webnovel

Curhat

Hari berlalu, salah satu perbedaan Pesantren Darussalam dengan Pesantren lain adalah sangat menjaga perempuan dari laki-laki yang bukan mahromnya. Lalu bagaimana jika mereka memiliki kakak atau adik laki-laki? Disini memiliki jadwal setiap satu minggu sekali untuk bertemu dengan mahromnya.

Aisyah memiliki dua saudara laki-laki, hari ini jadwalnya bertemu dengan sang kakak. Ia cukup dekat dengan kakak laki-lakinya, sering kali Aisyah curhat dengan kakaknya mengenai hal-hal yang ia rasakan di pondok.

Usia mereka tak terlalu jauh, hanya terpaut tiga tahun. Berbeda dengan adiknya yang selilih sampai enam tahun karena orang tua Aisyah ingin fokus mengasuh kedua anaknya dahulu.

Seusai kelas pagi Aisyah menuju kantor keamanan untuk melihat list nama-nama yang dipanggil oleh mahromnya. Namanya tertera dipaling bawah, ia merasa jika kakaknya lupa bahwa hari ini pertemuan mahrom. Aisyah tersenyum tipis seraya berjalan kembali ke kamarnya untuk bersiap ke luar gerbang.

Di Pondok Pesantren Darussalam santri putri diwajibkan mengenakan cadar saat ingin keluar gerbang. Adapun cadar yang dikenakan harus berwarna hitam dengan abaya yang senada, tak lupa kaos kaki dengan sarung tangan untuk menutupi sebagian aurat yang sering diremehkan oleh kaum hawa.

Hari ini Maryam sedang sakit, setelah beberapa hari lalu ia dimarahi Ustadz Fatih karena hukuman yang diberikan oleh beliau tak dikerjakan oleh Maryam. Aisyah merasa kasihan, tapi ia tahu maksud Ustadz itu tak mungkin untuk kebaikan kami.

Aisyah yang sudah selesai bersiap-siap langsung laporan ke kantor keamanan lalu keluar gerbang, beberapa santri yang dipanggil sedang menunggu mahromnya, sedang yang lainnya ada yang masih didalam pondok dan ada pula yang sudah bertemu dengan mahromnya.

"Awas saja kalau sampai bel tidur, sudah lebih awal keluar juga."

Aisyah yang sudah berada diluar gerbang sekitar sepuluh menit mulai menggerutu. Pasalnya kakaknya itu tak kunjung tiba padahal santri yang baru saja keluar sudah dijemput saudaranya. Pupil Aisyah memperhatikan sekeliling, berharap orang itu terselip diantara banyaknya santri putra.

"Haish..."

Aisyah menepuk dahinya, mengapa ia bisa lupa memakai kacamata disaat seperti ini. Sering kali ia merasa menyesal karena tak menuruti ucapan Ummah (ibunya) untuk berhati-hati dalam membaca dan bermain gadget.

Pupil Aisyah menyipit guna memastikan seseorang yang berada dibalik pohon sedang berbincang dengan pria lain. Aisyah yakin dengan postur tubuh dan gaya pria itu adalah kakaknya, ia mendekat ke arah pria yang diyakini adalah kakaknya.

"Bang!" Panggil Aisyah.

Kedua pria itu menoleh ke arahnya. Malu? Tentu saja, syukurnya ia mengenakan niqob hingga tak terlihat rona merah di pipi chubby-nya.

"Lho, Ra? Sudah diluar? Abang kira masih didalam."

Aisyah memutar bola matanya, ia merajuk. Bisa-bisanya Kakaknya berbincang dengan orang lain membuat Aisyah menunggu sampai lima belas menit disini seperti anak hilang.

Tunggu, pria yang berbincang itu adalah Ustadz Fatih. Aisyah baru menyadarinya saat memperhatikan ulang pria yang bersama kakaknya.

Sudah beberapa hari berlalu sejak kejadian itu, apakah Ustadz itu mengenali Aisyah? Waktu itu ia mengenakan niqob seperti saat ini dengan model berbeda pasti ia tak mengenalinya 'kan?.

"Afwan nih, Tih. Adek gue udah keluar gue duluan, ya. Nanti bahas dikamar lagi aja masalah itu."

"Santai aja."

Setelah bersalaman mereka berdua berpisah, Aisyah masih menatap tajam pria dihadapannya dengan kedua tangan terlipat dibawah dadanya.

Pria itu terkekeh pelan lalu mengelus lembut puncak kepala adiknya kemudian merangkul bahunya.

"Aduh, sepertinya abang membuat Tuan Putri marah. Baiklah, sebagai permintaan maaf abang akan nurutin satu permintaan Tuan Putri Maira yang paling cantik setelah Ummah."

Aisyah tersipu malu mendengar penuturan kakaknya lalu mencubit pinggul pria itu.

"Dih, sok manis kali. Makan aja, ira belum sarapan tadi pagi, mana tadi di lupain sampai nunggu setengah jam kurang sedikit."

Aisyah berjalan dengan satu tangannya menggenggam jemari Kakaknya menuju salah satu koperasi yang menyediakan beberapa menu makanan dan minuman.

"Tadi tuh temen Bang Hasan?"

Kakak Aisyah memiliki nama Muhammad Hasanuddin, ia memiliki beberapa nama panggilan namun lebih sering dipanggil Hasan. Mengenai sifat Hasan cukup ramah dengan orang lain dan ditambah parasnya yang lumayan tampan dan suaranya yang merdu membuat ia menjadi salah satu santri favorit selain Gus Darussalam.

"Hm? Iya. Dia ngajar santri putri, ngegantiin Ustadz yang kecelakaan katanya."

Hasan memesan dua jus alpokat dan dua piring batagor. Maklumlah, santri saat akhir bulan memang harus berhemat dan menurutnya makanan ini termasuk spesial bagi santri.

"Dia killer, ngajar dikelasku." Ucap Aisyah dengan mengambil segelas jus yang baru saja dibawa oleh akang santri yang khidmat (ngabdi) disini.

"Ko iso?"

"Yo mbuh, ra eruh aku."

"Ngapa ngikutin ngomong jawa?!"

"Lah 'kan situ duluan."

"Wes, wes, gini Ra. Coba jelasin gimana kamu bisa tahu kalau dia ngajar di kelasmu."

Aisyah tersenyum jahil, ia tahu jika Kakaknya penasaran akan berani membayar dengan apapun agar mengetahuinya.

"Wani piro?!"

Hasan menatap Aisyah malas, lalu menghela napasnya. Ia mendekati Aisyah seraya berbisik.

"Kamu suka sama dia?"

Aisyah tersedak, hampir saja jus alpokat yang sudah terminum menyembur keluar karena perkataan kakaknya itu.

"Ngawur!"

"Alah, kelihatan lho. Kamu tak pernah peduli dengan pria, sekarang malah tanya-tanya."

"Apa salahnya tanya? Lagian siapa yang suka kenal aja ndak."

Aisyah menyuapkan sesendok batagor pada mulut kakaknya yang terbuka, rasanya menyebalkan dituduh hal yang tak ia lakukan. Ia tak menyukainya, hanya sedikit penasaran karena kejadian hari itu mengganggu pikirannya.

"Sebenernya, Bang. Waktu itu kami kepapasan, ndak sengaja serius. Ira waktu itu telat, ya tahulah bagaimana kk/wk (ketua/wakil kamar) ngurus anaknya."

"Nah trus?"

"Sek tho, sabar. Trus ya, Ira sama Miyam jalan bareng pas di tangga pintu masuk ndak sengaja pandang-pandangan gitu lho. Disitu anehnya rasanya waktu seperti berhenti, dada ira juga berdebar kenceng kaya dag-dig-dug gitu, habis itu beberapa hari ini ira sering kebayang hari itu. Ngerasa salah juga tiap kali inget itu, Bang."

"Echiee.... Ira naksir sama orang, Ekhem."

"Gendeng, dah lah ira mau masuk aja. Bukannya di dengerin trus kasih pengarahan gimana baiknya malah diledekin mulu, nyebelin banget sih jadi orang, huh!."

Aisyah berdiri usai menghabiskan makanan dan minumannya, ia sudah cukup kesal karena diejek kakaknya trus menerus. Padahal ia sedang merasa ada yang salah pada dirinya tapi disaat menjelaskan apa yang di rasakannya pada kakak responnya tak seperti yang diharapkan. Memang benar, curhat yang paling baik hanya pada Allah.

"Tunggu dulu, Dek. Masya Allah cepet banget ngambeknya."

"Apaan lagi sih, Bang? Udah bel tidur jadi kudu masuk."

Hasan mencekal tangan Aisyah yang ingin jalan, ia berdiri usai menghabiskan minumannya.

"Jadi gini...."