webnovel

Ustadz Killer

"Semoga saja kita tak kena hukum karena tadi." Harap Maryam.

Kami mulai mengambil meja kecil di pojok masjid yang biasa kami sebut Rehel. Aisyah mengangguk tanda menyetujui harapan sahabatnya. Dadanya masih sedikit berdebar, tak seperti saat bertatapan langsung hanya saja bayangan itu sulit sekali hilang dari pikirannya saat ini.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," Suara mikrofon memenuhi sudut ruangan membuat para santri menjawab salam tersebut.

"Sebelumnya, saya akan memperkenalkan diri saya dahulu. Saya Muhammad Al - Fatih, saya akan menggantikan Ustadz sebelumnya sampai beliau bisa mengajar kembali. Ada pertanyaan?"

Hening, tak ada yang menjawab. Selain pertanyaan yang tak kami ketahui kami takkan mengobrol dengan Ustadz pengajar kami untuk menghindari hal-hal yang tak diinginkan seperti fitnah.

"Saya anggap kalian mengerti. Lalu, dua santri yang telat tadi harap menulis 100 hadist beserta sanad dan rawinya dikumpulkan esok hari, tak ada penolakan."

Aisyah menghela napasnya panjang, kesibukan dikamar membuatnya sedikit banyak menimbang kapan waktu yang cukup untuk mengerjakannya.

Wajahnya saja yang tampan, tapi ternyata sifatnya sangat tegas bahkan tega sekali memberi hukuman saat pertama kali masuk kelas, kesan pertamanya hancur di mata Aisyah saat ini.

"Ingin sekali aku membuka hijab lalu memarahi Ustadz ini."

Aisyah terkekeh pelan saat Maryam mulai menggerutu tentang hukumnya, sedikit hiburan setelah ia membanggakan Ustadz baru lalu ekspetasinya dihancurkan oleh orang yang sama.

Maryam berasal dari Medan, salah satu kota yang berada di Sumatra Utara. Cara bicara yang khas bahkan cenderung keras membuat kesan pertama Aisyah dengannya tak berjalan lancar. Sering kali Aisyah merasakan ketakutan karena gaya bicara mereka yang sangat berbeda, rasanya seperti dimarahi oleh Maryam tiap kali berbincang. Siapa yang menyangka kini kami dekat dan saling memahami satu sama lain.

"Sudah, sudah, aku tak ingin menambah Iqob-an lho."

"Tapi tetap saja tak adil."

"Fokus, Ustadz sedang menjelaskan."

Wajah Maryam masih saja tertekuk seperti pakaian basah yang baru saja dicuci selama pelajaran berlanjut, sesekali ia mengajak Aisyah untuk keluar kelas tanda ia sudah bosan dengan pelajaran yang diajarkan.

Aisyah tak bergeming, ia memperbaiki beberapa makna yang sedikit keliru dalam pengartiannya. Setidaknya, ia merasa sekarang bukan waktunya untuk bermain-main lagi. Usianya yang sudah cukup dikatakan dewasa membuatnya harus menjadi lebih baik dalam mempelajarinya agar kelak dapat berguna untuk anak-anaknya suatu saat nanti.

____

Bel tanda berakhirnya kelas telah berbunyi, membuat para santri mulai berlarian keluar kelas. Aisyah dan Maryam memutuskan untuk kembali ke kamar lebih dahulu sebelum pergi ke koperasi.

Koperasi adalah salah satu tempat untuk membeli barang dan keperluan santri seperti ; lauk, seragam, makanan, dan lainnya.

"Yam, type pria seperti apa yang akan jadi suamimu kelak?"

Maryam menoleh ke arah Aisyah dengan tatapan terkejut.

"Kamu?! Suka sama seseorang?"

Aisyah menggeleng.

"Bukan, kamu tahu 'kan sebentar lagi kita lulus. Ditambah dengan usia kita biasanya akan langsung menikah. Aku belum pernah suka dengan pria, lebih tepatnya tak paham perasaan itu." Tutur Aisyah.

Gelak tawa Maryam pecah setelah mendengar penuturan sahabatnya itu, apakah gadis polos ini akan segera bertemu dengan pria yang dicintainya? Bagaimana keseruan hubungan mereka nantinya? Yang pasti suaminya harus sabar dengan tingkah sahabatnya itu. Maryam merangkul bahu Aisyah yang sedikit lebih pendek darinya.

"Perasaan itu akan tumbuh sendiri, tak kenal dengan siapa, atau bagaimana caranya, perasaan itu akan hadir dan kamu akan mengenalinya. Kamu tahu? Aku seperti ibu yang akan kehilangan anak gadisnya, haha."

Aisyah memutar bola matanya malas, ia tak suka saat bercerita akhirnya akan di ejek seperti saat ini. Tapi disisi lain ia senang bercerita dengan sahabatnya itu, sifatnya yang introvert saat bersama dengan Maryam yang kebalikan dengannya membuat kami saling melengkapi.

"Iqob-an nya gimana?" Tanya Aisyah.

"Hm? Ntahlah, malas. Tapi kalau tak di kerjakan pasti akan diberi hukuman yang lain 'kan." Jawab Maryam acuh.

Sesampainya di koperasi kami memilih beberapa camilan untuk pengganti sarapan tadi pagi. Pasalnya karena mengurus anak-anak membuat Aisyah tak sempat untuk sarapan tadi pagi.

"Ca, walaupun Ustadz itu killer tapi wajahnya tampan, lho. Yah, suaranya pun lumayan bagus."

Aisyah melirik Maryam lalu memasukkan makanan yang dipilihnya ke dalam keranjang.

"Menurutku biasa saja. Dibandingkan dengan Gus Ahmad dia kalah jauh sih, haha."

Maryam mengangguk tanda setuju dengan perkataannya, kami segera membayar makanan yang kami ambil lalu beranjak pindah ke koperasi lainnya.

____

Waktu menunjukkan pukul sepuluh siang, menandakan waktu Qoilulah (tidur siang) untuk para santri. Aisyah mulai mengkoordinir anak-anak untuk mengambil bantal dan menyelesaikan urusan infirodinya (masing-masing).

Para ketua kamar dan wakil ketua mulai mengabsen anak-anak yang masih belum berbaring ditempatnya sesekali menegur mereka agar langsung tidur supaya saat Dzuhur tidak sulit dibangunkan untuk sholat dan persiapan masuk kelas.

Menjadi ketua kamar atau wakil ketua adalah suatu tanggung jawab yang besar, memberi pengarahan, mengkoordinir mereka, menjadi temen serta pembimbing mereka, dengan sifat dan watak yang berbeda kami harus sabar dengan tingkah mereka yang sulit di nasehati.

Pondok kami tidak seperti pondok modern yang setiap anak memiliki ranjang dan kasur yang empuk. Disini kami menggunakan alas tidur yang tak terlalu tebal dengan sepasang bantal dan guling serta selimut untuk menghangatkan tubuh ketika cuaca memasuki musim dingin.

Setelah memastikan anak-anak sudah berada dikamar Aisyah pamit keluar pada rekannya yang menjadi wakil ketua kamar, Nabila. Berbeda dengan Aisyah yang sabar, Nabila cenderung lebih cepat emosi dengan tingkah anak-anak yang sedikit sulit dinasehati. Alhasil, beberapa kali anak-anak mendapat hukuman.

Terkadang Aisyah ingin sedikit lebih tegas. Namun, mengingat mereka masih baru Aisyah mengurungkan niatnya. Seiring berjalannya waktu mereka akan paham dengan apa yang mereka lakukan dan moment itu akan menjadi kenangan dimasa depan.

Aisyah meraih kantung yang berisi makanan, ia berjalan menuju kamar Maryam yang berada di komplek sebelahnya. Buku dan kitab untuk pelajaran siang nanti telah ada dikamar Maryam, ia juga berniat mencicil hukuman karena telat tadi pagi.

Kejadian tadi pagi masih tercetak jelas di kepalanya. Wajah Aisyah merona kala teringat wajah Ustadz muda itu. Ah, dadanya kembali berdegub kencang seperti saat pandangannya bertemu.

"Astaghfirullah, lupakan jangan berpikir tentang dia, Aisyah."

Aisyah menggeleng-gelengkan kepalanya berharap pikirannya teralihkan pada yang lain dan tak memikirkan Ustadz itu. Ia mencari Maryam dikamarnya, tak ada. Kemana perginya anak itu? Aisyah tak terlalu peduli mungkin sedang ke kamar mandi. Ia bergegas membuka buku serta kitabnya untuk membuat seratus hadist lengkap dengan sanad dan rawinya.