webnovel

MALPIS

[17+] Kisah ini menceritakan soal Alya dan Ben. Mereka bertemu saat si kebetulan tak sengaja menghampiri mereka. Lalu mereka mulai saling memberikan perhatian saat si cinta dan rasa sayang membutakan mereka. Namun si mantan datang dan tanpa sengaja merebut kembali apa yang pernah menjadi miliknya.

adeliafahriani_ · Urban
Zu wenig Bewertungen
69 Chs

Chapter 46 - Short Messages

Ben berjalan dari lift menuju parkiran mobilnya. Ia membuka kuncinya dan memanaskan mobilnya. Tak sengaja ia melihat motor Alya masih terparkir ditempat biasanya. Ia mendekat dan memeriksa kendaraan itu. Tampak ban belakangnya kempis dan hampir sepenuhnya. Ben melihat parkiran mobil Alya dan kendaraan itu masih ada disana. Ia menghela napasnya.

Alya, kenapa kamu gak minta tolong aku anter sih, katanya pelan pada diri sendiri. Ben memasuki mobilnya dan ia meninggalkan apartemennya dengan sedikit penyesalan disana.

Ben mengeluarkan kartu master cardnya dan langsung memasuki kamar Elena. Ia melihat wanita itu sedang memulas make-up diwajahnya.

"Kamu mau kerja hari ini?" Tanya Ben mendekat.

Elena mengangguk. "Aku gak enak sama Agusman kalau terlalu lama tutup. Aku cuma karyawan, Ben." Ujarnya.

"Kamu yakin?" Tanya Ben memastikan.

Elena menoleh pria itu dan berkata, "Kata kamu Roy tidak akan bisa masuk sini " sindirnya dengan sedikit tertawa. "Lagian sudah berkurang. Bisa aku akalin dengan fondation." Tambahnya.

Pintu kamar Elena diketuk dari luar. Spontan Ben masuk ke dalam kamar mandi dan bersembunyi disana.

Setelah mendengar pintu utama tertutup kembali Ben keluar dan ia melihat sepiring sarapan didepan wanita itu.

"Kamu sudah sarapan?" Tanya Elena. Ia meneguk kopinya pagi ini.

"Aku sudah sarapan dirumah." Jawab Ben. Ia sudah menghabiskan sarapan milik Alya. Ia duduk didepan Elena dan menemani wanita itu sarapan.

"Alya selalu buatkan kamu sarapan apa?" Tanyanya penuh menggelitik. Ia selalu ingin tahu apa saja yang Alya lakukan pada pria itu. Setelahnya ia selalu membandingkan dengan dirinya. Jika Alya memiliki kelebihan dalam satu hal, maka akan muncul rasa cemburu. Tapi jika dirinya lebih unggul, maka ia akan sangat bangga.

"Gak tentu dia buatkan aku sarapan apa setiap harinya." Sahut Ben. Bola matanya berputar mengingat apa saja yang istrinya itu pernah siapkan untuknya.  "Kalau hari minggu ia selalu buat yang sedikit berat seperti nasi goreng." Sambungnya. Garis senyumnya naik sekilas.

Elena merasa kalimat Ben itu bukan hanya sebuah penjelasan melainkan sebuah pujian. Ia melanjutkan sarapannya. Ia melihat ke arah Ben yang mengecek sesuatu di layar ponselnya. "Besok kamu sarapan disini aja." Katanya. Nadanya terdengar mengajak. Ben menoleh dan keningnya berkerut sesaat.

"Kamu bisa beli sarapan diluar, nanti kita sarapan bareng-bareng." Sambung Elena.

Ben mengangguk pelan. Ia tidak bisa menjanjikan hal itu karna Alya tidak pernah absen untuk membuatkannya sarapan. Ben melihat jam kerjanya sudah tiba. "El, aku harus turun sekarang." Katanya sambil bangkit dari kursi itu.

Elena menenguk kopinya sesaat. Ia menatap pria itu. "Malam ini kamu mau makan malam dengan aku?" Tanyanya.

"Malam ini?" Ben tampak berpikir sejenak. "Lihat nanti ya." Ucapnya. Ia pergi menuju pintu. Elena melepas pria itu pergi.

***

Ben tiba dilantai enam dan menuju kantornya. Ia melihat Arif dan juga Tina sudah berada di meja sekretaris. Arif melihat atasannya dan senyumannya mengembang menyambut pria itu. Ia tahu kalau atasannya sudah tiba di hotel ini sejak tadi karena ia melihat mobil pria itu sudah terparkir di basmen sejak ia datang sekitar dua puluh menit yang lalu.

Hanya ada satu tempat dimana pria itu mampir sepagi ini. Tapi Arif tidak bisa berbuat banyak karena ia hanya seorang bawahan yang tidak bisa mencampuri urusan pribadi pria itu. Arif membawa beberapa map berisi perjanjian dengan beberapa client yang harus ditanda tangani oleh atasannya.

Ben melihat Arif masuk ke dalam kantornya. "Rif, tolong kamu hari ini, antarkan motor Alya ke bengkel. Ban belakangnya bocor atau kempis saya juga gak tahu. Tolong kamu cek ya." Pesannya.

Arif mengangguk dengan yakin. Lega rasanya kalau pria itu memperhatikan istrinya seperti awal dulu, sebelum Elena hadir diantara mereka.

***

Alya dan Rini berjalan ke arah depan sekolah. Ia menemani temannya itu untuk menunggu suaminya. Gerombolan murid berbondong-bondong meninggalkan sekolah dan membuat keadaan ramai dan sesak. Alya sedikit menepi. Ia tidak menyadari kalau Dewa baru saja lewat disamping kirinya dan menatapnya begitu dekat.

Tak berapa lama, Rini dijemput oleh suaminya dan ia berpamitan dengan temannya itu. Setelah Alya melepaskan kepergian Rini, ia pun pulang dengan menggunakan ojek kembali.

Dewa menjalankan motornya mengikuti wali kelasnya itu. Ia ingin tahu dimana wanita itu tinggal. Ia berjalan pelan dan sedikit menjaga jarak. Saat Alya memasuki jalan yang sangat dikenalinya, Dewa sempat ragu apakah benar wanita itu menuju pulang atau malah ke tempatnya. Tapi saat ojek itu berhenti disalah satu apartemen, Dewa tahu dimana wanita itu tinggal. Senyumnya melerai. Wali kelasnya aman sampai tujuan. Ia pun pulang.

Alya baru saja selesai mandi sore dan ia berencana untuk mengantarkan motornya ke bengkel. Namun ponselnya berbunyi dan nama mamanya tertera disana.

"Halo, ma?" Sapanya. Ia berjalan ke arah wardrobe-nya.

"Al, sibuk gak malam ini?" Tanya wanita itu.

"Enggak, kenapa ma?" Ia mencari salah satu pakaian santainya.

"Malam ini kamu kesini dong, bantuin mama sama bapakmu packing buat besok." Bujuknya. Mereka akan pergi ke Bali memenuhi undangan besan mereka menikmati Resort dan suasana Bali untuk pertama kalinya.

"Oh yaudah, nanti Alya kesana ya." Ia tersenyum sungging. Teringat jelas bagaimana ekspresi mamanya yang begitu bahagia meneleponnya saat mendapatkan kabar tentang jalan-jalan itu.

"Mama tunggu ya." Sarinah menyudahi telepon itu.

Alya memakai pakaiannya dengan segera dan duduk di pinggir tempat tidurnya. Ia menelepon suaminya untuk meminta ijin pergi malam ini. Beberapa kali ia menunggu sambungan itu dijawab namun berbuah nihil. Akhirnya Alya mengirimkan pesan kepada suaminya,

Ben, malam ini aku ke rumah mama mau bantuin buat packing ke bali besok. Mungkin pulangnya agak malam, kamu mau makan dirumah apa diluar? 

Pesan itu terkirim dan suaminya tidak langsung  membalasnya. Alya mengambil tas kecilnya yang berisi dompet dan juga ponselnya. Ia ingin membawa motornya ke bengkel dengan cara mengendarainya perlahan.

Alya sudah memasukan kunci motornya pada motor kesayangnnya dan matanya tercengang ketika ia melihat ban motornya sudah terisi angin. Ia menekannya dengan sekuat tenaga untuk memastikan. Dan ban motor itu keras sekali. Alya merasa terharu karna motornya sudah diperbaiki. Hanya ada satu nama yang terlintas dibenaknya yaitu suaminya.

Alya menelepon kembali suaminya untuk sekedar mengucapkan terima kasih, namun tetap saja pria itu tidak mengangkatnya. Ia berjalan ke arah lift dan sebuah pesan masuk.

Ben,

Aku makan diluar aja. Perginya hati-hati ya kesana.

Pria itu hanya membalasnya sesingkat itu. Alya tersenyum membacanya. Ia membalasnya kembali.

Alya,

Terima kasih ya motornya sudah kamu bawa ke bengkel.

Tak lama Ben membalasnya kembali.

Ben,

Iya sama-sama.

Membaca balasan suaminya yang singkat, membuat Alya berpikir yang bukan-bukan. Ia merasa suaminya berubah padanya. Ia tahu seharusnya ia tidak boleh berpikir seperti itu karna bisa saja Ben sedang sibuk saat ini. Tapi sisi jahat didalam dirinya malah berpikir sebaliknya.

***

Sebelum pergi menuju rumah orang tuanya, Alya membersihkan rumahnya sesaat dan mengumpulkan beberapa baju kotor milik mereka yang sudah menumpuk selama seminggu. Alya memisahkan kemeja suaminya dengan baju lainnya. Ia memasukkan baju rumah mereka ke dalam mesin cuci dan matanya menangkap kemeja suaminya masih terselip disana diantara baju lainnya. Ia menariknya keluar.

Tercium dihidungnya aroma parfum yang berbeda. Alya mendekatkan kemeja itu dan memastikan bau yang diciumnya. Benar saja, bagian dada kemeja itu seperti aroma lembut yang tidak pernah ia cium sebelumnya. Lebih tepatnya, aroma jenis itu tidak ada dirumah mereka. Seingat Alya, kemeja itu digunakan suaminya adalah saat pria itu pulang terlambat waktu itu.

Pikiran Alya mulai terpecah kembali. Sisi jahatnya mengatakan kalau ia harus curiga pada suaminya. Tapi sisi baiknya berkata, kalau suaminya bisa saja meeting disuatu tempat yang pengharus ruangannya begitu kuat hingga baunya bisa menempel. Alya menarik napas dalamnya dan membuang semua pikiran jahatnya. Ia berusaha tenang.

***

Elena menyambut tamu yang mampir di galerinya malam itu. Ia menjelaskan cerita dibalik desain yang dibuatnya serta jenis kayu yang digunakan. Tiba-tiba suara riuh muncul dari arah lobi. Elena melihat sekilas dan tampak beberapa orang pria sedang dikawal oleh beberapa orang bodyguard menuju lift.

Itu penyanyinya, benak Elena. Ia tidak mengenal mereka siapa dan ia juga tidak ingin mencari tahu, yang jelas penyanyi itu terkenal hingga fansnya menunggu didepan hotel sejak semalam.

Elena merasakan ponselnya bergetar, dan ia melihat nama Roy muncul disana. Ia meminta ijin dengan pelanggannya sekejap.

"Ada apa?" Tanya Elena dengan nada datar. Sebenarnya ia sudah malas berurusan dengan Roy.

"Kamu datang ke Hotel Aryiz sekarang." Perintah Roy dengan kasar dan tanpa basa-basi.

"Aku sibuk, Roy." Alasannya.

"Kamu jangan menghindar." Nadanya tegas. "Jangan buat aku harus menyeret kamu dari galeri itu." Ancamnya.

Wajah Elena sudah benci setengah mati. "Kamu mau apa sebenarnya?" Ia sedang berusaha menawar.

"Jangan banyak tanya. Kamu datang kesini sekarang!" Tegasnya.

Elena merasa tidak berkuasa saat ini. "Satu jam lagi aku kesana." Ujarnya pasrah.

Roy langsung mematikan sambungan telpon itu. Elena kembali melayani pelanggannya dengan hati dongkol.

***

Alya menarik koper besar kedua orang tuanya ke ruang tamu agar lebih mudah membawanya besok. Setelah itu ia duduk disofa didepan televisi dan beristirahat sejenak. Ia melihat tampilan rumah itu yang masih sama seperti terakhir ia tinggalkan. Satu persatu penghuni rumah itu pergi dan memiliki rumah sendiri, termasuk dirinya.

Alya melihat bapaknya keluar dari kamar. "Pak, besok Alya gak bisa antar ke Bandara. Alya ada kelas jam pertama." Ucapnya tidak enak hati. Jika bukan karna kelas itu, ingin sekali ia mengantarkan kedua orang tuanya.

"Tak apa." Seru Yusril bergabung dengan putrinya disofa itu.

"Alya coba tanya Ben nanti, mungkin dia bisa antar ke Bandara." Usulnya.

Yusril menggeleng. "Jangan, Ben pasti sibuk. Bapak sama mamamu naik taksi saja."

"Bener gak apa?"

Yusril mengangguk yakin. Ia tidak ingin merepotkan anak dan menantunya hanya untuk mengantarkannya ke Bandara dan bermacetan dijalan.

Sarinah keluar dari kamarnya dengan membawa beberapa plastik kosong ke arah dapur. "Udah ada tanda-tanda, Al?" Tanyanya sekilas sambil berjalan.

Alya tahu maksud mamanya bertanya hal itu. Ia tidak perlu memberitahukan alasan spesifiknya didalam rumah tangganya. "Belum, ma. Masih mau berdua dulu." Alasannya dengan bijak.

Yusril mengangguk tanda setuju dengan putri sulungnya. Ia juga tidak berharap putrinya hamil terlalu cepat. Ia membebaskan keduanya untuk menikmati masa indah telebih dahulu.

***

Ben masuk ke dalam kamar Elena saat jam sudah menunjukkan pukul 7 malam. Namun ia tidak menemukan siapapun disana. Ben memutuskan untuk mencari wanita itu ke Galeri. Sayangnya, galeri itu sudah tutup.

Ben membuka ponselnya dan berniat untuk menelepon Elena. Beberapa nada dering itu berbunyi namun tidak dijawab oleh sipemilik nomor hingga terputus dengan sendirinya. Ben tak gentar. Ia terus menghubungi Elena kembali untuk mendapatkan lokasi persisnya keberadaan wanita itu. Ben mulai frustasi disaat-saat akhir hingga sambunganya terjawab.

"Ada apa, Ben?" Sapa Elena dengan nada pelan.

"El, kamu dimana?" Tanyanya panik. Ia tidak mendengar suara apapun diseberang sana.

Elena diam sejenak. "Aku lagi diluar."

"Diluar dimana?" Ben seperti ingin tahu. "Kamu dengan siapa?" Rasa penasarannya muncul.

Elena menghembuskan napas resahnya pelan. "Kamu tenang aja. Aku gak apa-apa." Ia berusaha meyakinkan pria itu.

Mendapat jawaban seperti itu dari Elena, Ben melemah. "Makan malamnya gimana?"

"Lain kali ya, Ben. Malam ini aku gak bisa." Ujarnya. Ada nada kekhawatiran disana.

"Ya udah, kamu hati-hati ya." Pesan Ben. Ia berharap wanita itu bisa menjaga dirinya walaupun keresahannya tak tertutupi.

Elena berdiri didepan sebuah kamar bernomorkan 6610. Ia mengetuk pintu itu dengan pelan. Hanya dalam hitungan detik, penghuni kamar itu muncul yaitu Roy.

"Heeei... kamu udah datang." Sapa Roy didepan pintu. Pria itu tidak mengenakan kaos dan hanya mengenakan celana jeans birunya. Tubuhnya penuh dengan tato. Ia membuka pintunya lebar untuk menginjinkan wanita itu masuk.

Elena melangkahkan kakinya masuk ke kamar itu. Bau rokok dan alkohol sangat terasa disana. Bahkan isi kamar itu bukan lagi kamar hotel melainkan seperti sebuah basecamp yang sudah ditempati selama bertahun-tahun.

Banyak pakaian berserakan dilantai, alat-alat tato serta berbagai macam cat berwarnanya yang sangat Elena hapal. Belum lagi tempat tidurnya juga sangat berantakan dan ada bercak merah diselimutnya. Elena tahu kalau Roy nakal seperti dulu. Hingga matanya melihat sebuah celana dalam wanita berwarna hitam dibawah tempat tidur itu.

Roy memeluk Elena dari belakang hingga bibirnya memberikan sentuhan ditengkuk wanita itu. Elena tidak merasakan apapun dan ia hanya membiarkan dirinya disentuh oleh pria itu. Roy memutar tubuh Elena menghadapnya lalu membajiri wanita itu dengan ciuman mautnya.

Elena bahkan tidak bergerak dari posisinya. Kedua tangannya juga jatuh ke bawah. Dan matanya terbuka lebar melihat apa saja yang Roy lakukan padanya. Ingin rasanya ia memukul pria didepannya ini, namun kelak ia akan mendapatkan dua bahkan tiga kali lipat dari itu, ia tidak siap.

Roy melepaskan ciumannya dan menatap Elena. "Aku rindu sama kamu." Ucapnya lembut.

Elena tidak berkomentar apapun dan hanya membalas tatapan pria itu.

"Kita makan berdua. Udah lama kita gak makan bersama." Ajaknya. Elena hanya mengangguk. Roy mengambil baju kaosnya dan memakainya dengan segera.

Seorang pelayan mengantarkan dua buah piring berisikan makanan yang dipesan oleh mereka. Pelayan itu meletakkan piring Roy lebih dulu. Dan pria itu meliriknya dengan mengedipkan mata kirinya kepada pelayan wanita itu. Elena melihatnya dan ia sudah terbiasa dengan hal itu. Pelayan itu memberikan senyuman manis kemudian ia pergi meninggalkan meja itu.

"Udah lama ya, kita gak makan berdua gini, yang." Roy memegang kedua garpu dan pisau pemotong steaknya.

Elena mengangguk pelan dengan sedikit senyuman. "Alat tato kamu, kenapa bisa ada disini?" Tanyanya.

Roy memberikan seringainya. "Aku juga harus mencari uang untuk bisa bayar hotel ini. Ternyata orang Jakarta lebih maniak tato dari pada turis di Bali." Ia menyuapkan dagingnya ke dalam mulut.

Elena diam saja saat mendengarnya. Ia melihat pria itu menengok sesuatu disamping kanannya. Elena menoleh, benar saja disana ada dua orang wanita yang sedang makan berdua bersama temannya. Dan Roy saling bertukar pandang dengan salah satu wanita itu. Hal yang sudah Elena ketahui akan terjadi. Ia tidak bisa mengelaknya. Roy tidak akan pernah berubah.

Setelah selesai makan, Roy menggandeng Elena dan mengajaknya kembali ke kamar. Mereka berjalan ke arah lift di Hotel itu.

"Roy, aku harus ke gudang sekarang. Ada banyak kerjaan yang harus aku selesaikan." Alasannya. Ia tidak mau masuk ke dalam kamar pria itu lagi.

Roy menarik pinggang Elena ke arahnya dan memasang wajah emosi. "Jangan sampai aku harus seret kamu disini." Ancamnya.

Elena menarik napas lelahnya. Ia ingin melawannya. Ia melepaskan tangan Roy dari pinggangnya tapi pria itu malah mencengkram leher wanita itu dari belakang. Elena kaget dengan perlakuan pria itu. Disekitar mereka cukup ramai, tak membuat pria itu bermurah hati padanya.

"Apa perlu aku permalukan kamu disini?" Kata Roy tepat ditelinga wanita itu.

Elena mengalah. "Sorry." Katanya. Pintu lift terbuka dan ia mengikuti langkah pria itu menuju kamarnya.

Saat tiba dikamar, Roy menyuruh Elena duduk di kursi dan wanita itu mengikutinya. Roy menurunkan suhu kamarnya beberapa angka agar suasananya semakin dingin. Elena sudah mulai cemas dan ia sedang berpikir bagaimana caranya untuk pergi darisana.

Roy mendekati Elena dan mengelus wajah wanita itu dengan lembut. Tiba-tiba ponselnya berbunyi. Roy mengangkat panggilan itu didepan Elena. Suaranya terdengar pelan dan raut wajahnya berubah memandangi wanita didepannya. Elena mulai was-was dan curiga kenapa Roy menatapnya begitu.

Tak lama, Roy menyudahi obrolan itu dan kembali menatap Elena. "Semenjak aku disini, pelanggan aku lebih ramai daripada disana." Tawanya melerai. Ia kembali mengelus wajah Elena dengan lembut. Tengkuk wanita itu dirabanya lembut. Tapi Elena tidak memberikan respon apapun.

Roy berdiri dan mulai memeluk Elena dari belakang dan membanjiri wanita itu dengan ciuman dibagian leher. Ponselnya berbunyi lagi. "Sial!" Maki Roy. Ia menjawab telepon itu. Terdengar helaan napasnya yang dihembus kesal. Elena masih berdiam diri di kursi itu dan tidak berani menoleh ke belakang.

Roy meletakkan ponselnya diatas meja didepan Elena dengan sedikit membanting. Elena melihat ke arah pria itu sekilas.

Roy mencium ubun-ubun Elena dan berkata, "Aku ingin sekali tidur dengan kamu malam ini, tapi aku ada kerja. Aku harus membuatkan tato untuk orang kaya. Dan mereka maunya malam ini." Katanya. "Kamu juga tidak mungkin menunggu aku disini. Kamu pulang saja, nanti aku ke apartemen kamu." Sambungnya.

Elena menatap Roy dan berharap apa yang dikatakan oleh pria itu tidak salah. Pria itu membiarkannya pulang. Roy mengambilkan tas Elena dan memberikannya kepada wanita itu. Tidak membuang waktu, Elena langsung mengambil tasnya dan berdiri dari kursi itu.

Roy menahan tangannya dan berkata, "Kamu jangan kemana-mana. Setelah ini selesai, aku akan kesana." Pesannya.

Elena mengangguk pelan. Ia berjalan ke arah pintu dan meninggalkan kamar itu. Ia setengah berlari ke arah lift. Ia sangat bersyukur karena Roy tidak sempat melakukannya.

***

JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR YA.