"Sudah kubilang aku tidak memiliki kekuatan apapun!" seruku seraya melempar tongkat sihir milik Neron.
Pria berambut cepak itu, berhasil menangkap tongkat sihirnya sebelum menyentuh lantai. Dihadapanku masih banyak jenis tongkat sihir yang berbeda-beda. Aku hanya membuang muka kesal. Setelah berjam-jam aku berlatih dengan Alcie, menghindar dari serangan-serangan sihirnya, kini aku disuruh untuk menentukan tongkat sihirku. Padahal sudah kubilang berkali-kali pada mereka jika aku hanya manusia biasa, bukan penyihir.
Aku menghentakkan kaki ke perapian, menyentuhnya dengan perlahan. Barangkali portal itu masih terbuka. Namun naas, perapian itu tetaplah perapian, bukan lingkaran besar yang kulihat di kamarku.
Aggrrhh!! Aku semakin kesal. "Lihat! Sekarang aku bahkan tidak bisa kembali karena kalian!" seruku pada mereka.
Soal Dreamcatcher itu, Neron alias pria berambut cepak sudah lebih dulu menghancurkannya.
'Ini menjadi penghalangmu, kenangan Virginia terhambat karena sihir kegelapan itu! Dan kau tidak bisa mengalahkan Penguasa-Kegelapan-Tiada-Tanding tanpa petunjuk dari Virginia,' itu yang dikatakan Neron kala aku ingin protes.
Awalnya aku tak percaya pada mereka. Namun mereka menunjukkan ramalan itu padaku. Sebuah gulungan perkamen tua yang tertulis :
"Seorang anak akan lahir dengan dua jiwa, menggantikan 'Katara'. Ia mewariskan kekuatannya, ia memiliki keteguhannya, matanya tajam berkabut tipis. Dan ialah yang berhak menentukan takdir atas Pusaka" itulah isi dari ramalannya.
Felix menghampiriku. Ia mengelus pundakku, menenangkan. Tangannya bercahaya. Ah, rasanya emosiku sudah kembali stabil berkat sihirnya.
"Ingin menemaniku ke kebun?" tanyanya lembut. Sebelum aku menjawab, ia telah lebih dulu menarikku keluar dari markas.
"Kau tau? Kami sangat membutuhkanmu," ujarnya disela-sela memetik buah yang berbentuk bulat sedang, berwarna kuning. Pohon dari buah itu sendiri hanya setinggi betis orang dewasa. Kami harus berjongkok untuk memetiknya.
"Sebenarnya ... siapa kalian?" Aku memberanikan diri bertanya.
Ia tersenyum sembari tetap memetik buah.
"Orang-orang menyebut kami 'The Secede'. Kami adalah orang yang memisahkan diri dari Penyihir Hitam. Dahulu anggota kami begitu banyak. Kami hidup mengasingkan diri dari perseteruan Penyihir Putih dan Penyihir Hitam, ya, kami memilih untuk netral. Hidup kami begitu damai tanpa prasangka, yang ada hanya cinta dan kasih sayang. Saling melindungi satu sama lain." Felix tersenyum kala menceritakannya. Aku masih menyimak.
"Hingga saat itu tiba, seratus tahun yang lalu, Penyihir Hitam meluluh-lantakkan kediaman kami, alasannya kami dianggap sebagai pemberontak yang tak patuh aturan. Sebagian dari kami tak bisa diselamatkan atas penyerangan itu. Sebagian dari kami pergi, membuat kediaman baru yang jauh dari Penyihir Hitam. Namun, lagi-lagi Penyihir Hitam memporak-porandakkannya. Anggota kami terus berkurang. Kami memutuskan untuk menjadi pengelana. Singgah sebentar untuk pergi lagi. Hidup dalam ketakutan. Saat aku dan teman-temanku lahir pun, keadaan tidak berubah."
Aku menelan ludah mendengarnya. Itu sangat mengerikan! Aku tidak bisa membayangkan jika itu terjadi padaku.
"Dalam keadaan yang tidak pasti itu, Virginia datang sebagai semangat baru. Kau pasti sudah sangat mengenalnya melebihi kami. Saat itu kami yang masih berumur 4 tahun takut-takut untuk memeluknya. Ia memiliki mata tajam, namun dibalik mata tajam itu, ada kabut tipis yang menyelimutinya. Sama sepertimu, Lyra. Ia juga begitu bingung tentang jati dirinya," Felix tersenyum lekat menatapku.
"Kami memanggilnya Tuan Putri, sebab kekuatannya yang begitu besar dan parasnya yang cantik. Kami diajari cara membuat segel pertahanan diri dari dunia luar agar kami tidak bisa ditemukan. Ia berjanji akan bersekutu dengan Penyihir Hitam dan merebut kembali batu pusaka itu. Sebelum pergi, aku dan anak-anak lain dipeluknya erat dan ia membisikkan sesuatu--oh, lihatlah Lyra! Pohon kecil ini menguping pembicaraan kita!" ujarnya seraya tersenyum kecil menunjuk salah satu pohon.
Aku menoleh ke arah yang ditunjuk oleh Felix. Benar, tanaman ini seperti sedang menguping. Dahannya yang kecil bergerak-gerak mengikuti pergerakan Felix. Selain itu, ia juga tampak menatapku. Tunggu! Apakah itu ... bola mata? Pohon itu tampak berkedip tadi.
"Ini adalah Dudaim. Buahnya yang kita petik dapat dijadikan obat penenang, beberapa penyihir juga membuat ramuan dengan buah ini," penjelasan dari Felix tidak kudengar dengan jelas. Aku masih penasaran apakah tumbuhan ini hidup layaknya manusia? Atau itu hanya imajinasiku saja?
"Tadi aku melihatnya berkedip," ujarku. Felix mengangguk.
"Memang, akar pohon ini hidup layaknya kita. Mereka bisa bergerak sesuka hati, bisa melihat dengan matanya yang tersembunyi dan memiliki mulut. Yaah, meskipun hanya bisa menangis jika dicabut dari tanah,"
Aku ber-oh pelan. Pantas saja ia seperti sedang melihatku tadi.
"Bagaimana kelanjutannya? Apa yang Virginia bisikkan?" tanyaku yang kembali teringat dengan cerita sebelumnya. Felix mengerutkan alisnya, ia tampak mengingat-ingat.
" 'Belajarlah di sekolah sihir Abrihetlase, mereka akan mengasah kemampuan kalian. Tak peduli kalian ditempatkan di asrama 'Ater' ataupun 'Albus', kalian tetaplah kalian, generasi The Secede, anak-anak 'Aureum'' Itulah yang ia bisikkan sebelum benar-benar pergi,"
Aku sekali lagi mengerutkan alis, tampak tak asing mendengar sekolah sihir Abrihetlase. Ah, itu kan yang dikatakan Moxie kala ia bertanya dengan Mrs. Beatrix, juga yang membuatnya menjadi bulan-bulanan di sekolah. Ternyata ia sangat jujur kala itu, hanya saja tidak ada yang memercayainya.
"Aku dan teman-temanku akhirnya memutuskan untuk sekolah diumur 7 tahun dengan identitas palsu. Bertahun-tahun lamanya, ia tak kembali. 7 tahun kemudian, kala aku dan teman-temanku baru saja lulus dan begitu bahagia mengingat nilai kami yang sempurna di semua mata pelajaran, Meliora, Sang Pengikut Setia sekaligus tangan kanan Penguasa-Kegelapan-Tiada-Tanding menghancurkan semua itu. Ia dengan kejamnya membakar hutan tempat kami singgah. Keluarga kami gugur tak bersisa, mereka mengorbankan diri agar kami ber-6 bisa melarikan diri. Kami berhasil membuat segel dengan mantra pertahanan terkuat. Dan hidup dalam sembunyi, tampak tak terlihat tapi sebenarnya ada,"
Aku melihat mata Felix yang berkaca-kaca. Ia menoleh kepadaku, menatap mataku lamat-lamat. Dalam matanya, kulihat ketidakberdayaan, ketakutan dan frustrasi. Aku bisa merasakannya dan menarik kesimpulan. Penyihir Hitam sangatlah kejam. Mereka adalah korban yang tidak seharusnya direnggut kebahagiaannya.
"Kami begitu frustrasi, tak jarang Meliora mengirimkan mata-mata untuk mencari kami, itu sebabnya Erol sangat marah melihat kedatanganmu yang sangat tiba-tiba," ujarnya. Aku mengangguk mengerti. Ah, pria berkumis dengan rambut kriting gondrong itu memang sangat mengerikan. Ia yang bernama Erol.
"Tapi kala aku mendengar ramalan tentang dirimu, aku seperti memiliki harapan baru, kekuatan baru dan semangat baru. Meski mereka tidak percaya, aku sangat memercayainya. Dan ternyata ramalan itu memang benar," Felix kini menggenggam tanganku erat.
"Lyra, kaulah satu-satunya harapan kami,"
Aku menelan ludah. Aku tau Felix berkata dengan sungguh-sungguh. Ia tidak main-main. Tapi ... bagaimana? Bagaimana caraku mengalahkan mereka? Sedangkan aku tak memiliki kekuatan apapun.
NB :
Ater = asrama khusus untuk penyihir hitam. (diambil dari bahasa latin yang berarti Hitam)
Albus = asrama khusus untuk penyihir putih. (diambil dari bahasa latin yang berarti Putih)
Aureum = dari bahasa latin yang berarti emas. (akan dijelaskan lebih lanjut di buku ke 2)
Maafkan Author yang tidak bisa menghilangkan Detailnya T.T Novel ini memang bukan bacaan yang ringan, Jadi jika ada yang mulai bosan atau malah kebingungan, mohon untuk mengerti. kelak di pertengahan cerita semua akan menemui titik terang.
Salam dari Author
Your gift is the motivation for my creation. Give me more motivation!