webnovel

9| Kisah Jagung Bakar

Hari pertemuan Lova dengan Pritam.

Lova menghela nafasnya. Menepati janji bukan hal yang mudah rupanya. Pikirannya terus saja menampung semua hal-hal buruk yang mungkin saja terjadi nantinya. Terakhir kali dia menyetujui sebuah kencan buta, itu tidak berjalan lancar untuk Lova.

"Jangan lupa, bawa undangannya. Itu tempat mewah, khusus tamu VIP. Kalau kamu gak bawa ini, kamu gak akan boleh masuk. Kalau kamu gak boleh masuk, urusannya akan jadi panjang." Nike meletakkan undangan di atas tas Lova.

"Itu tas bermerek pertama yang aku punya. Jangan sampai rusak apalagi kotor!" Nike jauh lebih menegaskan. Mengelus permukaan tas di atas meja. "Kalau bukan kamu, aku gak akan meminjamkannya."

Lova hanya diam. Menatap tubuhnya sendiri. Pantulan cermin setengah retak di depannya menampilkan lekuk tubuhnya yang begitu indah. Kulitnya putih bersih, cocok dipadukan dengan warna gaun biru tua yang terlihat begitu keren.

Pakde menambahkan kalung mutiara di sana. Katanya itu cocok untuk menghias leher jenjang Lova.

Nike mendekatinya. "Ingat! Temui pria dengan jas hitam dan kemeja merah darah. Dia punya rambut layer belakang dan wajah yang tampan," ucap Nike

Lova manggut-manggut. "Aku sudah pernah melihat fotonya kemarin saat di rumah Pakde." Ia menyahut.

"Kenapa dengan nada bicara kamu?" Nike memprotes. "Jangan menemui dia dengan nada dan ekspresi wajah begitu. Nanti bisa-bisa ...."

"Menurutmu aku bisa melakukan ini?" tanya Lova padanya. Gadis itu lantas menggelengkan kepalanya. Tak yakin. "Aku takut jika malah mengacaukan semuanya."

"Lova ...." Nike menarik kedua bahunya. Membuat Lova dan dirinya saling menatap satu sama lain sekarang. "Kamu hanya perlu datang dan duduk saja. Aku mengoceh apapun, dengarkan saja. Jangan menanggapi terlalu berlebih. Pritam adalah orang yang pendiam, tak suka berbasa-basi."

"Benarkah hanya begitu?" Lova ragu. Takut kalau tidak seperti dugaannya.

Namun, anggukan kepala dari Nike mencoba untuk membuat suasana jauh lebih menyakinkan.

"Acaranya nanti jam tujuh malam. Kamu bisa datang lebih dulu, menyesuaikan tempatnya. Jangan keliatan norak." Nike menepuk punggung tangannya. "Kamu pasti bisa Lova! Pasti!"

••• Marriage Obsession •••

"Pasti!" Karan tersenyum manis, membungkukkan badannya dengan sopan. "Ini adalah produk baru dari aku, Mbok. Bisa dimasukkan ke katalog nanti." Tak kenal waktu, siang dan malam, Karan menganggapnya sama saja. Dia memulai usahanya lagi, tetapi itu benar-benar di mulai dari bawah, saat dia tidak punya apapun seperti sekarang ini.

"Karan ...." Ibu tua yang ada di depannya menepuk pundak Karan. Tersenyum manis padanya. "Cepatlah cari istri, kamu sudah tua."

"Desakan menikah lagi?" Karan tertawa cukup keras. Menganggap itu semua lucu. "Aku akan menikah jika bisa mengembalikan perusahaanmu dulu. Aku harus merintis karier lagi."

"Apa itu penting sekarang?" Si mbok tak pernah lelah meningkatkan anak didiknya itu. "Kamu selalu aja ambisius cari kerja. Cari uang. Sampai lupa kalau manusia butuh pasangan." Dia menepuk kasar pundak Karan. "Carilah istri dan dia akan membantumu merintis usaha."

Karan lagi-lagi tertawa. "Siapa juga yang mau sama pria miskin yang tinggal di tengah Kota Jakarta?" Karan menaikkan kedua sisi bahunya. "Wanita jaman sekarang, bakalan milih bebet, bibit, dan bobot seorang laki-laki, Mbok. Jadi aku harus memenuhi tiga itu dulu."

Wanita yang dipanggil 'Mbok' olehnya berdecak. Menggelengkan kepalanya. "Terserah kau saja. Kalau sudah terlalu tua, baru tahu rasa!"

Karan tersenyum simpul. Dia mengambil satu jagung bakar di depannya. "Kenapa Mbok gak pulang ke kampung saja? Aku dengar Mas Edo punya peternakan di Malang. Mbok bisa hidup di sana dengan nyaman," ucap Karan, menyimpulkan. "Kalau dipikir-pikir, hasil dari jualan jagung gak seberapa. Itu paling cuma buat makan pagi dan malam."

Wanita tua itu manggut-manggut. Masih fokus membalik jagung bakar di depannya. "Jagung bakarku pergi enak di sini. Kalau aku pergi, kasian pelangganku."

Karan menghela nafasnya. Dia wanita tua yang keras kepala.

"Lagian, aku gak bisa hidup dan merepotkan orang lain teru menerus."

"Mas Edo adalah anakmu. Jadi bagaimana bisa dia merasa begitu kalau tinggal menghidupi ibunya?" Karan memprotes. Mengigit jagung bakar di depannya. Benar, rasanya khas. Meksipun banyak yang menjual jagung bakar di sepanjang alun-alun kota. Namun, punyanya Si Mbok yang paling luar biasa. Dia juga selalu datang kemari kalau malam.

"Tetap saja. Dia punya tiga anak dan istri. Katanya ibu mertuanya masuk rumah sakit karena jantung. Dia punya banyak beban."

Karan diam sembari menggelengkan kepalanya. Tak menjawab, hanya bergumam. "Seharusnya dia lebih peduli pada ibunya."

"Hei, jangan gitu! Kamu ini kalau sama Edo kayak gak cocok gitu. Ada apa?" Si Mbok mulai mengintrogasi. "Kalian dulu teman semasa kecil. Aku masih ingat kalau kalian suka minum susu kambing dari gelas yang sama."

"Itu saat belum mengenal cinta," kata Karan menyahuti. "Sekarang sudah gede, cinta adalah segalanya bagi seorang pria dewasa."

"Kamu suka sama istrinya Edo?" Si Mbok tertawa. Gurauannya kuno. Namun, tak disangka Karan menganggukkan kepalanya. "Ya Gusti!" Si Mbok kaget bukan main, itu berlebihan. "Kamu beneran suka sama Wulan?"

"Itu dulu! Waktu SMA." Karan segera menampik. Tak mau Si Mbok salah paham. "Dia merebut cintaku, akhirnya aku putus dari Wulan." Sekarang berubah menjadi sesi saling mencurahkan isi hatinya.

Toh juga belum ada pelanggan yang datang, jadi Si Mbok belum terlihat sibuk.

"Ah, itu sudah di masa lalu. Kenapa masih membawanya ke masa depan? Sudah aku katakan. Kamu tampan, kompeten, apa adanya, pekerja keras dan pandai, siapa yang gak mau? Semua pasti mau ..."

"Mbok ... a—"

"Aku mau!" Seseorang tiba-tiba saja datang. Membuyarkan dialog mereka. Karan menoleh kala aroma wangi menyeruak masuk ke dalam lubang hidungnya. Begitu juga dengan Si Mbok yang kaget melihat seorang bidadari turun daei kayangan malam-malam --ah, bercanda! Dia hanya bergurau saja. Saking cantiknya wanita di depannya itu.

"Mau sama Karan?" tanya Si Mbok ceplas-ceplos. Itulah dia.

Gadis cantik itu tersenyum ringan. Melirik Karan yang membeku akan kecantikannya. "Mau jagungnya," jawab dia dengan penuh ketegasan. Menunjuk jagung bakar di atas pemanggangan tradisional milik Si Mbok.

Keduanya sama-sama diam sejenak.

"Mbok! Ada yang beli!" Karan menepuk tangan wanita gempal itu. Entah mengapa, jadi dia yang salah tingkah.

"Oh, iya! Maaf! Habisnya gak sangka kalau ada bidadari yang main ke bumi malam-malam," katanya terkekeh. Dialeg khas orang Jawa asli.

Karan ikut tertawa. Melirik gadis cantik di sisinya. Benar kata si mbok, dia cantiknya luar biasa.

Sembari mengambilkan pesanannya, si mbok kembali bertanya. "Namanya siapa, Neng?"

Gadis itu diam lagi, sepertinya dia asing dengan situasi ini.

"Nama kamu ..."

"Lova," jawabnya pada akhirnya. "Teman-teman memanggilku Lova."

"Oh, Lova! Cocok banget kalau namanya ada di undangan pernikahan sama kamu," ucapnya pada Karan. "Lova dan Karan. Si mbok mendukungnya penuh!" kata wanita itu tertawa.

Ah, sial. Selalu saja begitu. Si mbok selalu berhasil membuatnya malu.

... To be continued ...