webnovel

12 - You Steal My King?

Satu minggu setelah upacara pernikahan, Helia tidak pernah ingin mendengar informasi apa pun di luar kamarnya yang berada di Istana Romeo.

Otomatis, Auste yang meski sudah diberikan Istana Aurora, Istana bagi Permaisuri, masih tetap bisa tinggal di Istana Romeo sebagai istri sah dari raja.

Dan sejak saat itulah, Helia merasa duanianya kacau balau seolah dia terlempar ke dalam kobaran neraka.

Helia tidak menghadiri upacara penobatan Permaisuri. Lebih tepatnya, dia tidak akan pernah berniat untuk menghadirinya.

Pagi ini, Helia bersiap dan merias diri, dibantu Mary.

"Apa Anda baik-baik saja, Nona Helia?" tanya Mary dengan khawatir. Tangannya dengan cekatan menyisir rambut hitam Helia. "Anda kelihatan sangat pucat. Saya yakin Yang Mulia Raja akan baik-baik saja apabila Anda beristirahat selama beberapa hari lagi."

"Ah, tidak usah," tolak Helia secara halus. "Aku sudah beristirahat lebih dari satu minggu, bahkan aku melewatkan upacara penobatan Permaisuri Nona Auste—maksudku Permaisuri Auste tiga hari lalu. Aku merasa bersalah. Aku juga melewatkan banyak pekerjaanku sebagai ajudan Allan."

"Kenapa Anda merasa bersalah?" tanya Mary menggebu. "Anda sakit, demam, dan tubuh Anda lemas, bukan? Itu bukan kebohongan! Anda tidak perlu merasa bersalah karena Anda sakit."

Helia terkekeh kecil, lalu menatap sosoknya di cermin yang ada di hadapannya. Wajahnya tanpa dia sadari menirus, cahaya di matanya meredup, senyumannya tidak seindah sayap kupu-kupu lagi. Seolah Helia yang ada di cermin saat ini, bukanlah Helia. Melainkan orang lain.

"Anda sadar, kan? Penampilan Anda terlihat buruk," kata Mary lagi. "Bukannya saya menghina Anda, Nona Helia. Akan tetapi, saya merasa simpati. Anda bahkan belum sembuh total dari sakit Anda, Anda tidak perlu memaksakan diri untuk bekerja."

Helia menggeleng, masih menatap lekat refleksinya dalam cermin.

Jatuh cinta membuat Helia sakit baik fisik dan psikis. Jika dia bisa meminta satu permintaan pada Tuhan, Helia akan memohon agar perasaannya terhadap Allan terhapus dengan sempurna.

Namun, bukan berarti sebuah perasaan yang melekat padanya selama bertahun-tahun akan dengan mudah terkikis begitu saja. Helia bahkan tidak yakin dengan seberapa banyak luka di hatinya saat ini.

"Aku harus bekerja," bisik Helia.

"Anda masih sakit, Nona Helia. Saya mohon." Mary memohon dengan sorot sendu, kedua matanya sembap, seolah ikut menangis bersama nona majikannya. "Lagipula, ada Yang Mulia Permaisuri Auste sekarang. Pekerjaan Anda akan semakin ringan."

"Tapi tidak dengan perasaanku."

Mary bungkam.

Helia mengembuskan napas berat. Dia berdiri dari kursi rias, menepuk gaun merahnya yang mengembang, dan tersenyum pada Mary.

"Aku tidak apa-apa, Mary. Jangan pikirkan aku."

Mary terisak lagi. "Bagaimana bisa saya tidak memikirkan Anda, Nona Helia? Jika Anda terluka, saya akan semakin terluka. Jika Anda pergi ke ruang kerja Yang Mulia Raja, Anda akan semakin terluka. Saya mohon, istirahatlah untuk beberapa hari. Tuan Demian juga akan berpikiran seperti itu."

Helia terkekeh kecil. "Kamu tidak bisa membujukku dengan nama Kakak. Menyerahlah, Mary. Kalau begitu, aku pergi."

Mary hanya menatap kepergian Helia dari kamarnya dengan sorot sendu. Dia siap menumpahkan air matanya kapan saja.

Sementara itu, Helia mengembuskan napasnya dengan berat. Perasaan frustrasi mengganggunya.

Helia sekarang menyugestikan pada diri sendiri, bahwa jatuh cinta adalah sebuah kutukan menyeramkan yang membuat tubuhnya kacau.

Helia melangkahkan kakinya di lorong Istana Romeo, menjejaki langkah demi langkah menuju ruang kerja yang bisa ditempuh setelah beberapa belokan lagi.

Helia menekan dadanya yang sesak. Seolah sebuah perasaan membuncah di sana meneriakkan dan bertanya apakah Helia siap menerima kehadiran satu wanita di ruang kerjanya dan Allan nanti?

Apa Helia siap menghadapi Allan? Helia sadar jika Allan pernah menjenguknya beberapa kali selama Helia terbaring di ranjangnya, tetapi Helia selalu berpura-pura tidur. Itulah yang dikatakan hatinya.

Menghindari rasa sakit.

Mencintai Allan adalah sebuah kebetulan pada awalnya, hingga akhirnya sebuah perasaan aneh itu tumbuh kian membludak, kemudian setelah perasaan besar itu tidak lagi tertampung, perasaan itu dihancurkan dengan kejam. Bagai ombak yang menghantam karang dan tebing tanpa ampun.

***

Helia merasa bahwa dia berada di ambang kehancuran.

"Helia, kamu bisa kembali ke kamarmu kalau kamu merasa lelah."

"Yang Mulia benar, Nona Helia. Anda harus kembali ke kamar Anda. Wajah Anda sangat pucat."

"Dan membiarkan kalian bermesraan lagi?" Helia membatin sambil mendengus dalam hati. "Tapi, bukan berarti mereka tidak boleh bermersraan, mereka sudah menikah. Tapi tetap saja, memikirkan mereka bermesraan di belakangku sangat menyakitkan."

Helia baru saja membuka pintu ruang kerja setelah mengetuk sebelum dia diberikan banyak peringatan dan suara penuh khawatir oleh Allan dan Auste.

Di dalam ruang kerja, terdapat meja dan kursi baru di samping meja kerja Allan. Siapa lagi kalau posisi itu bukan untuk Permaisuri Auste Julian Teratia.

"Tidak apa-apa, Yang Mulia, Permaisuri. Saya sudah beristirahat lama sekali, saya merasa bersalah karena mengabaikan pekerjaan saya yang semakin menumpuk," kata Helia setelah melakukan salam untuk menyapa Keluarga Kerajaan.

"Nona Helia, saya sangat khawatir," kata Auste. "Saya dengar, kamu demam tinggi setelah upacara pernikahan kami."

"Maafkan kelancangan saya karena tidak dapat hadir di resepsi pernikahan dan penobatan Anda sebagai Ratu Permaisuri Teratia, Yang Mulia Permaisuri. Dan tolong, jangan bicara formal pada saya. Anda sekarang adalah pendamping raja, Anda harus menunjukkan kekuasaan Anda."

Auste tersenyum lembut, menarik kedua telapak tangan Helia dan menggenggamnya.

Helia nyaris ingin menepis tangan hangat Auste dengan kasar jika dia tidak mengontrol diri dengan baik.

"Kamu adalah orang yang sangat baik, Nona Helia. Aku yakin, kamu akan segera menemukan cintamu."

"Terima kasih banyak atas kemurahan hati Anda, Yang Mulia Permaisuri."

Allan menyaksikan interaksi dua wanita itu dari balik lembaran dokumen. Dia mencoreti kertas dengan pena bulu sambil memutar otaknya.

"Ah, ya. Aku juga butuh bantuanmu, Nona Helia," kata Auste.

Helia mengurungkan niatnya untuk duduk di meja kerjanya dan menghadap Auste.

"Jika Anda memiliki masalah dan sesuatu yang Anda butuhkan, Anda bisa bertanya pada saya." Helia memasang senyum palsu. Sial. Rasanya kedua sudut bibir Helia akan lepas saking pegalnya dia mempertahankan senyuman palsu.

"Aku perlu mengisi dokumen juga. Aku butuh bantuanmu yang sudah berpengalaman."

Helia mengangguk sopan. "Tentu saja. Anda bisa mengandalkan saya selama Anda mengerjakan tugas mulia Anda."

Helia membantu Auste.

Tentu itu harus karena Auste tidak dididik menjadi ratu sedari kecil. Berbeda dengan Helia, dia selalu berada di samping Allan setelah penobatannya sebagai raja Teratia dan membantu segala pekerjaan raja. Helia sudah lebih lama di sana. Lama sekali, bahkan ketika hanya ada Allan sendirian. Allan yang lemah tanpa dukungan apa pun.

Helia merasakan perasaannya makin campur aduk.

Helia melihat Auste sebagai pencuri.

Allan yang sudah berada di samping Helia semenjak dia kecil, terebut oleh wanita yang baru dikenal Allan hanya selama beberapa bulan.

Helia menggelengkan kepalanya pelan, mengusir pikiran tidak berguna yang akan mengganggunya.

Meski Helia merasa terluka, sakit, dan berdarah, Helia harus mengesampingkan masalah pribadinya demi kelangsungan kerajaan.

Sesekali Helia akan merasa hatinya yang retak semakin pecah ketika melihat Allan dan Auste bermesraan.

Helia rasanya ingin menarik pisau dan melayangkannya—

Tidak, jangan. Jatuh cinta tidak boleh membuat Helia gila. Helia harus mengontrol dirinya sendiri. Helia harus menahan semuanya di dalam hatinya. Harus.

"Terima kasih, ya, Nona Helia, sudah membantuku."

Senyuman Auste sangat lembut.

Helia menggigit bibir.

Kenapa Auste sangat lembut padanya meski Helia sudah bersiap melayangkan pisau padanya?

***

Ada yang mau puk puk helia? Aku bolehin 😭

23 Juli 2022