webnovel

13 - The New Part of the Kingdom

"AAARGGGH!!"

Helia berteriak keras sambil menyerang pasukan kstaria Teratia dengan pedangnya.

Tempat latihan bagi Ksatria Kerajaan ini menjadi ruang sparring bagi Helia yang kini sedang ditemani oleh satu ksatria lainnya. Akan tetapi, sparring yang dilakukan oleh Helia rupanya merupakan sebuah tindakan pelampiasan emosi bagi Helia.

Lawan Helia kewalahan, dia menangkis setiap tebasan pedang Helia dengan sekuat tenaga, hingga rasanya kedua tangannya yang bergetar bisa patah kapan saja. Bahkan langkahnya terus mundur. Sebentar lagi, dia pasti akan menabrak pagar kayu.

Trang! Trang! Trang!

Helia terus melawan tanpa memberi kesempatan bagi lawannya untuk maju.

"Nona Helia! Aduh, saya mohon, tangan saya bisa patah!" Mello kesulitan menangkis setiap tebasan pedang Helia.

"Sial!"

Helia menancapkan pedang ke tanah, dia menunduk dan membiarkan berat tubuhnya ditopang oleh sebuah pedang. Napasnya tidak beraturan, lebih banyak menarik napas ketimbang mengembuskannya.

Mello menghela napas lega untuk sejenak. "Nona Helia, Anda tidak bisa melampiaskan emosi Anda dalam pedang," kata Mello kewalahan.

Helia membuang muka. "Maafkan aku."

"Tidak, tidak apa-apa, Nona. Namun, saya berpikiran bahwa Anda harus beristirahat sejenak. Anda terlihat sangat lelah."

"Aku sudah cukup istirahat." Helia mendengus. Dia mengangkat pedangnya lagi dan membentuk kuda-kuda. "Cepat, lawan aku."

Mello, putra dari Baron Greteel hanya menghela napas. "Saya tidak mau. Saya tidak mau disakiti dengan sukarela oleh Anda." Dia melipat tangannya di depan dada.

"Memangnya aku juga mau?!" Helia membentak.

Seluruh perasaannya sakit, dadanya sesak, detak jantungnya seakan melemah. Helia merasa kesal dan marah.

"Saya tahu kalau Anda kesal karena Yang Mulia Raja dan Yang Mulia Permaisuri sudah menikah. Namun, apa sebelumnya Anda melakukan sesuatu? Apa Anda sudah mengambil langkah sebelumnya? Misalnya menyatakan cinta Anda pada Yang Mulia Raja?"

Helia mengernyit. Sorot dinginnya tertuju pada Mello yang masih bicara dengan santai.

"Apa maksudmu?" tanya Helia, sedingin es.

Mello mengacak rambutnya yang berwarna cokelat sebelum melirik Helia.

"Seluruh orang tahu bahwa Anda menyukai Yang Mulia Raja, tetapi seluruh orang juga tahu bahwa Anda tidak melakukan apa pun untuk menarik perhatian Yang Mulia Raja. Anda tetap berada di petak langkah yang sama, dengan harapan bahwa suatu saat, Anda akan melangkah di petak yang sama dengan Yang Mulia Raja. Namun, saya tidak berpikiran bahwa Anda bisa melangkah bersamaan suatu saat nanti."

Pegangan Helia pada pedangnya mengerat.

"Karena Anda tidak maju atau mundur. Anda tetap berada di petak yang sama. Diam di sana. Hanya dengan dibumbui oleh harapan. Apa Anda berpikir bahwa berharap saja sudah cukup? Anda tidak berpikir bahwa harapan juga perlu diiringi oleh tindakan?"

Helia tertawa pelan, tawa marah. "Oh ya? Kamu pikir aku tidak melakukan apa-apa?"

Mello mengangkat bahu. "Iya, tuh."

"Brengsek!" Helia maju, menebas Mello dengan pedang yang dengan sigap ditangkis.

Trang!

Pedang Helia melayang di udara dan terjatuh ke tanah dengan bunyi pelan.

Mello menatap pedang Helia di atas tanah.

"Seperti itulah Anda. Jatuh, tanpa ada harapan untuk bangkit. Anda tidak bisa berdiam diri di sana selamanya, Nona Helia. Jika Anda menyukai Yang Mulia Raja, Anda seharusnya menyatakan cinta Anda. Dengan begitu, mungkin saja Yang Mulia Raja akan mempertimbangkan perasaan Anda."

Helia menggerakkan giginya. Tubuhnya bergetar samar.

"Kalau begitu, saya undur diri. Jangan cari saya untuk sparring, saya masih mau hidup."

Mello Greteel berbalik dan keluar dari arena latihan yang kini sunyi sebelum melambaikan tangan dengan santai pada Helia.

Arena latihan tersebut diisi oleh berbagai senjata fisik yang berat dan besar, terdapat tenda kecil juga. Namun, kini sepi. Tidak ada siapa pun di sini. Hanya terdengar deru napas Helia yang memberat.

"Anda tetap berada di petak langkah yang sama, dengan harapan bahwa suatu saat, Anda akan melangkah di petak yang sama dengan Yang Mulia Raja."

"Brengsek!" Helia menendang udara.

Kalimat Mello benar. Itulah sebabnya Helia kesal.

Mello mengatakan sesuatu yang menembus hatinya dengan telak.

Helia mengakui, selama sebelas tahun Helia bersama-sama dengan Allan, tidak pernah sekali pun Helia menyatakan cintanya.

Helia hanya memberikan perhatian-perhatian kecil pada Allan dengan harapan bahwa Allan akan menyadari perasaannya. Akan tetapi, bagi Allan, mungkin saja seluruh perhatian Helia terhadap Allan adalah perhatian biasa dari teman bermain semenjak kecil.

Diangkat sebagai ajudan raja membuat Allan pasti berpikiran bahwa perhatian Helia hanyalah perhatian umum tanpa asas cinta.

"Bajingan!" Helia berteriak lagi, sekeras mungkin menuju permadani cerah di angkasa. "Aku ingin mati saja."

***

"Nona Helia! Nona Helia!"

Mary, memanggil nama Helia dengan separuh panik.

Mary bahkan memasuki kamar Helia tanpa mengetuk terlebih dahulu. Ditambah, senja sudah menyapa, dan Helia mengatakan pada Mary untuk tidak mengganggunya.

"Mary? Ada apa? Sudah kubilang, kan, kalau aku tidak ingin diganggu?"

Helia mengernyit. Mary langsung menundukkan kepalanya dalam.

"Maafkan saya, Nona Helia. Namun, saya sangat ingin mengatakan ini pada Anda sebelum besok pagi agar Anda tidak terlalu terkejut saat menemui Yang Mulia."

"Atur napasmu," kata Helia dengan kernyitan di dahi setelah Mary mengucap kalimat 'Yang Mulia' yang sangat menarik perhatian Helia.

"Terima kasih, Nona."

Setelah beberapa saat, Mary yang sudah mengatur napasnya langsung angkat bicara.

"Ada informasi mengenai Yang Mulia Permaisuri."

Helia mengangkat sebelah alis. "Apa itu?"

"Akhirnya setelah tiga minggu pernikahan, Yang Mulia Permaisuri akhirnya mengandung keturunan Teratia."

Prang.

Cangkir teh di atas meja jatuh, hal itu karena tubuh Helia langsung kehilangan keseimbangan begitu dia mendengar informasi tersebut dan tubunya menabrak meja.

Pecahan di lantai kini basah oleh cairan teh dan beberapa camilan di atas meja benar-benar kehilangan estetika.

"Nona Helia!" Mary berteriak histeris. Dia langsung membantu Helia menegakkan tubuhnya.

"Astaga. Maafkan saya. Saya seharusnya tidak membicarakan informasi ini. Tapi seluruh istana sudah mengetahui ini, jadi saya pikir, saya juga harus memberi tahu Anda."

Helia mengembuskan napasnya dengan berat, lalu menarik oksigen untuk mengisi paru-parunya.

"Tidak, tidak apa." Helia tersenyum getir. "Kamu harus terus memberi tahuku informasi mengenai Yang Mulia Permaisuri. Aku sangat ingin mengetahuinya."

Mary bisa melihat kedua tangan Helia mengepal erat. Mary langsung menggenggam kedua tangan itu.

"Nona, tenanglah. Saya yakin, Yang Mulia Raja tetap peduli pada Anda."

Helia mengangguk. "Kamu benar. Yang Mulia Raja hanya akan melihatku sebagai teman bermainnya dari kecil, makanya dia peduli."

"Nona Helia." Mary menggigit bibir.

Helia kembali duduk di kursi empuk beludru, dia menyandarkan punggungnya di sandaran empuk dengan frustrasi.

"Berikan surat untuk Yang Mulia Raja," kata Helia, memijat pelipisnya sambil menutup mata, menyembunyikan permata ruby di sana.

"Surat, Nona Helia?"

"Katakan pada beliau, aku akan kembali ke kediaman Floral untuk beberapa minggu. Katakan padanya dengan dalih pemulihan tubuh. Aku kelelahan karena banyak bekerja."

Mary menggigit bibir. "Akan saya kirim surat tersebut."

"Bagus."

Helia tidak bisa tidur malam itu. Dia menatap luna di balik kaca jendela besar di kamarnya. Sinarnya menelusup ke dalam kamar yang separuh gelap.

Helia lalu menangis.

Menangisi ketidakmampuannya untuk bertindak dan mengambil langkah agar harapannya menjadi kenyataan.

Menangisi sebuah kegagalan di mana perasaannya tidak akan pernah tertuju meski dia berusaha sekuat tenaga.

Menangisi bahwa dia tidak bisa melakukan apa-apa lagi.

Menangisi bahwa, Helia tidak akan pernah bisa mendapatkan cinta yang dia angankan.

***

"Jangan banyak bergerak. Kamu juga harus istirahat dengan cukup. Jangan sampai kelelahan. Kamu tidak usah bekerja dulu. Biar aku dan Helia saja."

Di kamar raja, Allan menunjukkan perhatiannya pada Auste.

Auste hanya tersenyum lembut, dia mengelus perutnya dengan sayang. "Aku baik-baik saja, Allan. Jangan terlalu khawatir. Tapi terima kasih atas perhatianmu. Aku senang sekali."

Allan mengembuskan napas, lalu duduk di atas ranjang di samping Auste. Auste langsung menyandarkan kepalanya di bahu tegap Allan.

Allan secara otomatis melingkari tangannya ke tubuh Auste.

"Allan," panggil Auste.

"Ada apa?"

Sorot lembut Allan hanya tertuju pada Auste. Seluruh wajahnya yang kerap kali kaku begitu dia menghadap orang lain, sirna. Di sana, di kanvas rupawan yang cocok dengan segala lukisan, hanya ada kelembutan dan cinta yang tidak pernah dia tunjukkan pada siapa pun.

"Kamu ingin anak perempuan atau laki-laki?"

Auste membuat kontak mata dengan Allan. Allan membelai rambut emas Auste yang panjang dan bergelombang.

"Aku tidak peduli itu. Baik laki-laki atau perempuan, aku akan menyayangi mereka."

Auste terkekeh kecil.

"Anak pertama itu, akan menjadi penerus tahta," lanjut Allan.

"Meski dia perempuan?"

"Ya, tentu saja. Dan bagaimana kalau hari ini aku jadikan hari libur nasional?"

Auste tertawa pelan, pipinya merona dengan mesra, dan kurva bibir yang selembut bunga apricot terlukis di sana.

Auste merupakan seorang peri sejati, dia sangat cantik, bahkan ketika iris sehijau flora itu memiliki visi selembut dan seharum bunga.

Bagaimana mungkin banyak yang tidak jatuh hati terhadap jelmaan peri tersebut?

"Kamu berlebihan. Bagaimana mungkin hari ini dijadikan hari libur nasional?"

Allan mengangkat bahu. "Dan setelah anak kita lahir, aku juga akan menjadikan hari tersebut sebagai hari libur nasional."

Auste tertawa. "Kamu sangat romantis. Aku menyukainya."

Allan mengecup pelipis Auste yang langsung merona merah.

"Aku juga menyukaimu."

Tiba-tiba, ketukan di pintu memotong komunikasi suami-istri tersebut.

Allan berdecak kesal. "Masuk."

Pintu dibuka. Seorang pria paruh baya yang menjabat sebagai kepala pelayan memasuki ruang pribadi raja.

Kepala pelayan itu membungkuk dalam, sembilan puluh derajat. Meski begitu, sorot tegasnya terasa dengan kentara.

"Maaf atas kelancangan saya karena mengganggu waktu Anda berdua, Yang Mulia Raja, Yang Mulia Permaisuri. Namun, saya memiliki surat yang ditujukan pada Anda."

Allan tidak bicara banyak, membuka surat, dan membaca.

"Maafkan saya, Yang Mulia. Saya memerlukan izin cuti sebagai ajudan Anda, karena akhir-akhir ini tubuh saya rasanya melemah. Saya akan kembali ke kediaman Duke Floral malam ini."

Allan membaca inti surat dalam hati. Setelahnya, dia meremas kertas dan melemparkannya ke kepala pelayan.

"Keluar," kata Allan.

Kepala pelayan menunduk dalam, lalu keluar dari ruang pribadi raja.

"Surat dari siapa itu?" Auste yang bertanya dengan penasaran.

Allan hanya menggeleng pelan dan tersenyum miring. "Hanya pengganggu kecil."

***

Allan sialan 😠😡🤬 ada yang mau titip jasa tampol ke Allan?

24 Juli 2022