Praha, 2027
Yasmine
Suasana yang berbeda menyambutku di Praha. Yang aku dapatkannya kali pertama bukan pelukan hangat, melainkan tangan sebesar raksasa yang mengacak rambutku, lalu baru memeluk. Mungkin, lebih tepatnya merengkuh dengan sangat kuat. Aku sampai takut tulang punggungku patah.
"Welcome home, Mine."
"So, where's the welcome march?"
"Oh tenang..., sambutan untuk kamu udah ada. Tapi, tidak di sini. If only you'd stay here a little longer, kamu bahkan bisa ikut dance di jalan!"
Besoknya dalam perjalanan di dalam bus menuju Roma
"So, Mine, apa yang kamu rasakan sejauh ini?" lanjutnya.
Aku menghela napas. "Kamu tidak berubah."
"Hmm, masih membayangkan Megan?"
"To be honest, aku jadi heran karena sama sekali tidak terpikir tentang Megan."
"Hmm, jadi, kalau harus memilih, kamu pasti pilih aku?"
"Jay, c'mon! Jangan bahas ini dulu. Please let me enjoy the tour ya, love…."
Setelah beberapa saat diam, kemudian Jay dengan sunguh-sungguh berkata padaku. "Mine, I can't offer you a house right now, but I have the whole world I can always called home."
"Terus, aku mau diajak tinggal di mana?"
"Pindah-pindah. Seru kan?"
Aku diam.
"Buatku, seluruh dunia terlalu sempit untuk tidak pernah kita kunjungi, Mine. The sky is the limit."
Aku menarik napas.
"Kamu masih ingin menetap dan punya anak ya?" tanya Jay hati-hati.
Aku mengangguk.
"Tentang anak-anak, aku memang sampai saat ini masih belum punya keinginan untuk punya. Dunia sudah terlalu penuh dengan manusia."
"Tapi, aku ingin punya anak, Jay."
"Kamu udah punya banyak anak di Surabaya,"
"Yang lahir dari rahimku sendiri," ucapku pelan.
"Aku tahu tidak semua orang setuju denganku, tapi aku merasa bahwa tanggung jawab menjadi orangtua itu sangat berat. Sekarang ini, aku baru bisa bertanggung jawab pada diriku sendiri bahwa aku menjadi orang yang bahagia dan tidak membuat orang lain susah karena aku. Itu aja."
"Kamu tidak ingin punya anak?"
"Tidak dari rahimku sendiri." Jay diam sebentar, dia menyeringai, "Aku kan tidak punya rahim ya? tidak perlu anak darah dagingku, maksudnya. Tapi, aku mau adopsi anak suatu saat nanti."
"Kamu memang hebat, Jay . Kamu sama sekali tidak egois."
"Tapi, buatku, kamu juga hebat. Kamu sama sekali tidak egois juga. Kamu merelakan waktumu untuk anak-anak yang hidup di jalan, kamu membuat mereka berani bermimpi, itu sangat hebat. tidak semua orang, apalagi yang semuda kamu, berpikir untuk melakukan itu."
"Kalau suatu saat aku memutuskan untuk hidup bersamamu, ke mana aku bisa cari kamu, Jay?"
"Aku ada di mana pun kamu bisa membuka e-mail. Kamu tinggal kirim e-mail, aku pasti baca. Dan lamaranku buat kamu tidak pernah expired."
"Kenapa?"
"Karena dari semua perempuan yang pernah kutemui dalam hidupku, aku hanya merasa seperti ini sama kamu."
Mataku berkaca-kaca. Aku ingat apa yang dikatakan Suci bertahun-tahun lalu,
"Lebih baik dicintai dan diinginkan. Aku menyerah menjadi orang yang mengejar-ngejar. Karena posisiku akan selalu di belakang. Aku tidak punya energi untuk itu." katanya sebelum akhirnya memutuskan untuk menerima lamaran suaminya waktu itu.
"Kita di mana ini, Jay?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Roma beberapa mil di depan."
Aku mengangkat kaki meringkuk ke arah Jay, meletakkan kepala tepat di dada kirinya. Aku ingin mendengar detak jantung pria itu. Jay merengkuh seluruh tubuhku seolah-olah tidak ingin melepasnya lagi.
"Please don't say anything until Rome, Jay. I want to feel your heartbeat."
Dan, perjalanan dilanjutkan dengan diam. Sampai aku terbangun karena merasakan tetesan air di rambutnya. Air mata Jay.
***
Perjalanan dilanjutkan ke Roma. Seperti rencananya, aku memasuki kapel-kapel kecil untuk berdoa. Mimpiku selalu dipenuhi oleh hal-hal seperti yang dilihatnya di film.
Duduk bersimpuh dan berdoa. Aku dan Jay memiliki satu kepercayaan yang sama. Kami menghabiskan dua hari di Italia, lalu dilanjutkan dengan perjalanan ke Swiss dan Prancis. Memang lebih banyak waktu yang dihabiskan di dalam kereta dan bus, tetapi aku sama sekali tidak merasa lelah. Di Prancis, aku dan Jay bertemu salah satu tour guide asal Indonesia
"Mumpung kalian ada di Prancis, sini biar aku yang jadi fotografernya. Siapa tahu bisa jadi foto pre wedding kalian," godanya kepadaku dan Jay.
Aku dan Jay tidak menolak. Setelah beberapa hari kami saling memotret, kali ini kami berdua mendapatkan porsi lebih banyak untuk foto berdua.
Akhirnya, setelah dua minggu dihabiskan bersama, aku harus berpisah di Charles de Gaulle Airport. Aku akan kembali ke Norway dulu untuk pulang bersama Ibu ke Indonesia. Jay memelukku sangat lama.
"This isn't goodbye, I know. Tapi, kenapa aku jadi sensitif," ujar Jay.
"Jay…, kamu tidak akan pernah tahu betapa berartinya perjalanan ini untukku."
"Mine, kenapa ya, aku merasa seperti mau kehilangan kamu."
"Jay, jangan menakutiku seperti itu."
"Maksudku..., aku merasa sangat takut kehilangan kamu. Mungkin, setelah dua minggu bersama, jadi rasanya seperti itu aja. Dan aku merasa, kamu cenderung untuk menerima Megan menjadi pacarmu, kalau dia memintanya. Itu yang lebih kutakutkan sebenarnya."
Aku terkesiap. Pikiran itu bahkan tidak pernah ada di kepalaku. Aku memilih tidak menjawab kalimat Jay.
Setelah melepaskan pelukanku, aku baru berkata,
"Dengan siapa pun aku suatu saat nanti, aku akan selalu punya tempat untukmu. Kamu adalah Jayku yang tidak bisa berlalu begitu saja dari hidupku. Dan kamu, tolong sisakan tempat untukku juga ya."
"I love you, Mine. Jadi, berbahagialah untukku."
"Dan kamu, aku titip mata ya. Ke ujung dunia mana pun kamu berada, jangan pernah berhenti bercerita." Air mataku mengalir. Aku tidak pernah menyukai perpisahan.
"Terima kasih untuk akhirnya mewujudkan janji kamu."
"Ah..., masih belum lunas. Yang bayarin tiket ke Norway kan Suci sama Ibu kamu."
"Tapi, kamu kan bayarin aku semua Europ trip ini dan udah beliin oleh-oleh banyak banget buat anak-anak di Surabaya."
Jay mencium keningku, kemudian mengecup bibirku.
Aku mendesah. Aku hampir lupa pada ketakutanku akan terbang. Pikiranku terus melayang ke mana-mana, termasuk pada Jay. Aku membayangkan seandainya aku berani keluar dari rumah, dan memutuskan untuk hidup seperti Jay, atau... aku terdiam. Hidup bersama Jay. Lalu, pikiranku kosong sesaat. Aku tahu, tidak tepat memutuskan untuk hidup bersama Jay di saat seperti ini. Aku harus memberi ruang untuk dirinya sendiri berpikir lebih lama.
Aku takut, seandainya aku hidup bersama Jay, keindahan yang selama ini kurasakan pada Jay akan hilang. Mungkin, cinta kami justru akan menguap karena terlalu sering bersama. Aku berkali-kali menghela napas.
Aku bertarung antara rasa cintaku pada Jay dan kehidupan nyaman yang kumiliki saat ini. Juga Megan yang tahun- tahun belakangan ini mengisi kekosongan hatinya dengan berbagai rasa, seperti yang dulu pernah dirasakannya pada Jay.
To Be Continued