Besoknya aku masuk sekolah karena udah sembuh.
Ini jantung rasanya udah kayak senam dari tadi. Dag dig dug mulu, ya wajar sih, soalnya rada takut mau nemuin guru olahraga biar bisa nyusul praktik lari.
"Lho, Arga, sudah sembuh to?," ucap wali kelasku dengan logat jawa.
"Sudah pak, ini mau nyari pak Anwar, mau nyusul praktik lari"
"Oalah, orangnya lagi keliling sekolah, razia rambut anak anak yang rambutnya panjang"
Mampus! Kali ini beneran!
"Tenang aja, bentar lagi kesini kok orangnya. Bapak pergi dulu ya, ada jadwal mengajar"
Singkat cerita, aku muter muter sekolah cari pak Anwar, dan baru ketemu di kantin.
"Permisi pak, saya mau nyusul praktik lari"
"Oh, udah sembuh toh. Nanti saya atur jadwalnya buat 5 orang di olahraga minggu depan aja"
"Makasih pak"
Wait... 5 orang? Karena penasaran, aku bertanya,
"Kok lima orang pak? Bukannya saya sendiri ya?"
"Bener kok lima orang. Rendra, Adi, Reno, Ivan, ditambah kamu"
Lah, mereka kok ikut ikutan?
Uuh, sahabat yang baik.
"Yaudah pak saya pergi dulu"
Aku bergegas pergi ke kelas.
...
Waktu istirahat, aku, Rendra, Adi dan Reno berdiskusi dengan serius, sementara Ivan pergi ke kantin.
"Ren, kayaknya kita perlu bantu Ivan hilangin kesialannya"
"Aku setuju, tapi gimana caranya?"
"Menurut buku kuno yang pernah aku baca-"
Yeee,si kampret malah nyasar ke dialog cerita fantasi. Palingan juga buku berisi kode keramat buat... Ehem, mari kita tidak membahasnya lebih lanjut.
"Aku ada nih kenalan guru ngaji, mungkin bisa bantu"
Sip, Adi.
Kita memutuskan untuk pergi ke guru ngaji yang dibilang Adi. Awalnya pas Ivan kita ajak agak nolak, tapi akhirnya luluh juga.
Karena besok hari minggu, sekolah libur. Kita putuskan pagi kumpul di rumah yang ditunjuk Adi.
Pas kita masuk rumahnya, orangnya lagi ngurus anaknya.
"Adi, tumben main kemari, ada urusan apa?," tanya orang itu sambil ganti popok anaknya yang masih berumur 4 bulan.
"Gini pak, ini bawa temen kesini yang sering kena sial. Mau minta tolong di ruqiah biar sialnya bisa ilang"
Setelah ngurusin anaknya, kita disuruh duduk di ruang tamu dan dikasih segelas teh hangat.
"Kamu kan?," tunjuk bapak itu kepada Ivan.
Ivan mengangguk sebagai respon.
Bapak itu mulai menutup mata.
"Saya melihat..."
"Lihat apa pak?"
Kami bertanya secara serentak.
"... Ada bayangan mantan"
Yeeeee, malah baper mikirin mantan! Udah nikah pak! Inget istri! Inget anak!
"Ta-tapi pak, saya jomblo sejak lahir"
Ivan malah ikut baper.
Cukup! Cukup Ivan, jangan bikin tambah ngenes hidupmu.
Bapak itu terdiam. Padahal dia niatnya cuma bercanda, eh Ivan malah jadi baper.
Bapak itu tertawa.
"Haha, cuma bercanda. Saya gak bisa ruqiah, saya cuma guru ngaji iqro"
Bilang dong pak dari tadi!
"Tapi saya punya kenalan yang bisa ruqiah orang. Nanti saya kabari Adi kalau orangnya bisa"
Setelah itu, kita berniat untuk pulang. Pas jalan lewat jalanan kampung, banyak anak kecil yang main kejar kejaran.
"Bang! Main maling malingan yok"
Pas dipanggil sama anak anak itu, kita pura-pura gak denger, sambil jalan terus.
"Wah cemen! Udah gede gitu masa takut kalah sama anak kecil?"
Wah cari mati ini bocah. Karena kita semua kesel dengerin ocehan bocah itu, kita setuju buat ikutan main.
Kelompok anak kecil jadi polisi, sedangkan kita jadi malingnya.
Setelah hitungan ke sepuluh, kita lari duluan. Sementara anak anak gak langsung ngejar.
Wah, firasatku buruk.
Mereka tarik nafas, bersiap untuk teriak.
"Maling! Maling! Maling!"
Wadoooo! Mereka teriak maling beneran!
Mendengar teriakan itu, warga sekitar pada nengokin. Dan karena cuma kita berlima yang lari, ya jadi jelas siap yang tersangka.
"Woi! Jangan lari kalian!"
Wadooo! Warga sekitar ikut ngejar!
Karena udah kelewat batas. Aku berhenti lari dengan tangan diatas, tanda menyerah. Temanku juga ikut berhenti.
"Pak, kita bukan maling. Kita cuma lagi main maling malingan sama bocah bocah itu"
Akhirnya setelah penjelasan panjang lebar, salah paham bisa diluruskan.
"Nah, kena kan malingnya"
Bocah sableng!
...
Pagi hari, 30 menit sebelum bel masuk.
Namaku Arga Indrawan, biasa dipanggil Arga.
"Woi! Arga! Keluar kau!"
Saat ini aku sedang dicari oleh seluruh murid sekolahku.
Alasannya?
"Sialan, beli sepatu baru gak mau diajak kenalan (diinjak)"
Yap, hanya karena aku baru beli sepatu baru.
Aneh bukan? Konyol bukan?
Ini hanyalah bagian dari ide ide gila si Author.
Suka banget bikin karakter buatannya menderita.
[Yee malah protes, bersyukur dikit lah]
Buset dah! Udah ngawur ini! Ngapain Author ikut jadi tokoh cerita woi!?
[Lha kau juga aneh, ngapain ngumpet di toilet perempuan lagi?]
Kan elu yang nulis ceritanya!
Ok, serius, mari kita abaikan Author.
[!!?]
Kejadian ini dimulai ketika aku sampai di sekolah pakai sepatu baru.
Aku kepergok sama Rendra.
"Woi! Si Arga pakai sepatu baru! Ajak kenalan lah!"
Dan seperti mata rantai yang terus terhubung.
Kabarnya meluas dengan cepat. Sampai pada akhirnya bahkan anak kelas 10 dan 12 ikut semua.
Serius! Ini cuma masalah sepatu baru! Dan kalian semua ribut satu sekolah? Seberapa gila itu?
Sangat gila!
Aku udah muter muter sambil ngumpet dari tadi. Sumpah, capek banget! Kemarin udah diburu sama warga kampung, dan sekarang dicari satu sekolah!
Emangnya gak ada orang normal kah di sekitarku!?
<<Nana, tolongin yah, aku lagi dikejar seluruh sekolah ini!>>
<<Aku mana bisa bantu, kamu lagi dimana?>>
Ok, ini akan menjadi canggung kalau aku jawab jujur.
Mending pakai cara lain. Bolos misalnya. Tapi aku murid tertib yang gak pernah melanggar peraturan, jadi gak enak mau bolos.
Atau aku tunggu saja sampai bel masuk. Tapi bisa habis aku kalau ketahuan duluan.
Dalam situasi ini, gak ada yang bisa aku andalkan. Semua sahabatku kampret semua!
Hmm, sepertinya tidak ada cara lain. Aku harus melakukan ini meskipun terpaksa.
Beberapa menit kemudian.
Aku melihat ada seorang cewek yang lagi lewat.
Aku bergegas keluar dan menghampirinya.
"Hei, kamu"
Aku memanggilnya. Itu salah satu teman sekelasku, salah satu kelompok Nana lebih tepatnya.
Aku gak bisa mundur sekarang.
"Umm, Rena ya kalau tidak salah"
"Iya, aku Rena, masa sama teman satu kelas gak inget? Aku yang pernah suka sama kamu"
Eh? Tolong jangan bahas itu. Perasaanku jadi campur aduk ini!
Duh, mau ngomong rasanya jadi canggung.
"Kenapa diam? Canggung ya? Santai aja, aku gak bakal paksa kamu kok. Jadi, ada apa?"
"Gini, aku mau minta tolong nih, tolong sembunyikan aku ya, jangan bilang ke yang lain"
"Boleh, tapi ada syaratnya"
Aku menelan ludah. Jantungku berdegub kencang. Sebenarnya Rena tidak kalah cantik dengan Nana, dia juga sama sama keturunan orang Jepang. Cuma, karena aku suka sama Nana, aku gak bisa nerima perasaan Rena.
"Syaratnya adalah, kamu harus mau temani aku kemana pun aku minta. Bisa?"
Hmm syaratnya tidak terlalu sulit. Tapi kayaknya ada maksud lain, tapi mari kita urus nanti.
"Boleh deh"
Rena tersenyum menanggapi jawabanku.
Duh senyumnya, manis banget! Aku agak menyesal sih pernah nolak dia. Tapi itu udah terjadi, jadi aku gak bisa apa-apa.