webnovel

Melisa [Cinta Pertama]

Melisa Aurelie gadis remaja yang tak bisa melupakan cinta pertamanya. Dion, terpaksa harus pindah ke luar kota karena mengurus sang Ibu yang tengah sakit. Menjalani cinta jarak jauh terasa berat, tapi tak pernah menjadi beban bagi Melisa. Dia yakin bisa melewati semua ini. Tapi itu hanya berlaku bagi Melisa saja. Suatu ketika Dion menghilang tanpa kabar, membuat hati Melisa hancur, dalam ketidak—pastian, akan tetapi gadis itu tetap menunggu Dion kembali. Hingga datang seorang pria dari masa lalu, dan mampu mengobati sakit hatinya. Namanya, Bagas, dia adalah teman masa kecil Melisa. Tapi di saat Melisa mulai melupakan Dion, serta sudah menetapkan hatinya untuk Bagas, di saat itu pula Dion datang kembali, dan membuat hati Melisa dirundung dilema.

Eva_Fingers · Teenager
Zu wenig Bewertungen
93 Chs

Mengobrol Dengan Bagas

Aku malu saat Mama mengatakan aku hanya makan nasi saja, dan aku belum makan sayur atau lauk apapun.

Sementara mataku menangis dan aku mengatakan jika ini adalah efek dari masakan Nenek yang sangat pedas.

Padahal ini hanya alasanku yang asal bicara.

Aku menangis kerena sedih memikirkan Bagas, bukan karena makanan yang pedas. Tapi bodohnya aku malah salah bicara. Dan aku juga masih tidak habis pikir kenapa aku sampai lupa memakan sayur dan lauk.

Konsentrasiku terburai, dan menikmati sepiring nasi dengan lahap, seakan belum memakan sesuatu selama berhari-hari.

Kalau begini aku harus bilang apa dengan Nenek dan Mama?

Pasti mereka akan langsung menghujaniku dengan berbagai pertanyaan.

"Mel, kamu itu sebenarnya kenapa sih, Sayang?" tanya Mama yang mulai kawatir.

"Enggk kok, Ma, Mel tuh gak apa-apa," jawabku.

"Gak apa-apa tapi kok, nangis?"

"Yah Mel, cuman—"

"Cuman apa? Kamu teringat sama Dion lagi?" tanya Mama.

"Eh, enggak, Ma!" sahutku dengan lantang. Karena memang aku tidak sedang memikirkan Dion.

Aku sedang memikirkan Bagas!

Tapi ... bagaimana caranya aku menceritakan ini semua kepada Mama?

"Ndok, kalau ada apa-apa itu cerita dong, jangan dipendam sendiri," ujar Nenek menasehatiku.

Mereka semua malah mengkhawatirkan aku. Dan kini aku jadi bingung harus berbuat apa?

"Loh, kalian udah datang?" ujar Kakek yang baru saja keluar dari toilet.

"Halo, Kakek!" sahutku dengan ceria. Lalu aku langsung menghampi Kakek dan mengajaknya berbicara dengan penuh bersemangat. Untungnya Kakek juga menanggapi segala kelimatku penuh antusias.

Sehingga kami terlihat paling heboh di ruang makan ini.

Dengan begini Nenek dan Mama, tidak lagi bertanya-tanya kepadaku.

***

Setalah sarapan pagi selesai, aku pun menghampiri tempat favoritku.

Yaitu di bawah pohon talok.

Aku duduk di atas ayunan, sambil kuayun pelan-pelan dan sesekali kaki sedikit menahan ke tanah.

Biasanya aku dan Bagas, selalu di sini dan mengobrol di tempat ini. Tapi sekarang tidak.

Tak lama aku melihat motor Laras yang mulai meninggalkan rumah Bagas.

Aku lihat Laras mengenakan celana jeans sobek di bagian lutut, dan menggunakan kaos oblong warna hitam.

Dia berlalu begitu saja kerena dia tak melihatku yang tengah berada di ayunan. Lagi pula Laras juga menggunakan helm, aku pun jadi tidak menegurnya, karena pasti Laras tidak akan mendengar.

"Laras sudah pulang. Ini artinya Bagas sedang di rumah sendirian!" ujarku penuh ambisi.

Tapi beberapa menit kemudian mentalmu kembali jatuh.

"Terus kalau Bagas di rumah sendirian, aku mau ngapain?" tanyaku pada diriku sendiri.

Sepertinya otakku mulai eror.

Setelah itu Bagas keluar dari rumah, dan mata kami saling menatap.

"Eh, ada, Mbak Mel," ujar Bagas.

"Hai, Gas!" sahutku.

Aku senang sekali dia menyapa. Dan setelah ini aku yakin pasti dia akan menghampiriku lalu mengajakku mengobrol.

Aku sudah mempersiapkan diri untuk mengobrol bersama dengan Bagas.

Eh ... ternyata tidak!

Bagas malah kembali masuk ke dalam rumahnya.

Yah ... sakit sekali hatiku. Kerena terabaikan oleh perhatiannya Bagas.

Dia benar-benar sudah tidak peduli lagi kepadaku.

Ya Tuhan, kenapa hatiku bertambah sakit?

Apa ini karma karena aku dulu sudah mengabaikan Bagas?

Dari pada aku terus terdiam dan bermain ayunan sendiri, mungkin lebih baik aku masuk ke dalam rumah saja.

Di sini semakin lama yang ada aku malah semakin sakit hati.

Terlebih saat aku melihat rumah Bagas.

Yah walaupun hanya rumah, tapi membuatku teringat pada pemiliknya.

Aku pun segera melepaskan kedua tambang tali ayunan dari tanganku. Lalu berdiri dan hendak pergi.

Tapi hal yang tak terduga terjadi. "Mbak Mel!" teriak Bagas.

Dia keluar dari dalam rumahnya lagi, sambil membawa nampan berisi 2 gelas kopi.

Aku tahu kalau itu kopi karena aromanya begitu semerbak menusuk hidungku.

"Gas, itu apa?" tanyaku berbasa-basi.

"Kopi. Mbak Mel, suka kopi, 'kan?" tanya Bagas.

'Perasaan aku gak pernah bilang kalau aku suka sama, kopi. Tapi boleh lah, mungkin dengan begini hubunganku dan Bagas akan kembali memabaik,' bicarakan di dalam hati.

"Iya, suka kok!" jawabku.

Lalu Bagas duduk di kursi kayu, sambil meletakkan dua cangkir kopi itu ke atas kursi.

"Duduk sini aja, Mbak," suruh Bagas, dan aku pun mendekat.

Suasana terasa canggung, aku bingung harus memulai bicara apa dengan Bagas, tetapi Bagas malah memulainya duluan.

"Mbak Mel, sampai sini jam berapa?" tanya Bagas.

"Tadi sekitar jam Tujuh." Jawabku.

"Owh ...." Bagas mengangguk paham. Dan dia menyeruput kopinya.

"Kopinya diminum, Mbak," ujarnya.

"I-iya." Sahutku.

Aku juga menyeruput kopi buatan Bagas. Kopi susu dengan aroma sedikit vanila. Rasanya lumayan enak juga.

Kalau aku melihat ekspresi Bagas saat ini, mungkin Bagas itu sudah tidak marah lagi kepadaku.

Akan tetapi aku tidak boleh tinggal diam, 'kan?

Dan aku tetap harus meminta maaf untuk mengurangi beban di pikiranku.

"Emm ... Gas, aku minta maaf ya, soal yang waktu itu?" ucapku agak ragu.

"Soal apa, Mbak?" tanya Bagas, sepertinya dia malah sudah lupa dengan kesalahanku pada waktu itu. Yah ... wajar saja sih, kurang lebih sudah satu tahun.

Tetapi hal itu masih teringat jelas dalam pikiranku.

Kerena hampir setiap hari aku memikirkan Bagas, dan menunggu sebuah pesan atau panggilan telepon darinya. Tapi Bagas tak lagi melakukan hal itu kepadaku.

"Gas, kamu beneran lupa tentang masalah kita?" tanyaku.

"Masalah?"

"Iya, masalah!" "Aku sudah mengabaikan panggilan telepon dan pesanmu. Di saat, Mellow, meninggal?" jelasku pada Bagas.

"Owh ...." Bagas mengangguk lagi.

"Gas, demi apapun, saat itu aku hanya salah bicara. Dan aku juga turut bersedih atas meningalkannya, Mellow! Hanya saja aku—"

"Udah, Mbak. Gak apa-apa kok. Lagi pula saya, 'kan sudah memaafkan, Mbak Mel?" ujar Bagas.

"Iya, tapi aku merasa ada yang kurang. Kamu memaafkan secara terpaksa, 'kan?"

"Loh, kenapa, Mbak Mel, bicara begitu?"

"Ya, buktinya kamu sampai tidak mau menghubungiku lagi?"

"Oh, soal itu ...." Bagas menundukkan kepalanya sesaat.

"Bagaiamana perasaan, Mbak Mel, setelah tidak mendapatkan kabar tentang saya?" Aku mengernyitkan dahi mendengar pertanyaan itu. Lalu Bagas melanjutkan kalimatnya.

"Saya melakukan itu karena saya tidak mau mengganggu, Mbak Mel. Saya tahu Mbak Mel, merasa terganggu dengan semua pasan dan telepon dari saya," ujar Bagas.

"Kenapa kamu bilang begitu, Gas?

"Bukanya memang begitu, 'kan?"

"Enggak!" tegasku sambil menggelengkan kepala. "Kamu itu salah, Gas! Aku justeru merasa kehilangan kamu saat kamu tidak lagi menghubungiku!" ujarku.

"Mbak Mel, beneran merasa kehilangan saya?" tanya Bagas.

Aku menganggukkan kepalaku. Bagas melanjutkan kalimatnya.

"Apa itu rasanya seperti saat kehilangan, Dion?"

Dan mendadak suasanya menjadi hening.

"Kenapa, Mbak Mel, malah diam?" tanya Bagas.

Bersambung ....