webnovel

8| Dari masa lalu.

Masih di dalam gedung Mr. Rex, Lova diajak berjalan-jalan untuk menyusuri bangunan ini. Seperti layaknya kantor biasa, mungkin sedikit lebih mewah dari dugaan, Lova. Arsitektur bangunan dan tata ruangan, menjadi hal yang paling menyita fokus Lova di sini, sepertinya pria ini mencintai keindahan yang ada.

"Dia namanya Monica," ujar Mr. Rex sembari memperkenalkan orang yang tidak sengaja berpapasan dengan mereka. Gadis yang cantik, tubuhnya indah semampai. Tinggi menjulang dengan kaki jenjang yang begitu cantik, secantik wajahnya.

"Tidak ada orang jelek di sini," kata Mr. Rex menanggapi ekspresi wajah Lova yang terkagum-kagum. "Semuanya ...." Mr. Rex melingkarkan gerakan tangannya. "Sempurna! "

Lova menatapnya sedikit aneh, dia jauh dari dugaan. Pikirnya, Mr. Rex adalah pria yang gagah, seperti namanya. Namun, sikapnya benar-benar kemayu.

Dia berhenti di depan pintu sebuah ruangan, entah apa isinya. Lova akan segera tahu jika pria itu membukanya.

"Kamu teman dekatnya Nike bukan?" tanyanya lagi. Ini untuk yang kesekian kalinya.

--dan Lova hanya manggut-manggut mengiyakan.

"Seharusnya dia memberikan gaun yang lebih cantik dari itu," tukasnya sembari menunjuk ke arah gaun pendek yang dikenakan oleh Lova malam ini.

Lova menoleh, menatap bayangan tubuhnya sendiri dari pantulan jendela kaca yang ada di sana. Tak ada yang salah, dia pantas mengenakan ini. Tubuhnya yang ramping, lantas memberi kesan apik dan memukau.

Mr. Rex membuka pintunya. Lova diajak masuk ke dalam. Ini ruang ganti baju yang besar. Banyak pakaian mewah dan mahal di sini. Tentu saja pakaian untuk para PSK.

"Pilihlah satu," perintahnya pada Lova. "Kamu boleh meminjam satu dari sini." Ia mengimbuhkan. Namun, gadis yang ada diajak berbicara hanya diam, memaku di tempatnya. Dia bak orang kikuk di sini. Tak ada satu pun kalimat yang terucap dari celah bibirnya.

"Aku bilang kamu boleh memilih satu," sosornya pada diamnya gadis itu. Jelas-jelas Lova bingung atas apa yang terjadi padanya.

"Lova ...." Mr. Rex menyenggol bahunya. "Kamu akan pergi dengan gaun semacam itu?"

Lova menggelengkan kepalanya. "Ada satu gaun lagi di rumah, mirip dengan ini, tetapi warnanya sedikit gelap. Katanya, menyesuaikan dengan kesan malam besok."

Mr. Rex tertawa. Itu membuat Lova semakin bisu. Dia amatiran.

"Kau akan bertemu dengan seorang CEO muda dari perusahaan yang lumayan terkenal dan besar di Jakarta dengan pakaian semacam itu?" Mr. Rex menunjuk dengan jijik.

"Apa salahnya? Ini jauh lebih bagus dari gaun yang aku punya sendiri."

"Murahan!" Pria itu menyahut. Kalimatnya sedikit menusuk. "Bukan kamu, tetapi gaunnya." Ia menjelaskan, memberi penekanan di penutup kalimatnya.

Mr. Rex memilih baju yang ada di etalase. Sesekali mencocokkan itu dengan tubuh Lova. Tentu saja, semuanya akan terlihat cantik dan pas, tetapi dia juga harus menyesuaikan dengan suasananya.

"Bagaimana dengan gaun yang merah?" Lova menunjuk sebuah log dress dengan model kerah V yang begitu sederhana, tetapi terlihat begitu elegan.

"Kamu mau yang itu?" tanya Mr. Rex memastikan.

Lova mengangguk. "Aku akan mencobanya dulu," ujarnya kemudian. Tersenyum manis pada Mr. Rex.

"Baiklah. Kita coba dulu."

••• Marriage Obsession •••

"Pritam!" Seseorang memanggil dirinya. Pria yang baru saja ingin masuk ke dalam mobilnya itu menoleh. Ditatapnya siapa yang meneriakkan namanya dengan begitu kencang. Suaranya pun tak asing.

"Karan?" Pritam mengerutkan keningnya seraya mencoba untuk mengenali orang yang berjalan ke arahnya. "Benar! Itu Karan!"

Seorang pria datang, pakaiannya rapi, tetapi jauh sederhana dari yang Pritam kenakan.

"Wah! Gak nyangka banget kita bisa ketemu di sini." Dia tersenyum manis. Menepuk pundak Pritam, menunjukkan bahwa sebelumnya mereka adalah teman dekat. Entah bagaimana kisahnya, tetapi waktu benar-benar mengubah segalanya.

"Hm, gak nyangka." Pritam menatap pria seumuran dengannya itu teliti. Menelisik penampilannya dari atas ke bawah. "Kamu kerja?" tanyanya. Sedikit aneh. "Padahal aku kira kamu akan menjadi bos dengan usaha yang kamu impikan dulu." Pritam tersenyum miring. Karan adalah orang yang bisa dibilang pandai semasa duduk di bangku perkuliahan. Dia rajanya pengolahan manajamen yang bagus, semua memuji caranya mengolah perusahaan.

"Ah, soal itu ...." Karan melirih. Tertawa aneh, cekikikan di tempatnya. "Aku bangkrut satu tahun yang lalu. Ternyata tanpa sokongan dana dari orang yang berpengaruh, usaha di Jakarta tidak semudah yang aku kira."

Pritam manggut-manggut. Kembali menutup pintu mobilnya.

Pandangan Karan tak lagi tertuju pada Pritam, melainkan mobil mewah yang dia bawa. "Ini mobil kamu?"

Pritam mengangguk lagi. "Aku meneruskan usaha papa." Dia menjawab singkat, seadanya.

"Ah, begitu rupanya. Kamu benar-benar orang yang beruntung." Karan menarik kedua sisi bibirnya, tersenyum setengah hati.

"Kalau gitu aku pergi dulu. Aku tadi cuma pengen nyapa aja." Karan menepuk lagi pundak Pritam. "Rumahku gak jauh dari sini, kapan-kapan mampir saja."

Setelah menyelesaikan kalimatnya, Karan memulai langkah, pergi dari hadapan Pritam. Mungkin hal yang salah kalau dia berpikir bahwa Pritam akan menjadi anak manja, tak mau bekerja. Hanya menjadi beban orang tuanya saja. Dulunya, dia begitu.

"Karan!" Pritam memangilnya. Membuat Karan menoleh padanya. Pria itu tak jadi menyebrang jalan. "Kamu ke kantor jalan kaki?" Dia menatap Karan, seperti sedang mencari celah untuk saling menghina.

Karan mengangguk. "Pergi ke halte bus? Iya. Lalu aku naik bus kota dan turun di halte dekat kantorku," balasnya.

"Gak punya motor?"

Karan diam. Pritam aneh, sedetail itu dia peduli pada Karan? Padahal tidak perlu.

"Motornya aku jual untuk menutupi kerugian usahaku. Jadi aku lagi nabung lagi buat beli motor yang sederhana saja." Karan menatap ke arah mobil Pritam. Itu adalah impiannya.

"Kalau begitu hati-hati di jalan," ucap Pritam. Mengakhiri pembicaraan tak penting itu.

Karan melengkungkan bibirnya. Harusnya dia tidak menyapa tadi. Maka hatinya tidak akan sakit sebab iri.

"Karan!" Pritam memanggil untuk yang kedua kalinya. Itu kembali menyita fokus milik Karan.

"Masih berpikir bahwa uang bukan segalanya?"

Deg! Kalimat itu seakan balasan yang luar biasa. Dia pernah mengatakan pada Pritam bahwa usaha akan mendatangkan uang. Uang bukan segalanya. Sebab, ada beberapa hal yang tidak bisa dibeli dengan uang, termasuk cinta dan kasih sayang.

"Kamu masih berpikir bahwa usaha dan kepandaian yang mumpuni adalah kunci utama membangun usaha?"

Karan mulai tahu, Pritam berusaha untuk menghinanya sekarang. Mengulas kembali apa yang ada di masa lalu.

"Lihatlah ... aku akan menunjukkan padamu, bahwa segalanya bisa dibeli dengan uang."

Karan hanya diam. Mendengarkan semua yang dikatakan oleh teman lamanya itu. Setelahnya, Karan melihat senyum sinis datang dari Pritam, dia memberi hormat dengan cara yang tak pantas.

Ah, pria itu tak akan pernah berubah. Selalu saja mendewakan pasal uang.

... To be continued ...