webnovel

LOVE IN THE PAST LIFE

Surya Dewangga memiliki keluarga yang lengkap. Rumah tangganya sempurna seperti impian semua pasangan. Istri yang pengertian dan dua anak manis melengkapi kebahagiannya. Namun, dunianya tergoncang saat ia satu persatu bertemu dengan jiwa keluarga dari kehidupan sebelumnya. Mereka seperti bereinkarnasi bersama lagi. Sesuatu yang tak mudah untuk dipercayainya. Mulai dari anak-anaknya yang lain hingga sosok perempuan yang dulu menjadi istrinya. Dan nyatanya perasaan itu masih sama. Tak berubah! Sungguh membingungkan dan tak masuk logika. Tugas terberatnya adalah menyelesaikan urusan masa lalunya tanpa bertabrakan dengan alur hidupnya saat ini. Mampukah?

Dione_Vee · realistisch
Zu wenig Bewertungen
31 Chs

Datangnya Si Jenius

Benar saja, keesokan harinya saat kafe tutup, Henny tetap pergi ke tempat itu seperti biasanya. Memang baru agak siangan dia datang. Semalam ia pulang hampir subuh setelah mengantar Rony ke rumahnya yang lumayan jauh di pinggiran kota.

Henny datang ke kafenya karena ia ada janji bertemu dengan calon manajer baru pengganti Ronny.

Seorang remaja laki-laki sudah terlihat sudah menunggu Henny di depan kafe. Sejujurnya Henny penasaran dengan pemuda itu karena resume lamaran kerja yang dikirimkannya. Ia mengaku dirinya jenius dan bisa menciptakan kopi dengan aneka rasa yang unik.

"Hargus ya?" tanya Henny menyapa lelaki muda itu.

Pemuda yang dipanggil Hargus menoleh. Ia Cuma tersenyum tipis saat menyalami Henny.

"Ya, aku Hargus," ucapnya.

"Ayo masuk ke dalam saja. Tidak takut 'kan? Tempat ini lagi sepi lho," kata Henny mengingatkan.

"Sepi yang dilihat manusia biasa, yang aku lihat tetap ramai kok!" jawaban Hargus membuat Henny penasaran.

"Apa kamu juga anak indigo?" tanyanya langsung.

Hargus cuma mengangguk kecil. "Ya, biasa saja," ucapnya.

"Oke, berarti kamu sudah punya mental yang cukup kuat untuk bekerja di tempat ini," puji Henny pada Hargus.

"Aku sudah siap, makanya aku melamar kerja di sini," ucapnya.

"Bagus kalau begitu," kata Henny. "Oke, sekarang ceritakan tentangmu, aku mau dengar. Juga alasanmu kenapa menginginkan pekerjaan ini," ucap Henny.

Hargus mengambil duduk di sofa di seberang Henny. Interview kerja mereka bukanlah wawancara kerja yang menyeramkan, sebaliknya seperti dua orang yang mengobrol biasa.

"Well, aku ingin bekerja di sini, karena aku ada di sini," ucap Hargus datar.

Henny menggelengkan kepalanya ke kanan dan ke kiri. Ia sudah biasa menghadapi hal yang aneh-aneh, tapi pemuda di depannya sepertinya lebih aneh dari apapun yang pernah ditemuinya.

"Maaf, maksudmu bagaimana? Jangan bilang padaku kamu sebenarnya hantu, aku tak takut. Hanya saja, aku sudah meluangkan waktuku untuk menemuimu. Aku juga mengorbankan waktu yang sekiranya bisa aku pakai jalan-jalan demi bisa bertemu denganmu," cecar Henny.

"Tentu saja anda akan melakukan hal-hal seperti itu untukku," jawaban Hargus membuat Henny hampir kehabisan kata-kata.

"Jadi maunya bagaimana?" tanyanya masih berusaha sabar.

"Aku mau bekerja di tempat ini, menemanimu," jawab Hargus lugas.

"Kenapa aku harus ditemani? Aku biasa sendiri," ujar Henny.

"Aku harus menemanimu, karena aku tahu anda kesepian," ulang pemuda itu lagi.

Henny terdiam sebentar.

"Maaf aku tak paham. Sudahlah bahas yang lain saja. Apa kamu suka kopi?" tanya Henny mengganti topik bahasan.

"Ya, aku suka kopi, dari kecil aku suka kopi, karena keluargaku hidup dari kopi," jawab Hargus.

Perkataan Hargus membuat Henny senang dan menganggukkan kepalanya.

"Baiklah, yang penting aku tahu kamu memiliki passion di bisnis kopi," ucap Henny. "Lalu, apalagi yang kamu bisa, skill apa yang dikuasai biar aku bisa memilih dan mengandalkanmu?" tanya Henny lagi.

"Aku jenius, super jenius. Aku pintar berhitung, matematika, fisika, juga kimia." Hargus dengan yakin menjawab pertanyaan Henny.

Mendengar jawaban Hargus kali ini Henny hampir tertawa.

"Hahaha! Sayang, tak perlu kepintaran semacam itu untuk menjalankan bisnis kopi ini, kita Cuma penjual minuman," ujar Henny kasihan pada Hargus.

"Anda memanggil aku 'sayang'?" tanya Hargus.

Henny jadi salah tingkah dibuatnya. "Oh, maaf. Aku tidak bermaksud, hanya saja kamu lucu sekali. Soal panggilan jangan dipersoalkan, kamu lebih cocok jadi anakku," kata Henny sambil tersenyum jenaka.

"Bagaimana jika aku benar anakmu?" tanya Hargus sambil menatap Henny dalam-dalam.

Wanita itu terdiam sejenak. Apa tadi dia tak salah dengar? Henny merapikan jalinan rambutnya yang sebenarnya sudah rapi.

"Maaf, mungkin aku kurang tidur, semalam bepergian sampai pagi, mungkin aku tadi salah dengar? Kamu anakku?" tanya Henny dengan geli setengah kesal. Dia merasa sedari tadi pemuda yang ada di depannya seperti mempermainkan semua pertanyaannya dengan memberikan jawaban yang asal dan aneh.

"Aku tidak mempermainkan Anda. Aku benar anakmu, pernah jadi anakmu lebih tepatnya," jawab Hargus yakin.

Kini Henny kehilangan kata-kata Mereka berdua hanya duduk diam berhadapan tak berkata-kata lagi. Lidah Henny kelu, ia tak tahu apa yang harus ia tanyakan pada pemuda itu, karena pasti akan dijawab dengan hal-hal yang aneh.

"Jadi bagaimana, apa aku diterima bekerja di tempat ini?" tanyanya pada Henny.

Henny diam saja. "Aku akan menerimamu, tapi dengan syarat …"

"Aku menerima semua syarat dari Anda," ucap Hargus mantap. Belum selesai Henny berbicara pemuda itu sudah memotong ucapannya.

"Oke, masa percobaan tiga bulan. Nanti aku evaluasi lagi, apakah kamu akan terus bekerja di sini atau terpaksa aku memberhentikanmu," ucap Henny.

"Terima kasih. Aku akan terus bekerja di sini untukmu," jawab Hargus dengan ekspresi yang sukar diketahui artinya oleh Henny.

"Bisakah kita bersikap lebih santai?" tanya Henny pada pemuda itu.

"Ya, bisa," jawabnya kaku.

"Kamu memiliki kepribadian yang kaku sekali, kata-katamu juga aneh. Sayang aku lupa membawa resume data diri kamu. Kamu anak mana?" tanya Henny penasaran. Ia ingin mengenal pemuda itu lebih jauh. Ada sesuatu yang menarik di dalam diri pemuda itu yang ingin ia ketahui.

"Rumahku di pinggiran kota. Sekitar 1 jam dari sini. Aku baru selesai sekolah SMA." Hargus memperkenalkan dirinya.

"Nilai ujian sekolahmu aku lihat nyaris sempurna? Kenapa kamu tak meneruskan kuliah saja?" tanya Henny.

"Orang tuaku tak cukup biaya. Aku di suruh bekerja saja. Adik-adikku banyak, menyebalkan bukan?" Hargus balik bertanya.

Henny semakin penasaran dengan kepribadian pemuda di depannya itu. Ia ceplas ceplos tapi sangat jujur.

"Sayang sekali, kenapa kau tak cari beasiswa, aku yakin banyak kampus yang mau menerima mahasiswa secerdas dirimu?" ujar Henny lagi.

"Nanti aku juga kuliah, tapi aku harus menjaga Anda dulu. Mungkin sambil bekerja aku akan mencari kampus yang dekat sini, jadi aku bisa bekerja sambil kuliah," jelas Hargus. Pemuda itu memiliki perencanaan hidup yang bagus. Henny tersenyum senang.

"Oke, kalau kamu serius, dan kerjamu bagus, mungkin aku juga bisa membantumu kuliah," ucapnya tulus.

"Sudah kuduga. Anda akan sangat baik padaku, masih sama seperti yang dulu," ucap Hargus. "Terima kasih."

Henny kembali menarik nafas dan memutar matanya yang seolah lelah.

"Sayang, katakanlah kenapa kamu begitu terobsesi menjagaku, Aku baik-baik saja lho," kata Henny.

"Aku tak mau Anda sendirian dan bersedih. Ada aku di sini yang akan menjaga Anda." Hargus kembali meyakinkan Henny.

"Kita baru bertemu, kamu begitu yakin padaku. Apa aku juga bisa mempercayaimu?" tanya Henny.

"Kita sudah lama kenal. Dari dulu, dari kehidupan yang lalu-lalu. Hanya saja Anda belum mengingatnya," ujar Hargus.

"Kehidupan yang lalu? Apa aku tak salah dengar. Sudahlah hentikan omongan tak jelas ini, lebih baik kita fokus bekerja dan bahas kopi, oke?" Henny yang belum bisa mencerna perkataan Hargus mengalihkan pembicaraan ke hal-hal yang dia bisa pahami.

"Oke, nanti lama-lama juga akan paham," kata Hargus. "Tak usah dipaksa kalau sekarang belum ingat," imbuhnya.

"Ya, ya. Whatever lah," pungkas Henny pada akhirnya.

"Oh, ya kamu bilang pandai membuat variasi rasa kopi?" tanya Henny. Ia ingin menguji keterampilan Hargus.

"Ya, aku bisa membuat beraneka rasa kopi, dengan rumus fisika dan kimia yang aku terapkan. Kita bisa membuat kopi yang enak, aroma yang tepat jika kita bisa memadukan takaran kopi yang tepat, suhu air yang tepat, dan semua proses pembuatan kopi itu dengan rumus yang sudah baku. Pasti hasilnya akan berbeda dan unik," jelas Hargus.

Henny tertarik mendengar penjelasan pemuda itu. "Hmm, tampaknya menarik sekali. Apa kamu sering praktek membuat kopi sebelumnya?" tanya Henny.

Hargus mengangkat alisnya. "Tidak terlalu sering, tapi aku paham teorinya," ujarnya.

"Oke, kalau begitu kamu bisa praktek di sini. Ciptakan racikan kopi terenak yang bisa dinikmati banyak orang," ujar Henny. Sejujurnya ia mulai nyaman dengan kehadiran pemuda itu. Ia merasa bisa bekerja sama dan bisa mempercayai Hargus meskipun baru sekali ini bertemu.

"Ajaib sekali," gumam Henny.

"Apanya yang ajaib?" tanya Hargus.

"Kita. Baru sekali ini aku bertemu denganmu tapi sudah menaruh kepercayaan yang besar padamu."

Hargus hanya tersenyum simpul. Kali ini ia tak berkata-kata hanya diam saja.

"Biasanya aku akan berunding dengan stafku yang lain untuk penerimaan pegawai baru, tapi kali ini tampaknya berbeda. Aku menaruh harapan besar padamu," kata Henny sambil tersenyum tulus.

"Terima kasih," jawab Hargus pendek. "Jadi kapan saya bisa mulai bekerja?" tanyanya.

"Hari senin aku tunggu kamu di kafe ini," jawab Henny senang.

"Oke, siap." Hargus merasa kedatangannya sudah cukup, ia ingin pergi dari tempat itu.

"Apa interview-nya sudah selesai?" tanyanya.

Hal yang tak pernah ditanyakan oleh orang yang diwawancara pada calon bossnya.

Henny tertawa. Benar-benar pemuda yang aneh. "Sudah, sudah cukup. Kamu mau pergi? Apa ada keperluan lain?" tanyanya.

"Aku harus segera pulang. Aku ke sini pinjam motor temanku, Dia pasti sudah menungguku cemas. Aku tak bisa lama-lama di sini," jawab pemuda itu jujur.

"Oke, aku mengerti. Nomer ponselmu sama dengan yang ada di surat lamaran 'kan?" tanya Henny ia khawatir pemuda itu tak memiliki ponsel.

"Iya, itu nomer ponsel keluarga kami. Anda bisa menghubungiku lewat sana, tapi maaf kalau saya lambat menjawab. Ponsel sejuta umat, jadi dipakai beramai-ramai dan bergantian," jawab Hargus dengan lucu.

"Oh wow! Kamu bisa melucu juga! Selera humormu juga bagus."

Dipuji begitu Hargus tersenyum malu-malu. Dibalik kepercayaan dirinya yang tinggi, ia justru malu kalau disanjung.

"Aku suka kamu!" ucap Henny lagi. Pipi Hargus memerah, ia semakin malu.