Ben masuk basemen apartemennya. Ia memarkirkan mobilnya seperti biasa. Ia mematikan mesinnya lalu membuka sabuk pengamannya. Ponselnya bergetar dan nama Elena muncul disana. Dengan segera Ben mengangkatnya.
"Ada apa, El?" Tanyanya dengan nada sedikit panik. Jarak sekali Elena meneleponnya dijam segini.
"Kamu dimana?" Tanya Elena dengan nada lemah.
Ben melihat sekelilingnya dan ia menjawab. "Aku masih di jalan." Katanya.
Elena diam sejenak. "Aku dari Hotel Aryiz ketemu dengan Roy." Ujarnya.
Ben kaget. "Kamu dimana sekarang?" Tanyanya.
"Aku diapartemen." Sahut Elena.
Ben menghidupkan mobilnya kembali. "Kamu baik-baik aja?" Tanyanya sambil memasang seat belt-nya. Terdengar isak tangis dari Elena.
Ben mulai khawatir. "Kamu tunggu disana." Ia mematikan teleponnya lalu membawa mobilnya keluar dari apartemen
Pintu apartemen Elena dibuka oleh pemiliknya. Ben menatap wajah wanita itu yang tampak sedih. Ia langsung mendekat dan memeluknya lembut. Elena membalas pelukan pria itu dan ia menangis disana.
Ben menutup daun pintu itu dengan sebelah tangannya. "Ada apa?" Tanyanya. "Kenapa kamu bertemu dengan Roy lagi?" Wajahnya memancarkan ketidakpahaman akan sikap wanita didepannya ini.
Elena melepaskan pelukannya dan menyeka iar matanya. Ia menceritakan semua kejadian yang dialaminya disana.
Alya membuka pintu apartemennya dan seketika ruangan itu gelap. Ia menghidupkan saklarnya dan memanggil nama suaminya, "Ben." Ia berjalan ke arah ruang kerja. "Ben." Panggilnya lagi. Ia masuk ke dalam kamarnya dan ia menyadari kalau suaminya belum juga pulang.
Jam sudah menunjukkan pukul 10.22 malam dan pria itu belum pulang. Alya cemas dengan keberadaan suaminya. Ia menelepon ponsel Ben suaminya namun tidak dijawab. Sekali lagi ia meneleponnya tetap saja tidak diangkat. Alya mulai panik. Ia takut sesuatu terjadi dengan suaminya.
Alya mencoba menelepon resepsionis hotel untuk mengetahui keberadaan suaminya.
"Halo selamat malam, dengan Hotel Malpis ada yang bisa saya bantu?" Sapa resepsionis itu dengan suara yang lembut dan jelas.
"Halo selamat malam, maaf mbak saya Alya istri Ben, maaf saya mau tanya, apa Ben masih ada di hotel? Soalnya saya telpon dari tadi tidak diangkat." Tanyanya dengan panjang lebar.
"Oh ibu Alya, saya Lia. Sebentar ya buk, saya cek dulu di bagian atas. Mohon tunggu sebentar." Katanya.
"Iya." Alya duduk di sofa depan TV dengan wajah gelisah. Ia menunggu resepsionis itu mencari informasi.
"Halo ibu Alya," panggil Lia si resepsionis itu.
"Iya, gimana?" Alya terlihat tidak sabar.
"Saya hubungi meja sekretaris Pak Ben, tapi tidak ada jawaban. Tapi saya hubungi meja sekretaris Direktur Utama yang kantornya bersebelahan. Disana bilangnya, Pak Ben sudah turun dari tadi. Tapi tidak bisa dipastikan apakah pulang atau meeting." Jelasnya dengan hati yang perlahan tidak tega.
"Oh gitu ya. Ya udah. Terima kasih ya." Alya menyudahi percakapan itu. Ia mematikan sambungan teleponnya. Perasaan was-wasnya semakin membesar. Seingatnya ia menyimpan nomor Arif diponselnya.
Alya membuka kontak ponselnya dan ada nama Arif disana. Ia mencoba menghubungi pria itu. Tak butuh waktu lama, Arif langsung menjawabnya.
"Halo, buk. Ada apa?" Sapa Arif. Ia sudah menyimpan nomor itu sejak awal pernikahan kemarin sebagai jaga-jaga. Arif menepi dari sekumpulan orang disekitarnya. Ini pertama kalinya istri atasannya menghubunginya.
"Arif ini saya, Alya. Maaf saya ganggu kamu."
"Enggak apa, buk. Ada apa?"
"Ben ada dengan kamu, gak?" Tanya Alya penuh harap. "Dia belum pulang soalnya.
Arif menghela napas dalamnya dengan pelan. Ia menoleh ke belakang dan memperhatikan sekumpulan orang itu yang merupakan promotor artis yang menginap ditempatnya. "Maaf, buk. Saya lupa beritahu. Pak Ben sedang sibuk sekarang karena di hotel sedang ada tamu penting yang menginap. Maafkan saya, buk." Ia memberikan alasan palsu. Ia hanya memiliki satu nama yang mungkin sedang bersama atasannya itu.
"Oh gitu." Wajah Alya berubah lega. "Saya pikir dia kenapa-kenapa. Soalnya saya telpon gak diangkat. Ya sudah, gak apa." Alya mengumbar senyum puas atas jawaban Arif padanya. "Terima kasih ya." Ia menyudahi pembicaraan itu.
Perasaan bersalah menyelimuti Arif saat ini. Ia sudah membohongi hati yang dengan tulus mencintai atasannya. Arif meninggalkan lantai itu dan menuju ke kamar Elena. Beberapa kali ia mengetuknya namun tidak mendapatkan jawaban. Arif menggunakan kartu mastercard nya untuk membuka pintu itu. Kamar itu kosong. Arif setengah berlari menuju lift dan turun.
Roy menggedor pintu Elena dengan dengan kasar. "LENA! LENA!" panggilnya.
Ben membuka matanya dan ia tersadar dari tidurnya. Dilihatnya Elena berbaring didalam pelukannya. Dan mereka berada di atas tempat tidur masih mengenakan pakaian lengkap. Ia baru saja menemani Elena tidur setelah mendengar cerita wanita itu.
Daun pintu itu ia pukul meminta untuk dibukakan oleh pemiliknya. "LENA! ELENA! BUKA!" teriaknya lagi.
Ben mendengar suara teriakan itu. Ia melepaskan Elena dan berdiri. Ia tidak mengenakan jasnya dan hanya kemeja birunya.
"ELENA! BUKA PINTUNYA!"
Elena membuka matanya dan mendegar teriakan itu. "Siapa, Ben?" Tanyanya sambil menegakkan tubuhnya.
Ben menggelengkan kepalanya. Ia berjalan ke arah ruang tamu dan melihat jasnya diletakkan di sofa. Ia memakai kembali jasnya dan membuka pintu itu.
Ben terkejut ketika melihat Roy berdiri didepannya dengan tatapan sendu dan gerak tubuh yang terhuyung.
Roy melototkan matanya melihat Ben ada didalam rumah Elena. "ANJING!" ia memukul wajah Ben dengan cepat hingga pria itu tidak bisa melawan. Ben terjatuh di lantai tepat didepan pintu.
Elena keluar. Ia melihat Roy sedang mabuk dan baru saja memukul Ben.
Roy melihat Elena, dan emosinya membara. "Perempuan murahan!" Ia mengejar wanita itu.
Elena melarikan diri masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintu. Roy menggedor pintu itu dan memaksa masuk. "BUKA PINTUNYA ELENA! JANGAN SAMPAI AKU HANCURKAN SEMUANYA." teriaknya lantang.
Ben bangkit lalu mendekati pria mabuk itu. "ROY!" panggilnya. Spontan pria itu menoleh dan Ben memukulnya dengan sangat keras. Roy tersungkur mengenai lemari kabinet disamping pintu itu.
Roy tidak tinggal diam. Ia bangkit dan memukul Ben lagi hingga pria itu tersungkur. Mendengar suara perkelahian, Elena keluar dari kamar itu dan melihat darah mengalir dari bibir Ben. Ia mendekati Ben dan membantu pria itu bangun.
Sayangnya, Roy berang melihatnya. Ia menarik tangan Elena dari samping lalu menariknya menuju kamar. Wanita itu meronta minta dilepas. Tapi tenaga Roy sangat besar hingga cengkramannya kuat walaupun ia sedang mabuk.
Melihat Elena yang ditarik oleh Roy, Ben bangkit lalu menendang Roy tepat didada pria itu hingga jatuh. Roy melihat sepatu hak tinggi disebelahnya lalu ia mengambil salah satunya dan melemparkan sepatu itu ke arah Ben hingga mengenai kepala pria itu. Ben meraba kepalanya dan darah segar mengalir disana.
Arif tiba didepan apartemen itu. Ia sudah menyangka kalau atasannya ada disana. Ia masuk dan melihat keadaan sudah kacau. Arif memukul Roy sekuat tenaganya hingga pria itu pingsan.
Setelah itu, Ia melihat atasannya memegangi kepalanya yang berdarah. "Pak, anda tidak apa-apa?" Tanyanya.
Ben menggeleng pelan. "Saya tidak apa-apa." Katanya. "Kamu ngapain kesini?" Tanyanya balik. Elena pergi mengambilkan tisu untuk Ben.
Arif menghela napas beratnya. "Ibu Alya mencari anda." Ucapnya.
Ben meraba jasnya dan mencari ponselnya yang ternyata ia letakkan di kantong bagian dalam. Ia melihat tujuh kali panggilan dari Alya dan tiga kali panggilan dari Arif. Elena muncul dan memberikan Ben beberapa helai tisu untuk menahan luka dikepalanya.
"Kita antar Elena ke Hotel." Kata Ben disela-sela rasa sakit dikepalanya karena lemparan tadi. Arif melirik Elena sesaat. Dengan berat hati ia mengikuti saran itu. Mereka meninggalkan Roy begitu saja disana.
***
Ben masuk ke dalam apartemennya denganya luka dikepalanya yang sudah ditutupi dengan plaster yang diberikan oleh Arif saat dimobil. Lukanya tidak begitu besar, jadi tidak perlu penanganan yang khusus. Ben masuk ke dalam kamarnya dan melihat Alya susah tertidur lelap. Ia membuka bajunya dan menuju kamar mandi.
Setelah membersihkan tubuhnya, Ben keluar dari kamar mandi dan melihat Alya sudah duduk di pinggir tempat tidur menunggunya.
Alya histeris melihat wajah Ben sudah lebam dibeberapa tempat. "Ya ampun, Ben. Kamu kenapa?" Tanyanya sambil mendekat. Rasa kantuknya menghilang melihat keadaan suaminya.
Ben berjalan ke arah wardrobenya untuk mengambil kaos tidur dan celana pendeknya. Alya mengikuti suaminya dari belakang.
"Ben, kamu kemana sebenarnya?" Tanya Alya panik. Ia memperhatikan wajah suaminya.
"Aku mengurus tamu di hotel tadi." Ia memberikan alasan yang sama dengan yang Arif berikan karena pria itu sudah memberitahunya.
"Wajah kamu kenapa bisa sampai begini?" Alya merasa kasihan melihatnya.
"Aku jatuh waktu main golf tadi sore." Alasannya yang lain. Ia berjalan ke arah tempat tidur sudah dengan pakaiannya.
Alya mengikuti suaminya lagi dari belakang. "Main golf kenapa bisa sampai begitu?" Ia tidak percaya alasan suaminya.
"Kamu tidak usah banyak tanya!" Bentak Ben menoleh ke arah istrinya dibelakang. "Aku jatuh main golf. Apa perlu aku jelaskan juga bagaimana jatuhnya!" Gertaknya dengan nada tinggi.
Alya menatap wajawa suaminya yang marah saat ini. Sudah dua kali suaminya itu memarahinya hanya karena hal kecil. Alya merasa Ben seperti orang lain.
Ben duduk dipinggir tempat tidur dan mengisi baterei ponselnya disana. Alya mendekat. Ia duduk disamping suaminya. Ia menatap wajah yang dulu selalu lembut padanya. Ia mencoba meraba wajah itu perlahan.
Ben menjauhkan wajahnya dan berkata, "Sakit, Al!" Sosot matanya seperti tidak suka jika istrinya itu menyentuhnya.
Alya menarik tangannya kembali dan meremasnya serba salah. Ia ingin memberikan perhatiannya tapi pria itu seolah menolaknya.
Ben menoleh ke arah Alya sekilas dan berkata, "Besok kamu gak perlu buatin aku sarapan lagi." Ada keraguan saat ia mengucapkan itu.
"Kamu mau aku buatin sarapan apa?" Tanya Alya yang masih tidak paham maksud kalimat suaminya.
Ben menoleh, "Besok kamu tidak perlu buatin aku sarapan lagi." Ia menekankan kalimatnya dengan jelas.
"Kenapa?"
Ben diam sejenak. "Aku bisa bikin sarapan sendiri. Kalau kamu yang buat, sarapannya sudah dingin. Gak enak lagi." Alasannya yang kesekian kali.
"Oke." Jawab Alya pelan. Ia menunduk sekilas.
Ben menoleh ke arah Alya dan melihat kemurungan diwajah istrinya. Cukup berat baginya mengucapkan hal itu tapi sesuatu didalam dirinya mendorongnya untuk melakukannya.
Alya menegakkan wajahnya kembali dan menatap suaminya. Ben memberikan senyumannya sekilas untuk sekedar menenangkan wanita itu. Alya membalasnya. Ia merasa ada yang disembunyikan oleh suaminya. Namun pria itu tidak ingin menceritakannya.
***
Ben menenteng sebungkus plastik hitam ditangan kirinya. Pintu lift terbuka dan ia keluar dari sana. Langkah kakinya membawanya masuk ke dalam kamar yang sudah tidak asing baginya.
Elena sedang merapikan rambutnya di depan cermin. Ia sudah berpakaian rapi serta make-up nya juga sudah menempel disana. "Kamu bawa apa?" Tanyanya terlihat sumringah.
Ben meletakkan dua bungkus itu diatas meja. "Aku sudah lama tidak beli sarapan diluar. Aku gak tahu apa ini enak atau enggak." Jawabnya. Ia duduk disalah satu kursi.
Elena mengambil dua sendok untuk mereka. Ia duduk didepan Ben dan membuka bungkusan itu. Aroma nasi kuning merebak seisi ruangan. Keduanya lahap menyantap sarapan pagi itu.
Setelah sarapan, Ben kembali ke kantornya saat jam kerjanya sudah tiba. Disana ia bertemu dengan promotor musik yang sedang menangani artis di hotelnya.
"Pak Ben." Sapa promotor musik itu memberikan jabatan tangannya.
Ben meraihnya. "Dari mana, Pak?"
"Saya baru saja bertemu dengan penanggung jawab dan direktur utama. Saya menitipkan pesan dari manager artisnya untuk memberikan tiket konsernya. Saya antar langsung kepada orangnya." Promotor itu menguraikan tujuannya. Ia tampak mengambil sesuatu dari dalam jasnya. "Ini juga untuk anda."
Ben menerima dua tiket konser yang diberikan padanya. "Terima kasih."
"Malam ini ya konsernya. Jangan gak datang, Pak. Ini tiketnya VIP." bisik promotor itu bangga.
Ben tertawa mendengarnya. "Saya usahakan datang malam ini."
Prmotor iu tertawa lerai. "Hahaha... kalau gitu saya pergi dulu, mau ke venue acaranya." Pamitnya.
Ben berjalan ke arah kantornya sambil memegang dua tiket konser itu. Terlintas dibenaknya untuk mengajak Alya malam ini menonton konser itu. Senyumannya mengembang.
***
Keadaan lobi tampak lengah pagi itu, namun masih terlihat ramai di restorannya. Resepsionis juga terlihat sibuk mengangkat telepon yang masuk. Elena pun tak kalah sibuknya. Beberapa pelanggan pentingnya baru saja mampir dan melihat galeri itu. Bahkan ada juga yang memborong beberapa desainnya. Dan sekarang ia tengah melayani tamu hotel yang mampir untuk melihat.
Keheningan itu lenyap ketika suara pecahan kaca memenuhi seisi lobi utama Hotel Malpis. Elena kaget. Ia menoleh dan melihat Roy memegang kunci inggeris ditangannya dan memecahkan kaca galerinya. Seketika lobi iu menjadi panik berserta isinya.
Elena tidak bisa melarikan diri karena pintu masuk galerinya hanya satu. Dan disana Roy berdiri dengan kunci inggerisnya dan sedang memecahkan kaca galerinya dengan wajah marah.
"Aku sudah bilang, kalau aku bisa dengan mudah masuk sini dan hancurin semuanya." Kata Roy tegas. Ia berdiri ditengah pintu itu.
Dua orang tamu hotel yang tengah melihat galerinya tadi seperti ketakutan dan bersembunyi dibelakang Elena.
"Kamu sengaja buka galeri ini supaya bisa leluasa kembali dengan mantan kamu!" Teriak Roy.
Elena merasa malu. "Roy kamu sudah gila!"
"Kamu juga gila!" Balas Roy. Ia masuk selangkah ke dalam galeri itu. "Kamu masih mengejar Ben yang sudah menikah." Suaranya bergema disana. Elena ragu untuk mendekat. Ia takut Roy akan memperlakukannya semena-mena didepan semua orang.
Mita yang tengah sibuk melayani pelanggan restorannya, sampai harus berdiri di depan restorannya dan melihat apa yang sedang terjadi. Kerumunan orang sudah menutupi pandangannya hingga ia tidak bisa melihatnya dengan jelas.
Arif setengah berlari memasuki kantor atasannya. Ben memandangnya kaget.
"Ada apa?" Tanya Ben dengan kening berkerut.
"Pak, anda tetap dikantor saja. Jangan kemana-mana." Pesan Arif dengan wajah serius.
"Apa yang terjadi?" Ben berdiri dari kursi empuknya.
"Dibawah ada Roy. Dia sedang merusak kaca galeri."
Ben panik. Ia ingin turun tapi tidak mungkin.
"Anda tunggu disini saja. Jangan sampai Roy melihat anda." Pesannya sekali lagi. "Saya akan mengurus semuanya." Arif pamit dan meninggalkan kantor itu. Ben terduduk lemas di kursinya. Ia tidak menyangka kalau Roy benar-benar melakukan ancamannya.
Roy sudah berdiri didepan Elena dalam jarak lima langkah. "Ini akibatnya kalau kamu tidak percaya ucapan aku." Kata Roy tajam. Elena sudah sangat ketakutan. Pelangganya bahkan melarikan diri saat pria itu mendekat.
Tim keamanan datang dan menarik Roy keluar dari galeri itu. Pria itu menggeliat minta dilepas, namun ia tidak bisa menandingi kedua orang berseragam satpam yang sedang menarik kedua tangannya.
"ELENA! AKU TAHU KAMU MASIH CINTA SAMA DIA!" Teriak Roy ditengah lobi itu.
Elena menutup wajahnya.
"KAMU MUNAFIK!" pekiknya lagi.
Arif tiba di lobi dan ia berlari mendekati galeri Elena. Ia melihat wanita itu sudah menunduk dengan malu. Untungnya tidak semua kaca itu dipecahkan, hanya bagian depannya saja.
"Anda naik saja ke atas dulu. Biar saya yang tutup galerinya." Usul Arif kepada wanita itu.
Elena mengangguk. Ia berjalan lunglai menuju lift. Ia bahkan tidak berani menegakkan kepalanya. Semua orang pasti mendengar apa yang dikatakan oleh Roy padanya.
Setelah menugaskan beberapa orang untuk membersihkan pecahan kaca dan menutup galeri itu, Arif menyusul Elena ke atas.
"Arif." Panggil Mita saat ia melihat pria itu lewat didepan restorannya.
"Ada apa, mbak?" Tanya Arif ragu. Ia takut Mita mendengar apa yang Roy bilang tadi. Ia mendekat ke arah wanita itu.
"Tadi di galeri ada apa?' Tanyanya bersahabat.
Arif memikirkan alasan yang tepat agar ketika berita ini tersebar tidak akan sampai di telinga istri atasannya. "Orang gila, mbak. Mantan pacarnya dulu." Bebernya.
Mita mengangguk paham. Arif pergi menuju lift sambil membuka ponselnya dan memberitahukan Ben soal Elena.
***
JANGAN LUPA VOTE DAN KOMENTAR.