodohnya aku saat itu menaruh hati pada Boy, yang mana Boy hanya menjadikanku sebagai check list pencapaiannya sebagai playboy di Smasa Amerta. Beruntung aku justru berpaling pada Mas Doni, yang sedikit lebih baik daripada Boy. Ya, sedikit lebih baik.

Duduk di belakangku, adalah Arya dan Hadi. Berasal dari kelas dua yang berbeda, namun mereka dengan mudah mengakrabkan diri dengan kami. Selalu ada sesuatu hal yang menjadi bahan candaan kami berempat. Kami sering menghabiskan waktu istirahat bersama, termasuk kerja kelompok bersama. Baik Arya maupun Hadi, adalah teman lamaku sejak SMP. Bisa jadi, kami mudah akrab karena telah saling mengenal sebelumnya.

Sekitar satu bulan lagi, pada bulan Agustus 2005, Smasa Amerta akan menyelenggarakan dua acara sekaligus. Yakni serentetan lomba dalam rangka merayakan hari Kemerdekaan RI dan tasyakuran hari jadi sekolah kami. Sebelumnya pada awal Januari, diadakan seleksi nasional Paskibra namun aku tidak lolos dalam seleksi tersebut. Mungkin aku terlena merasakan kebersamaanku dengan Mas Doni. Akhirnya aku hanya terpilih untuk menjadi Paskibra Kota Amerta, salah satu perwakilan dari Smasa. Waktu latihan kami hanya satu bulan sebelum Upacara Kenegaraan di Stadion Kota Amerta.

Disamping terpilih sebagai Paskibra Kota, sekolah menunjukku untuk menjadi peserta carnival tahunan mengenakan kostum baju adat daerah tertentu. Lalu aku pun terpilih mengikuti lomba gerak jalan dengan rute sepanjang 30 KM. Terakhir, aku dipilih oleh teman-teman di kelas baruku sebagai peserta dalam lomba fashion show bertema kostum merah putih berpasangan dengan Arya.

Secara fisik, memang aku memiliki postur tubuh yang tinggi, sekitar 170 senti. Lekuk tubuhku nyaris sempurna, mulai dari pinggang ke bawah, hingga bagian dada. Kontur wajahku pun sedikit menyerupai bule asing dengan tone kulitku yang putih. Sedangkan Arya, memiliki tinggi sekitar 175 senti, berparas tampan, dengan rambut sedikit pirang. Arya anak yang cool, dia banyak memikat teman perempuanku, barisan nama mantannya berderet panjang.

Antara aku dan Arya sebelumnya tak memiliki kedekatan khusus. Kami berteman sejak SMP, dan kami seringkali pulang sekolah bersama dengan teman lainnya. Lebih dari itu, aku dan Arya tak pernah terlibat percakapan apapun.

"Mika, lomba fashion ada ide pake kostum apa?"

Arya menjejeri langkahku, sepulang sekolah.

"Entah, Ar. Tema casual aja gimana?"

"Boleh, casual pop gitu, ya. Kamu ada gambaran?"

"Nope."

"Ke rumahku yuk, aku ada baju-baju merah dan putih.. kaos polo.. celana putih.. Coba kamu pilihin buat aku. Gimana?"

"Ayok deh. Boleh."

Arya memboncengku, dan kami menuju kediaman Arya siang itu. Tak ada perasaan apapun, saat duduk bersanding dekat dengan Arya. Duduk di jok belakang motornya pun aku sedikit mundur ke belakang. Arya menyadari itu dan melajukan pelan motornya.

Tiba di rumah Arya yang ternyata berada tak jauh dari rumah Mas Doni. Aku hanya menoleh ke arah rumah Mas Doni sepintas lalu, dan segera masuk ke dalam rumah Arya. Ibu Mas Doni tampak sedang menyiram tanaman di halaman, dan aku berharap beliau tidak melihatku berada di rumah Arya.

"Bentar ya Mik, aku ambilin baju-bajuku dulu."

Aku menunggu di sofa ruang tamu rumah Arya. Rumah yang begitu asri, serba berwarna putih, terasa begitu sejuk, ditemani segelas es melon di hadapanku. Arya seringkali mengikuti ajang pencarian bakat, dan dengan kelebihan fisik dan parasnya, dia lumayan terkenal di seantero Kota Amerta sebagai best model dan photogenic face kategori pria.

"Satunya cakep, satunya cantik. Sama-sama tinggi, body model semua.. Siip dehh.. Serasi!"

Seperti itu reaksi beberapa teman sekelas kami saat vote memilih peserta lomba, dan berakhir pada aku dan Arya sebagai perwakilan kelas 3 IPS 1. Teman-teman begitu optimis memasangkan kami berdua, dan berharap kami dapat meraih juara dalam lomba fashion intern Smasa Amerta tahun ini.

"Mik, gimana kalo kaos ini, trus aku pake celana putih ini?" tanya Arya padaku, sembari memadu padankan pakaian yang dipegangnya lalu disesuaikan dengan badannya.

"Katanya setuju tema casual pop.. kalo begitu jadinya mirip formal officer, tau! Haha.."

Aku menertawakan pilihannya yang terlihat kurang sesuai dengan tema yang kami tentukan. Lalu ku ambil celana jins pendek dan kaos polo putih, dan ku cocokan dengan badan Arya. Arya diam memerhatikan gerak-gerikku.

"Begini, OK gak sih? Trus pake sepatu sneaker putih itu.. trs kacamata.. "

"Cool, Mika..! Aku coba pake beneran. Tunggu disini!"

Arya masuk ke dalam kamarnya untuk mencoba kostum yang aku pilihkan. Tak berapa lama, dia menemuiku dengan celana jins pendek, kaos polo putih, berkacamata hitam, lalu duduk di sofa mengenakan sepatu sneaker putih. Dia berdiri, mematutkan style berpakaiannya di hadapanku.

"Nah, begini.. Dasar orang ganteng! Haha." Aku memuji Arya.

Sebenarnya, apapun yang dikenakan Arya pasti terlihat bagus dan sesuai. Tak perlu polesan gaya berlebih, dia pasti akan membuat para siswi Amerta berteriak menyorakinya. Bagiku, Arya adalah tokoh utama, sedangkan aku hanya pemanis. Oleh karena itu, Arya harus tampil all-out.

"Trus kamu gimana, Mik? Udah ada gambaran?" tanya Arya sembari meneguk es melon miliknya.

"Kan aku udah lihat pilihan kostummu serba putih gini, jadi aku tinggal ngikut aja. Kebetulan aku ada atasan merah. So, the red one, is me. Gimana?"

"Atasan merah? Apa itu?"

"Aku ada kaos tanpa lengan warna merah, terus kemeja motif bunga merah, terus.. mm.. apalagi ya.."

"Kalo bawahannya.. apa?"

"Menurutmu, rok pendek, celana pendek, celana panjang.. or.. any ideas?"

"Rok pendek aja gimana? Tapi gak takut ketiup angin, kan? Haha..."

Arya memang anak yang ramah dan mudah bergaul. Dia mampu menyesuaikan diri dengan siapapun dia berbicara. Sense of humor-nya juga tak berlebihan, sehingga sungguh terhibur jika berbincang dengannya.

"Nanti sekitar seminggu sebelum due date, kita bawa kostum kita ke sekolah, supaya teman-teman bisa memberi masukan." Aku berkata pada Arya seraya membantunya melipat beberapa baju yang berantakan.

"Ok. Setuju! Habis ini langsung pulang, Mik? Ayo ku anterin.."

***

Sedang unmood untuk melanjutkan cerita, please reader.. help me untuk balikin mood ku lagi huhuuu.

Qiy_van_Wilerycreators' thoughts