webnovel

14 - Almost Impossible

Pukul lima pagi, Helia menjejaki kakinya keluar dari kereta kuda dan berdiri di pekarangan kediaman Floral yang luas.

Di hadapan Helia, pelayan-pelayan menunduk dalam untuk menyapa majikan mereka yang kembali ke rumah.

"Selamat datang kembali, Nona Muda Helia," ujar para pelayan dengan kompak.

Lurus di hadapan Helia, pintu besar berwarna cokelat yang diukir klasik terbuka. Menampilkan seorang laki-laki yang mengenakan pakaian semiformal, rambutnya yang hitam masih setengah berantakan, serta iris semerah permata ruby hanya tertuju pada Helia yang berdiri diam.

Mary berdiri di belakang Helia dengan beberapa pelayan lain.

"Kakak." Helia tersenyum, menerima pelukan Demian.

"Selamat datang kembali," bisik Demian.

Helia tertawa kecil. "Aku pulang, Kakak."

***

Rasanya, sudah lama sekali Helia tidak menjejaki lorong bermarmer ini. Menatap setiap patung dan lukisan di setiap lorong, atau setiap emas yang dicampurkan di dalam ukiran dinding.

Lampu gantung besar yang kelihatan familier dalam visi Helia, tangga spiral yang berwarna putih, karpet merah yang disulam dengan emas di kedua sisi, sofa-sofa empuk berwarna elegan. Semuanya sangat familier dan nostalgia.

Selama 18 tahun Helia hidup, Helia sudah tinggal di sini sebelum pindah ke Istana Romeo sebagai ajudan raja.

Tentu melihat semua pernak-pernik, furnitur mewah, tema dinding, semuanya membuat memori Helia bernostalgia.

"Maaf aku datang pagi-pagi sekali, Kakak," kata Helia, membuka pembicaraan pertama kalinya.

Demian melirik Helia yang berjalan di sampingnya, lalu tersenyum. "Tidak apa-apa. Ini rumahmu. Kamu bisa datang kapan saja kamu mau."

Helia ikut tersenyum. "Terima kasih."

"Kamarmu dibersihkan setiap hari, lalu koleksi buku-bukumu masih tertata rapi. Para pelayan melakukan yang terbaik untuk barang-barangmu, Helia."

"Benarkah? Itu bagus. Aku harus berterima kasih pada para pelayan."

Demian mengangguk. "Sarapan akan dimulai pukul tujuh, sekitar satu setengah jam dari sekarang. Kamu mau istirahat sebentar?"

"Ah ...." Helia ragu sebelum membuka bibirnya. "Ayah, ada di mana?"

Demian bungkam sepersekian detik. "Di ruangannya, kupikir. Ayah jarang keluar rumah, beliau selalu mengerjakan dokumen penting di ruang kerjanya. Ada apa? Kamu mau bicara padanya?"

"Yah, aku harus menyapa Ayah, bukan? Apa aku perlu ke kamarnya pagi-pagi begini? Tidak, jangan. Nanti Ayah akan marah."

Demian mengembuskan napas, lalu membelai rambut hitam Helia. "Tenang saja. Aku pikir Ayah akan bergabung untuk sarapan. Kamu bisa menyapanya di ruang makan nanti."

"Tentu, terima kasih, Kakak."

***

Ruang makan sunyi tanpa komunikasi antara keluarga. Suara yang mengudara hanyalah dentingan sendok dan piring yang beradu.

Seorang pria duduk di ujung meja. Rambut pirangnya yang sudah memutih, tidak membuat sorot tegasnya lenyap, justru semakin kentara di wajahnya yang kolot.

Garis-garis penuaan mulai terlihat di beberapa sudut wajah, iris semerah ruby yang mirip dengan kedua anaknya ditujukan pada hidangan di atas piring dengan tajam.

"Ayah," Demian membuka suara. "Helia kembali ke rumah. Apa Ayah tidak mau membicarakan sesuatu dengan Helia?"

Duke Holland Floral hanya melirik Helia sekilas dan kembali melahap hidangan di atas piring dengan tenang.

Holland menghela napasnya, terdengar frustrasi. "Selamat datang kembali, Helia."

Helia menyunggingkan senyuman selebar mungkin. "Saya kembali, Ayah."

"Kenapa kamu kembali?"

Holland merupakan seorang ayah yang dingin terhadap anak-anaknya. Alasannya sederhana. Pernikahan politik.

Holland menikahi istrinya hanya karena sebatas pernikahan politik. Holland tidak pernah benar-benar mencintai istrinya. Holland sendiri mengetahui bahwa istrinya itu juga hanya haus akan kekuasaan, dan Holland tidak ingin terlibat lebih jauh dengan istrinya.

Namun, setelah melahirkan Helia, Duchess dinyatakan meninggal akibat pendarahan hebat pasca persalinan.

Holland tidak merasakan apa pun ketika dia mendengar informasi tersebut. Di mana ada satu jiwa yang berpulang demi jiwa yang datang ke dunia. Holland tetap menjadi pria berdarah dingin yang tidak memedulikan keluarganya asalkan duchy berjalan dengan damai.

Holland melakukan tugasnya sebagai Duke dengan baik, tetapi tidak sebagai orangtua. Bisa dikatakan bahwa Holland adalah orangtua yang gagal mendidik anak-anaknya sendiri.

Menyadari bahwa Demian dan Helia merupakan anaknya dan mantan almarhum istrinya membuat Holland merasa putus asa dan depresi.

Hal ini terjadi karena Holland tidak pernah benar-benar menginginkan anak dari pernikahan politik. Holland tahu jika hubungan dari pernikahan politik tidak akan berjalan dengan baik.

"Ayah? Kenapa Anda melamun?" tanya Helia dengan pelan.

Holland menggeleng.

Dia malah memikirkan hal-hal masa lalu yang tidak akan terjadi lagi.

"Seperti yang sudah saya katakan pada Ayah, saya izin cuti sebagai ajudan Yang Mulia Raja karena saya kelelahan. Akhir-akhir ini metabolisme tubuh saya melemah dan membuat saya terserang penyakit dengan mudah. Maka dari itu, saya memutuskan untuk beristirahat selama beberapa minggu di sini," jelas Helia.

Holland tidak membalas.

"Aku akan memanggil dokter untukmu, Helia," kata Demian setelah keheningan yang panjang.

Helia melayangkan senyuman. "Terima kasih, Kakak."

"Jangan melakukan hal yang tidak berguna."

Suasana hangat itu kembali raib menjadi dingin, bahkan membeku.

Holland menyeka bibirnya dengan serbet.

"Lakukan tugasmu dengan benar. Kamu dipilih sebagai ajudan raja, itu merupakan sebuah kehormatan yang besar."

"Ayah!" Demian memotong. "Saya yakin kalau pekerjaan itu memang mulia. Akan tetapi, bukan berarti harus mengabaikan kesehatan Helia."

Holland hanya menghela napas, lalu mundur dari kursinya, dan melangkah keluar dari ruang makan.

"Mengecewakan," ujar Holland di ambang pintu.

Helia menggigit bibir.

"Jangan dipikirkan, Helia," hibur Demian.

Helia hanya tersenyum kecil. "Tidak apa-apa, Kakak. Hal seperti ini sudah biasa, bukan? Ayah akan mengatakan kalau aku adalah anak yang mengecewakan atau Ayah berharap kalau aku tidak pernah lahir."

Demian menggerakkan gigi. "Jangan bicara seperti itu, Helia. Itu tidak benar."

Helia mengembuskan napas. "Aku tahu Kakak hanya berusaha menghiburku saja. Terima kasih, Kakak."

"Aku—"

"Kakak juga tahu kalau dari kecil, aku selalu mencari-cari dan memohon kasih sayang Ayah. Aku belajar mata pelajaran yang tidak aku suka demi menarik perhatian Ayah. Aku meraih peringkat pertama di akademi. Aku mendaftar menjadi Ksatria Kerajaan. Namun, aku yakin kalau semua itu sia-sia."

"Helia. Sudahlah. Kamu masih memilikiku. Aku tidak akan berhenti mencintaimu."

Demian menatap Helia dengan sorot yang tak dapat diartikan. Dia kelihatan sedih, tetapi juga tidak berdaya.

"Lalu sebelas tahun lalu, Ayah tiba-tiba datang padaku, mampir ke kamarku. Aku sangat senang dan hampir memeluk Ayah. Ayah hanya mengatakan kalau aku akan menjadi teman bermain pangeran. Lalu Ayah pergi dari kamar. Saat itulah aku bertemu dengan Allan. Allan, yang entah kenapa dapat merenggut seluruh atensiku. Ketika aku pertama kali melihatnya, Allan seperti sebuah permata di atas jerami. Allan memberikanku kasih sayang, harapan, cinta, seluruh yang aku dambakan."

Helia mengembuskan napasnya kasar, dia lalu memijat pelipisnya.

"Bagaimana mungkin aku tidak mencintainya?" lanjut Helia.

Manik ruby milik Helia menatap plafon tinggi di atas kepalanya yang memiliki ukiran rumit. Lampu gantung mewah mendiami dua sudut ruangan.

"Lalu aku mencintainya. Dan aku menyesal."

Demian tidak pernah merasa lebih putus asa lagi. Demian adalah laki-laki yang kuat. Bahkan ketika dia harus memimpin brigade kstarianya untuk menghajar Magnolia di baris depan, Demian selalu kuat. Atau ketika dia harus menghadapi ayahnya yang kolot dan kaku, Demian tidak pernah mengeluh.

Hanya saja, ketika melihat Helia terus-menerus terluka, Demian merasa ada sesuatu di dalam dirinya yang ikut terluka dan pecah. Seakan hidupnya ditumpukkan pada betapa sakitnya luka itu.

Demian seringkali merasa sebuah kesesakan membuncah di dadanya.

Sakit.

Demian menarik Helia ke dalam pelukannya, membisikkan kalimat-kalimat sugesti yang Demian juga tahu kalau Helia tidak membutuhkan itu.

Demian tahu kalau yang Helia butuhkan adalah cinta dari Allan. Namun itu mustahil. Nyaris tak mungkin.

***

writer's corner:

mau nitip jasa nampol ke Holland? Masi buka kok 🥰

25 Juli 2022