webnovel

Chapter 17

POV : Kei

Mau tahu rahasiaku?

Sebenarnya, aku tidak sebodoh yang kutunjukkan. Yah, aku tahu, kata-kata barusan terdengar sombong dan hanya diucapkan oleh orang yang tidak sudi mengakui dirinya bodoh, namun kujamin kali ini ceritanya bukan seperti itu. Aku tahu orang-orang mengenalku sebagai generasi kedua dari keluarga kaya-raya yang tidak bersedia menjalani hidupnya dengan serius dan hanya bisa bersenang-senang. Harus kuakui, mereka cuma benar setengah.

Kurasa aku tidak perlu sok rendah diri dengan mengatakan keluargaku hanya biasa-biasa saja, karena keluargaku memang bukan keluarga biasa semata. Aku cukup beruntung terlahir dengan kedua orangtua yang berasal dari keluarga konglemerat. Keluarga dari sisi Ayahku merupakan pengusaha batu bata dari generasi ke generasi, sementara keluarga dari generasi Ibuku adalah produsen obat kecantikan yang mereknya kini sudah go internasional. Dan sebagai anak satu-satunya dari keluargaku, tidak salah bila dikatakan seumur hidup ini aku tidak perlu mengerjakan apa-apa untuk dapat hidup enak.

Sejak kecil, aku sudah diajari berbisnis oleh kedua orangtuaku. Saat umurku belasan tahun, ayahku sudah sering mengajakku saat dia ngopi bareng supplier-supplier maupun customer-customernya, sekaligus mengenalkanku sebagai penerus bisnisnya untuk generasi berikutnya. Aku selalu merasa terbebani setiap kali mendengarkan itu, tapi satu hal yang kupelajari dari kedua orangtuaku adalah kita harus menyukai sesuatu untuk dapat melakukannya dengan baik. Karena itulah, akhirnya aku mengubah pandanganku dan menganggap bisnis adalah sebuah permainan yang berhubungan dengan otak dan uang. Setelah mengikuti orangtuaku untuk beberapa lama, aku menyadari pendapatku itu tidak salah. Walaupun terlihat ribet, dunia bisnis ujung-ujungnya juga menggunakan psikologi manusia juga. Jadi yang harus kulakukan hanyalah mencari tahu pola pikir orang-orang yang akan kuhadapi. 

Ngomong-ngomong soal psikologi, mungkin kalian akan bertanya-tanya kenapa aku tidak mengambil jurusan psikologi di kampus. Asal kalian tahu, saat ini, aku tidak hanya berkuliah di kampus lokal saja. Sejak setahun belakangan, aku sudah mendaftar di salah satu universitas di Malaysia jurusan psikologi. Karena itulah aku jarang berada di Indonesia. Selain berkuliah di luar negeri, aku juga sering mendampingi kedua orangtuaku saat mereka punya pekerjaan di luar negeri. 

Oke, sudah cukup membahas keluargaku. Tidak banyak yang bisa dibahas soal mereka kecuali mengenai uang. 

Lain halnya denganku.

Seperti yang kalian tahu, sehari-hari aku tampak seperti anak kecil yang hinggap di tubuh orang dewasa, lantaran kerjaanku sehari hanya cengengesan, tertawa ke sana ke mari, dan tampak sebagai orang bodoh yang mudah dibuli. Asal tahu saja, aku sengaja melakukan itu. Kembali ke trik psikologi, aku ingin melihat bagaimana orang-orang akan memperlakukanku jika mereka mengira aku adalah anak orang kaya yang bodoh? Beruntung bagiku, aku menemukan teman-teman yang baik. Meskipun tahu aku berasal dari keluarga berada, mereka tidak pernah mengambil keuntungan dariku, bahkan saat aku memberi mereka kesempatan selebar-lebarnya. Dan meskipun aku sering menjadi bahan omelan mereka, aku tahu tidak ada satupun dari mereka yang berniat buruk. Bahkan, sebagian besar saat mereka mengomeliku, itu karena aku yang menjahili mereka duluan.

Mungkin kalian akan berpikir bahwa tidak baik bagiku untuk mengelabui semua teman-temanku seperti itu. Ya, harus kuakui, kalian memang benar. Terkadang aku ingin melepas sifat konyolku dan bersikap seperti orang "pintar" hasil didikan orangtuaku, tapi terkadang juga, saat melihat mereka begitu stres akan pekerjaan dan kehidupan mereka sendiri, aku merasa perlu ada seseorang yang menjadi bahan tertawaan mereka. Maksudnya, seseorang yang membuat tertawa saat mereka sedang capek. Berani taruhan, setiap kali kujahili, mereka pasti merasa senang-senang saja meskipun mulut mereka mengomel. 

Toh aku selama ini sudah menjadi teman yang baik bagi mereka. Seperti saat ini. Setelah makan malam di kampus, entah bagaimana caranya, si King mendadak sakit perut. Bukan sakit perut biasa, sepertinya, karena wajahnya sekarang tampak pucat pasi. Kalau kubilang sih, ini bisa jadi keracunan makanan. Mungkin nasi lemak yang dimakannya tadi kurang bersih atau apalah. Karena kasihan, aku menawari diri membawa King ke klinik kampus yang berada di gedung A, tempat kami berkumpul tadinya.

Memang agak sulit memapah King bodinya sebesar gorila, namun akhirnya aku berhasil membawanya ke klinik itu. Aku belum pernah memasuki fasilitas kampus yang itu. Boro-boro ke klinik, ke kampus sendiri saja jarang bagiku. Aku melirik sekeliling ruangan dan merasakan dingin yang menusuk tulang.

"Eh, bro," tanyaku dengan nada riang yang biasanya. "Lo yakin nggak mau ke toilet? Ntar cepirit di sini, lagi."

King melirikku tidak senang. "Tenang aja, Gue tahu kapan gue perlu ke toilet apa nggak. Nggak perlu ditanyain."

Dasar. Begitu saja sensi. 

Ponselku kemudian berdering saat itu. Ada email berisi perjanjian kerjasama yang perlu aku periksa sebelum kusampaikan kepada Ibuku. Berhubung perjanjian itu bernilai milyaran, ada sebaiknya aku tidak memeriksanya di tempat umum seperti ini.

"Dokternya mana nih? Masa pada ikutan acara Halloween juga?" King meringis.

"Kalau mereka ikutan Halloween sih, nggak pake acara beli kostum segala. Cukup pakai jas dokter dan suster udah kelar," cengirku.

Seolah-olah mendengarkanku, saat aku berkata begitu, sepasang dokter dan suster keluar dari sisi klinik yang lainnya. Wajah mereka tampak serius dan dingin, mungkin karena sudah kelamaan berada di ruangan sedingin ini.

"Nah, dokternya udah dateng. Berarti lo udah bisa gue tinggal. Dah," ucapku pada King sambil melambai pergi. sementara King hanya mendumel.

Aku keluar dari klinik kampus dan berniat untuk memeriksa email tadi. Ide yang buruk, karena lingkungan kampus saat ini benar-benar ramai. Sepertinya semua orang, bukan hanya warga kampus ini, tertarik pada acara malam ini. 

Karena tidak punya pilihan, aku akhirnya kembali ke mobilku untuk mendapatkan sedikit ketenangan.

Lapangan parkir saat ini sudah penuh dengan mobil-mobil mewah yang mengisi tempat ini. Mungkin saja, saking penuhnya, mobil-mobil yang berusaha masuk terpaksa membatalkan niatnya dan memarkir di tempat lain. Meskipun begitu, situasinya tampak sepi karena sebagian besar pengemudi kendaraan-kendaraan itu sedang bersenang-senang di dalam kampus. Baguslah. Dengan begini, setidaknya aku bisa fokus dengan pekerjaanku untuk beberapa menit.

Saat aku berada di mobil, aku bisa mendengar samar-samar suara dentuman musik yang hari ini dinyalakan dengan volume maksimal. Aku berusaha mengabaikannya dan fokus pada perjanjian yang aku terima. Kurasa aku menghabiskan beberapa menit untuk membaca dokumen itu sebelum akhirnya aku merasakan ada yang aneh. Mendadak semua menjadi sepi. Terlalu sepi. Tidak terdengar dentuman musik, tidak ada orang yang lalu lalang. Saking sepinya, yang terdengar hanyalah suara jangkrik berdecit.

Saat akhirnya aku selesai dengan pekerjaanku dan baru saja ingin membuka pintu mobil, tiba-tiba saja, sebuah truk yang entah bagaimana caranya berhasil memasuki lingkungan kampus kami melesat dengan kecepatan tinggi ke arahku. Rasanya hanya beberapa detik jaraknya di saat aku berhasil melompat dari mobilku, tepat saat truk itu meremukkan kendaraanku seolah-olah benda itu tidak memiliki bobot sama sekali.

Nafasku terengah-engah melihat mobilku yang sudah hancur berantakan. Sial, memang aku masih punya beberapa mobil yang bisa digunakan di rumah, tapi aku marah juga kalau ada yang menghancurkan mobilku seperti ini.

Saat aku masih berusaha mencerna apa yang sedang terjadi. sepertinya pengemudi truk itu masih belum puas sebelum dia berhasil menabrakku. Dia memundurkan truknya, kemudian berbelok mengejarku, tidak peduli berapa mobil yang dia lindas untuk melakukan itu.

Dan aku, tentu saja, dikejar dengan truk seperti itu, hal pertama yang kulakukan adalah lari.

Namun, secepat mungkin aku berlari, sepertinya truk itu akan berhasil mengejarku. Bagaimanapun juga, aku bukan manusia super yang kecepatannya melebihi kendaraan beroda delapan. Karena itulah, saat aku dihadapkan dengan jalan buntu berupa dinding pembatas gedung, aku memilih untuk melawan siapapun orang yang berniat mencari masalah denganku saat ini.

Oh ya, satu hal yang belum kuceritakan kepada kalian dan juga teman-temanku. Aku ini juga seorang ahli bela diri. Memang bukan atlit yang pernah olimpiade seperti Kei, tapi kurasa kemampuanku cukup lumayan. Bagaimanapun juga, aku sudah diajarkan bela diri Taichi semenjak aku masih kecil. Ayahku yang memang beraliran Cina ngotot mengajariku kemampuan ini, dengan harapan bahwa aku bisa membela diri sendiri. Meskipun aku tidak pernah tertarik dengan bela diri, mau tidak mau aku terpaksa mempelajarinya dengan serius berhubung resikonya adalah dicambuk dengan rotan.

Kurasa, di saat-saat seperti ini, aku harus berterima kasih kepada Ayahku karena latihan keras selama bertahun-tahun ini terbukti ada gunanya. Aku melompat dan meraih dinding pembatas yang tidak terlalu tinggi itu, lalu dengan ringan melompat ke besi kaca spion dari truk tersebut. Aku tahu saat ini aku kedengarannya seperti Shang Chi di filmnya yang rilis bertahun-tahun yang lalu, tapi percayalah, aku tidak berniat menirunya sama sekali. Aku bergelantungan seperti ini karena sepertinya inilah cara satu-satunya.

Terlihat sekali pengemudi itu tidak menyangka aku akan melakukan hal seekstrem itu. Dia lebih kaget lagi saat melihat aku berusaha menghancurkan kaca penumpang dengan sebelah tanganku. Dia berusaha membenturku, baik dengan menghantam tiang-tiang di sepanjang parkiran kampus maupun mobil-mobil lainnya. Untungnya, berkat kelenturan tubuhku, aku berhasil mengelak dengan mudah. Kemudian, karena saking kesalnya, akhirnya aku menghantamkan tanganku dengan sekuat tenaga dan berhasil memecahkan kaca penumpang dengan sukses. Aku segera masuk melalui celah jendela itu, dan langsung menghajar lawanku itu. Orang itu melawan balik, tapi karena dia sibuk mengemudi, serangannya kurang sukses. Dia berusaha menyerangku sekali lagi, sesuatu yang bodoh, karena akhirnya dia malah kehilangan fokusnya dan membuat truk yang kami tumpangi itu oleng dan terbalik.

Aku tahu aku sempat kehilangan kesadaranku, mungkin sekitar sepuluh sampai dua belas detik. Saat aku terbangun, posisiku sudah terbalik, namun untungnya aku tidak terluka parah. Hanya saja saat ini tubuhku dipenuhi dengan pecahan kaca yang menancap, sementara kepalaku rasanya pusing sekali. Cowok yang menjadi pengemudi sekaligus lawanku itu tampaknya sudah K.O, lantaran dia tidak bergerak meskipun kupanggil ratusan kali.

Sial. Apa-apaan ini? Kenapa orang ini mengincarku, sampai mengejar-ngejarku menggunakan truk segede itu di lingkungan kampus? Apakah sudah ada yang mendengar soal kepolosanku yang kupalsukan selama ini dan berniat menculikku? Kalaupun iya, masa dia melakukannya di lingkungan kampus yang sedang ramai dengan acara ini?

Eh, tunggu sebentar. Acara ini…

Benar juga. Acara ini kan sedang berlangsung. Seharusnya ada yang mendengarkan kekacauan yang baru saja terjadi. Musik dari dalam gedung kan sudah dimatikan. Seharusnya suara sekeras itu pasti membuat semua orang kaget dan penasaran. Aneh sekali. Lagipula, kalaupun mereka tidak mendengar, setidaknya petugas security yang berjaga pun bisa melihat kejadian ini. Kenapa mereka tidak melakukan apa-apa? Dan juga, satu pertanyaan yang menggangguku sejak tadi, kenapa petugas security memberikan izin bagi pengemudi truk tidak jelas untuk memasuki lingkungan kampus?

Saat pikiranku sedang penuh oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak kumiliki jawabannya, mendadak aku menyadari aku dikerubungi oleh belasan, mungkin puluhan cowok-cowok yang berpakaian seperti pengemudi yang kini sedang tidak sadarkan diri. Tidak perlu ditanyai pun, aku tahu mereka tidak datang dengan niat baik. Mereka juga masing-masing membawa senjata yang bermacam-macam, mulai dari tongkat kayu biasa, brass-knuckles, sampai nunchucks. Yang benar saja. Memangnya mereka bisa menggunakan senjata favoritku itu?

Mereka mengerubungi selama beberapa detik, kemudian, tanpa berkata-kata lagi, mereka menerjang ke arahku dan berniat mengeroyokiku. Tentu saja, sebagai orang yang masih sayang nyawa, hal pertama yang kulakukan adalah melarikan diri. Meskipun aku yakin bisa melindungi diri dari mereka, aku tetap perlu menjaga jarak agar aku dapat melawan mereka semua satu per satu, bukan semuanya secara sekaligus.

Setelah mengambil jarak yang cukup dan mengambil senjata yang cupu berupa kursi kayu yang entah milik siapa atau darimana, aku mengambil ancang-ancang untuk menghadapi mereka. Aku langsung membanting kursi kayu itu sampai hancur ke orang pertama yang mendekatiku, lalu, beruntung bagiku, orang yang sudah pingsan karena kugebuki itu membawa senjata berupa tongkat golf yang lumayan keren. Dengan senjata seperti itu, gampang bagiku untuk menyerang mereka sambil mempertahankan jarak aman. Aku mengayunkan tongkat sakti itu kepada siapapun yang berani mendekat, namun ternyata meski aku sudah capek, jumlah mereka tidak berkurang banyak. Beberapa dari mereka pun berhasil mendekatiku dan menyabet beberapa bagian tubuhku dengan pisau lipat yang mereka simpan dari tadi. Saat tenagaku sudah mulai habis karena melawan orang-orang ini, tiba-tiba saja seseorang mengayunkan nunchucks ke arahku. 

Serangan itu seolah-olah menyadarkanku dari rasa sakit, bahwa aku tidak boleh menyerah saat ini. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dan apa yang penyerang-penyerang ini inginkan dariku, namun kalau dinilai dari kebengisan mereka, sepertinya mereka tidak akan segan-segan mengakhiri hidupku kalau aku menyerah sedikit saja.

Karena itulah, aku bangkit dan merebut nunchucks yang menyerangku, kemudian menyerang siapa saja yang berani mendekatiku dengan sisa tenagaku. Setiap seranganku berhasil menumbangkan lawanku dan saat mereka semua sudah terkapar, aku masih mampu berdiri dengan tegap, meskipun tenagaku sudah nyaris habis.

Di saat itu, tiba-tiba aku merasakan seseorang menusuk bagian leherku. Aku mencabut jarum itu sambil bertanya-tanya siapa yang melakukan itu, namun yang kuingat adalah detik berikutnya, pandanganku menjadi gelap gulita.

***

Saat aku membuka mataku, aku mengira aku sudah mati.

Habisnya, yang pertama kali kulihat adalah pemandangan kota yang selama ini kutinggali. Awalnya kukira nyawaku ini sedang mengambang atau semacamnya sehabis dibunuh oleh orang-orang yang tidak diketahui identitasnya ini.

Namun, detik berikutnya, aku menyadari aku salah. Aku memang belum mati, tapi keadaanku sekarang tidak lebih baik. Saat ini aku sedang berada di lantai teratas dari gedung asrama kampus yang masih dalam proses pembangunan. Dan tidak, aku bukan berada di atas lantai tertinggi tersebut, melainkan berada di tepinya. Ya, orang-orang gila itu mengikatkanku pada kerangka besi yang terletak di tepi lantai enam gedung asrama itu. Kalau aku bergerak terlalu kuat, bisa dijamin aku pasti akan jatuh dan tewas dengan mengenaskan, entah karena badan yang hancur karena jatuh dari ketinggian setinggi itu atau karena tertusuk besi-besi yang ikut jatuh bersamaku. Intinya, saat ini nyawaku berada di ujung tanduk dan posisiku serba salah. Kalau aku berusaha menyelamatkan diri, kemungkinan besar aku akan jatuh. Tapi, kalau aku tidak berusaha, mau sampai kapan aku digantung seperti ini? Asal tahu saja, aku punya fobia terhadap ketinggian. Berada setinggi ini benar-benar membuatku mual.

Mendadak aku menjadi ingin pingsan lagi. Siapa tahu, saat ini semua cuma mimpi dan semuanya akan baik-baik saja saat aku bangun nanti.

Sial, aku jadi mengoceh tidak jelas. Padahal seharusnya aku memikirkan bagaimana caranya melepaskan diri dari situasi yang membahayakan ini.

Aku ragu aku bisa mencari bantuan dalam situasi sekarang ini. Maksudku, aku yakin ponselku sudah dirampas atau bahkan mungkin dihancurkan supaya aku tidak bisa menghubungi siapapun. Aku juga tidak bisa berteriak-teriak, lantaran gedung asrama ini terletak di bagian paling belakang dari kampus dan tidak ada orang yang akan ke sana kalau tidak ada keperluan. Kalaupun ada yang datang, pasti juga penjahat-penjahat itu yang entah apa maunya. Kurasa aku harus mengandalkan usahaku sendiri untuk membebaskan diri. Tapi bagaimana caranya?

Oke, coba aku analisis situasinya saat ini. Kedua kaki dan tanganku terikat kuat pada rangka besi dengan kawat yang tidak bisa dilepaskan. Semua gerakanku, bahkan hanya sedikit saja, membuat bunyi berderit yang terdengar mengerikan.

Sial. Apa sih yang sedang terjadi?

Aku menarik nafas dalam-dalam dan berusaha mengumpulkan ketenanganku. Untuk situasi ini, yang paling penting bagiku adalah tetap tenang. Aku tidak boleh gegabah ataupun panik.

Jalan satu-satunya bagiku untuk membebaskan diri adalah melepaskan kawat yang mengikatku. Tanganku berusaha meraih-raih, mencari besi atau apapun yang dapat kugunakan untuk membantu memotong kawat itu. Sayangnya, aku tidak menemukan apa-apa.

Kalau begini caranya, terpaksa aku melakukannya dengan cara kuno dan menyakitkan, yaitu memutar kedua tanganku dengan arah yang berlawanan. Setelah lama mencoba, sampai rasanya kedua pergelangan tanganku ini sudah berdarah, ikatan kawat itu masih saja belum lepas. Aku menarik nafas dalam-dalam dan mencoba sekali lagi, namun kali ini, mungkin karena gerakanku terlalu kuat, besi-besi yang menjadi penyangga hidupku itu mulai goyang. Aku membeku untuk beberapa detik untuk menghindari momentum yang bisa saja mengakhiri hidupku, namun semuanya sudah terlambat. Besi-besi itu mulai kehilangan keseimbangannya dan terjatuh dari lantai enam, bersama dengan tubuhku.

Sial. SIAL. AKU AKAN MATI.

Spontan air mataku menetes karena mengira hidupku akan berakhir saat itu juga, namun sepertinya Tuhan masih sayang padaku. Besi yang mengikat kakiku tersangkut pada tumpukan besi yang lainnya dan berhasil menahan tubuhku supaya tidak jatuh. Ya Tuhan, terima kasih karena diberi kesempatan untuk hidup kembali.

Akibat sentakan tadi, ikatan kawat di tanganku terlepas. Kedua tanganku sudah bebas, namun tidak dengan kedua kakiku. Sebenarnya badanku cukup lentur untuk mencapai kakiku dan melepaskan ikatannya, tapi itu sama saja dengan misi bunuh diri. Sebab, saat ini satu-satunya benda yang mempertahankan hidupku adalah ikatan pada kakiku ini yang bergelantungan pada besi yang saat ini masih tersangkut pada tumpukan besi lainnya. Kalau aku melepaskan ikatan itu, aku akan jatuh ke bawah.

Karena itulah, terpaksa aku menempuh jalan ekstrem untuk membebaskan diriku.

Aku berusaha mendekatkan tubuhku pada pegangan besi yang berada di lantai lima. Setelah bersusah payah sambil berdoa supaya tidak jatuh, tanganku berhasil meraih pegangan yang cukup kuat untuk menopang diriku. Kemudian, aku berusaha menyentakkan kakiku agar dapat menarik besi yang terikat pada kakiku ini. Setelah perjuangan yang rasanya sangat lama dan menyakitkan, sampai-sampai tulangku rasanya mau patah, barulah aku berhasil. Setelah itu, aku melompat turun ke lantai lima, kemudian baru membuka ikatan kawat pada kedua kakiku itu. 

Syukurlah. Akhirnya nyawaku selamat.

Meskipun sudah selamat dari resiko badan hancur setelah jatuh dari ketinggian entah berapa meter, aku tahu masih ada yang harus kuhadapi. Orang-orang yang menyerangku dan menculikku pasti masih ada di luar sana, entah melakukan apa. Mungkin sedang menunggu aku membebaskan diri supaya mereka dapat membunuhku dengan tangan sendiri. Cara berpikir psikopat tidak ada yang tahu, kan?

Namun, setelah berhasil keluar dari gedung yang belum rampung itu, aku tidak menemukan siapa-siapa. Gedung asrama dan gedung kampus terpisahkan oleh sebidang tanah besar yang belum dibangun apa-apa, dan aku tidak melihat siapapun ada di sana. Baik orang-orang gila yang menyerangku, maupun anak-anak kampus yang seharusnya saat ini sedang menikmati acara. 

Sambil tetap memasang kewaspadaanku, aku berjalan menghampiri Gedung B kampus. Betapa kagetnya aku saat melihat setengah dari gedung yang biasa menjadi tempat belajar kami itu sudah menjadi reruntuhan. Sepertinya aku salah. Mungkin aku bukan target dari orang-orang ini. Kalau tidak, untuk apa mereka repot-repot menghancurkan kampus hanya untuk menargetkanku? Kurasa, daripada pembunuh, lebih masuk akal kalau orang-orang ini adalah teroris yang menargetkan gedung kampus kami.

Tapi kalau target mereka adalah kampus kami, kenapa mereka harus repot-repot menyekapku dengan cara segila itu ya? Lagipula, yang benar saja. Teroris? Memangnya kami lagi ada di film-film?

Yah, apapun itu, aku tetap harus keluar dari tempat ini secepat mungkin. Namun, saat itu, aku tiba-tiba terpikir oleh sesuatu.

Bagaimana dengan teman-temanku? Apakah mereka sudah keluar dari tempat ini? Atau sama sepertiku, mereka juga ditahan dan disekap di suatu tempat? 

Saat aku mendengar langkah kaki yang ramai, aku langsung bersembunyi di balik pintu ruangan terdekat. Samar-samar, aku bisa mendengar percakapan mereka.

"Di atas masih ada satu lagi ya? Cewek?" tanya salah satu dari mereka.

"Cewek. Cantik pula," jawab temannya. "Sayang Bos nggak ngasih kita senang-senang sama mereka dulu. Lumayan barang bagus. Gratis pula."

"Udah bosan hidup ya? Katanya mereka itu semua kuat-kuat. Kalau nggak hati-hati, bisa-bisa lo mandul kayak si Jabrik yang waktu itu dihajar sama cewek yang pertama kali kita culik itu. Mana si adik Bos juga sok baik, pakai acara belain sesama cewek pula."

"Alah, cewek mah bisa apa. Kita paksa ramai-ramai juga beres," ucap yang satunya lagi dengan keras kepala.

"Tapi setelah itu lo yang dihabisin sama Bos. Mau?" 

Setelah itu, aku tidak bisa mendengar percakapan mereka lagi. Sial, yang kudengar hanya sepotong-sepotong, jadi aku tidak bisa mengerti apa yang mereka maksud. Yang jelas, di keseluruhan situasi ini ada dua orang yang menjadi figur utama, yaitu si "Bos" dan adik perempuannya. Yang lebih penting lagi, saat ini ada cewek yang sedang ditahan di lantai atas dan dia memerlukan bantuanku sekarang.

Akhirnya, dengan gerakan diam-diam, aku mengikuti kelompok preman yang terdiri dari empat orang itu. Saat mereka berhenti di lantai dua gedung di depan sebuah ruangan, aku juga bersembunyi di bawah tangga, cukup jauh untuk tidak terlihat namun cukup dekat untuk dapat mendengar apa yang mereka katakan.

"Aduh, gue udah bosan banget nih. Kita kerjain cewek itu aja deh. Siapa namanya? Ratu atau apa gitu? Biar gue turunin derajatnya jadi budak nafsu gue!" teriak salah satu dari mereka dengan kesal. Kelihatan sekali orang itu ingin berbuat mesum kepada cewek yang bernama Ratu itu.

"Namanya itu pake bahasa inggris, bego. Masalahnya, gue lupa bahasa inggrisnya ratu itu apa," sahut yang satunya lagi. "Serius lo mau kerjain tuh cewek? Ntar ketahuan Bos gimana?"

Bahasa inggrisnya Ratu? Queen? Sial. Apa cewek yang sedang disekap di ruangan itu adalah Queenie, temanku sendiri?

"Nggak bakal ketahuan deh kalo nggak ada yang bocorin. Tenang aja deh," hasut yang nafsunya paling tinggi di antara semua. "Ayo. Nggak usah ragu-ragu lagi."

Sial, tidak akan kubiarkan mereka menyentuh Queenie, bahkan ujung helat rambutnya saja. Saat mereka hendak membuka pintu ruangan itu, aku langsung melempar yang berjalan paling dengan dengan tongkat kecil yang berukuran tidak lebih besar dari tanganku.

Mereka semua tampak kaget melihatku, tapi aku tidak memberi mereka waktu untuk mengambil aba-aba. Aku langsung berlari ke arah mereka, dan aku langsung menendang wajah salah satu dari mereka dengan lututku, membuat orang itu pingsan seketika. Kemudian, aku bertempur habis-habisan dengan keempat orang itu. Saat ini ruang gerakku tidak luas, tapi tidak masalah bagiku. Saat seseorang menerjangku, aku mengangkat tubuhnya seolah-olah dia karung beras dan melemparkannya dari lantai dua. Aku yakin dia tidak akan mati, karena jarak dari lantai dua ke lantai satu tidak terlalu tinggi, ditambah lagi dia jatuh ke atas rumput, bukan keramik atau bebatuan.

Aku mematahkan pergelangan tangan seseorang yang berusaha meraih leherku, menendang perutnya, kemudian memutar tangannya sampai terdengar suara patah, sebelum aku membuatnya pingsan dengan meninju leher belakangnya. Saat yang terakhir lagi datang, aku langsung meraih wajahnya dan membenturkan kepalanya ke dinding, membuatnya pingsan juga.

Tidak lama kemudian, terlihat keramaian yang mendatangiku. Mereka semua datang dengan wajah ganas layaknya manusia purba yang sedang diajak berburu. Sayangnya, aku ini bukan mangsa yang gampang diciduk.

Menghadapi lawan sebanyak ini dengan senjata, aku tidak ragu-ragu lagi. Meskipun dengan tangan kosong, aku melawan mereka semua. Aku memanfaatkan benda -benda minim yang ada di sekelilingku, seperti bangku kursi, meja, pegangan teralis, dinding, pintu, dan yang lainnya. Entah sudah berapa orang yang kulempar dari lantai dua ini dan entah berapa dari mereka yang mengalami patah kaki dan tangan akibat ulahku. Saat aku sedang melawan salah satu dari mereka, yang sepertinya lebih berbahaya daripada yang lain karena kakinya yang pantang, aku sampai merasa kesal sekali dan menendang orang itu sampai merusaki pintu ruangan dimana Queenie sedang disekap. 

Ternyata, saat aku sedang sibuk melawan orang-orang ini, Queenie sudah sadar dan sedang berusaha melepaskan ikatan di tangannya yang omong-omong, hanya bergantungan begitu saja di gantungan proyektor yang ada di ruangan itu. 

"Lah, Queen. Lo udah nyadar?" tanyaku spontan. Oke, pelajaran yang bisa kuambil di sini adalah jangan banyak berbicara di tengah pertempuran seperti ini. Saat fokusku teralihkan pada Queen, tahu-tahu segerombolan itu sudah menggerubungiku layaknya zombie. Dan aku tidak bercanda. Kelakuan mereka tidak lebih manusiawi dibandingkan zombie beneran. Mereka mencakar, menarik, bahkan sampai menginjak-injak tubuhku. Spontan aku meraih kaki orang yang berani mati itu dan memutarnya, membuatnya kehilangan keseimbangan. Beruntung bagiku, saat orang itu jatuh, dia juga menarik teman-temannya untuk jatuh bersamanya. Melihat kesempatan itu, aku segera bangkit dan kembali menghajar mereka yang masih berdiri. 

Saat aku melirik Queenie, sepertinya ikatan talinya sudah akan lepas. Kalau aku tidak cepat-cepat menyambutnya, bisa jadi cewek itu jatuh dengan kondisi wajah berdarah-darah akibat membentur lantai. Karena itulah, meskipun sedang sibuk-sibuknya, aku segera berlari ke arah cewek itu demi menyambutnya. Sayangnya, karena posisi yang kurang oke, kepala kami malah berbenturan dan rasanya sakit sekali. 

"Buset," aku mengerang. "Kepala lo keras banget, bro."

"Kepala lo kali," ucap cewek itu tidak mau kalah. Sial, kenapa di saat-saat seperti ini dia masih mau bertengkar denganku? "Fokus, woy. Lawan-lawan kita masih banyak," serunya sambil berusaha berdiri meskipun dengan tertarih-tatih. 

Queenie benar. Lawan kami tidak memberikan kami waktu istirahat sama sekali dan terus melawan kami, mana jumlahnya terus tertambah. Untungnya, meskipun Queenie terluka, dan jujur saja aku juga, tidak ada dari kami yang patah semangat dan menyerah begitu saja. Kami terus berjuang dengan tenaga kami. Queen mengangkat kursi besi yang ada di ruangan itu dan memukul preman-preman itu seolah mereka hanyalah lalat-lalat penganggu, sementara aku sudah berhasil melucuti sebagian besar dari senjata mereka. Yah, tanpa senjata, mereka sudah nyaris dikalahkan.

Setelah pertempuran yang cukup lama, sampai-sampai kami terbawa ke luar ruangan karena gerakan yang tidak kami sadari, akhirnya lawan-lawan kami habis juga. Beberapa dari mereka tergeletak sambil mengerang, beberapa dari mereka pingsan, dan tidak sedikit dari mereka juga kabur.

Aku melirik Queenie yang tampak kehabisan nafas sepertiku. "Lo nggak apa-apa?"

Queenie melirikku seolah-olah aku baru saja menanyakan pertanyaan paling bodoh sedunia. "Kenapa-napa banget. Tapi masih bisa bertahan. Lo sendiri?"

Aku mengangguk. "Masih bisa ngeledekin lo, kalau lo lagi pengen diledekin."

Queenie mengerling padaku dengan galak. "Kok tahu-tahu lo bisa berantem?"

Oh, shit. "Kalian kan nggak pernah nanya," kilahku.

"Nggak pernah nanya?" sergah Queenie, tapi kemudian menyadari bahwa aku memang benar. "Kami emang nggak pernah nanya secara harafiah, tapi udah ratusan kali kami nyinggung soal bela diri di depan lo. Kenapa lo nggak pernah ngomong apapun?"

Hmm. Sudah kuduga, cewek kepo seperti Queenie pasti tidak akan puas dengan jawaban yang nanggung. "Oke, fine. Gue emang udah jago bela diri dari dulu, cuma gue males nunjukin aja. Takutnya kalian malah merasa gimana gitu, lantaran biasanya gue yang paling sering diledekin di antara kalian," jawabku. "Jangan salah paham. Gue nggak dendam karena diledekin kok. Malah gue seneng-seneng aja bisa bikin kalian ketawa."

Queenie terdiam sebentar mendengar jawabanku, lalu matanya menyipit, "Apa lagi yang lo nggak kasih tahu kami?"

Aku menimbang-nimbang. "Sebenernya gue bukan cuma kuliah di sini doang. Gue juga ngambil kelas di Malaysia jurusan psikologi."

Kali ini Queenie tampak shock berat. "Hah?"

Sial, aku jadi merasa aneh karena rahasiaku diketahui orang lain. "Entar gue ceritain semua deh pas kita bareng-bareng sama yang lain juga," kataku. "Kita punya topik yang lebih penting sekarang. Seperti apa yang sebenarnya sedang terjadi dan kenapa tahu-tahu kita diculik dan diserang oleh orang-orang yang haus darah?"

Queenie mendesah. "Gue juga nggak tahu. Hal yang terakhir yang gue inget adalah gue ke toilet di samping kelas kita, lalu tiba-tiba ada orang yang ngebius gue dari belakang. Abis itu, pas gue sadar, tahu-tahu gue udah diiket bergelantungan gitu."

Buset. Aneh sekali. "Lo nggak liat siapa yang ngebius lo?"

"Nggak. Gara-gara topeng yang semua orang pake buat acara, gue nggak bisa ngenalin siapa-siapa."

Oke, sekarang aku akui bahwa penggunaan topeng memang gampang dieksploitasi untuk hal yang aneh-aneh.

"Kalo lo?"

Aku mengangkat bahu. "Pas gue lagi sibuk di mobil gue, tahu-tahu ada yang berniat nabrak. Gue berhasil kabur, tapi setelah capek-capek melawan mereka, ujung-ujungnya gue dibius juga," jawabku. "Pas gue nyadar, tahu-tahu gue udah diiket di lantai enam gedung asrama yang belum selesai."

"Di sana kan belum ada apa-apa. Gimana caranya lo bisa diiket di sana?"

"Di sana masih ada scafolding, Non. Besi-besi yang dipake tukang untuk manjat-manjat itu loh. Gue diiket di scafolding yang ditaro di tepi bangunan."

Queen mengerjap. "Tepi bangunan? Nyaris jatoh dong."

Aku mengangguk. Nyaris. "Emang. Nyaris aja gue ditemukan tewas dengan kepala pecah."

"Yang bikin gue heran itu, kenapa setelah beberapa jam kampus heboh begini, belum ada satupun polisi yang dateng? Kampus kita ini terkenal, coy. Nggak mungkin nggak ada yang beritain," tambahku.

"Ya, itu emang pertanyaan besar, sih. Belum lagi ini terjadi di malam kita nyelenggarain acara yang segede ini. Pasti orang-orang pada bakal notice," Queen menyetujui.

Aku mendecak. "Udah ah. Nggak usah banyak cerita. Mending kita secepatnya pergi dari sini deh."

Queen mengangguk. "Temen-temen kita pada dimana ya?"

Aku menarik nafas bingung. "Nggak tahu."

"Kita harus nyari mereka," ucap Queenie. 

Yah, sebenarnya memang itu rencanaku dari awal. Hanya saja, sekarang dengan adanya Queenie, aku berencana membawanya pergi terlebih dahulu, sebelum kembali mencari yang lain.

"Lo yakin? Keadaan semakin lama bakal semakin berbahaya loh," tanyaku, tidak ingin melibatkannya dalam situasi ini.

Queenie mendecak. "Lo pikir gue cewek penakut? Sorry sorry aje, kalau udah menyangkut keluarga atau temen gue, hantu pun gue lawan."

Aku tersenyum sedikit mendengar kata-kata Queen. "Ya udah kalo gitu. Tapi gue yang jalan paling depan ya."

Queen seperti ingin protes. "Kok gitu?"

"Yah kan gue cowok. Dimana-mana kan cowok yang jadi rompi peluru buat cewek."

Aku bisa merasakan Queen memelototiku, tapi dia tetap membiarkanku berjalan di depan. Namun, baru saja aku melangkah, seseorang sudah melempar sebuah pisau yang mengarah ke bahuku, membuatku lumpuh dalam sekejap.

"Kei!" Queen berteriak panik, kemudian melirik ke arah pisau itu dilempar. Aku juga melirik ke arah yang sama dan menemukan seorang cowok sedang menatap kami tanpa kedip. Dari perawakannya, sudah terlihat dia berbeda dengan preman-preman yang sudah kami kalahkan. Mungkin dia semacam ketuanya atau apalah.

"Gue… nggak apa-apa." Jelas aku bohong. Bahuku rasanya sakit sekali dan seluruh tangan kiriku rasanya tidak punya tenaga. Sial. Kalau lukaku ini tidak dibereskan dalam waktu dekat, bisa-bisa aku kehilangan seluruh tangan kiriku. 

Aku mencabut pisau yang menancap itu sementara Queenie menyobek bagian kecil dari gaunnya, membuat gaun yang sudah pendek itu tampak semakin pendek saja. Namun sepertinya dia tidak peduli. Dia menggunakan sobekan itu untuk menahan lukaku, membuat kain itu langsung berwarna merah darah dalam sekejap.

"Kei, please. Jangan tinggalin gue." Tak kusangka, Queenie mulai menangis.

Sial. Aku mulai merasa kesadaranku pelan-pelang menghilang. Kalau aku sampai out, apa yang akan terjadi pada Queenie? 

Aku menyerahkan pisau yang membuatku K.O itu pada Queenie. "Ini. Ambil. Pake sebaiknya buat melindungi diri."

Queenie menerima pemberianku dengan air mata, tapi kemudian dia membalikkan badan dan menghadapi lawan-lawan yang menyongsong kami. Dia berdiri membelakangiku, melindungiku dengan berani meskipun dia tahu secara tenaga dia tidak lebih kuat dari lawan-lawan kami yang jumlahnya sebanyak ini. Namun, dia benar-benar cewek pejuang. Tidak banyak lawan kami yang berhasil melewatinya. Hampir semuanya tergeletak di tanah setelah menerima tusukan Queenie di bagian bagian kaki, lengan, dan tangan. Queenie tetap berhati-hati untuk tidak membunuh satupun dari mereka.

Beberapa dari mereka yang berhasil melewati pertahanan Queenie, berhasil kuhadapi meskipun dengan susah payah. Tubuh bagian atasku sudah tidak bisa bergerak, namun kakimu masih bisa. Dengan posisi terkulai, aku menendangi setiap orang yang berusaha mendekatiku. Beberapa dari mereka terjatuh, sementara mereka yang masih saja berusaha meraihku, kutendangi mukanya sampai pingsan. 

Namun, tidak butuh waktu lama sebelum tenaga terakhirku mulai terkuras. Aku bisa merasakan waktuku sudah habis. Queenie terus menjerit-jerit memanggil namaku, bahkan saat ini pertahanannya pun sudah tidak sestabil tadi lagi. Sial. Kalau begini caranya, Queenie pasti akan habis di tangan mereka.

Akhirnya, dengan nafas-nafas terakhirku, aku berusaha berdiri dan meraih senjata terdekat berupa tongkat besi berduri, kemudian mengayunkannya pada orang-orang yang mengelilingi Queenie. Saat lawan kami semua sudah tumbang dan tersisa hanya satu, orang itu malah merebut tongkatku itu. Menyadari aku tidak memiliki senjata apa-apa lagi, aku memutuskan untuk menggunakan senjata terakhir yang kupunya. Diriku sendiri.

Setelah mengambil nafas dalam-dalam, aku menerjang ke orang itu dan membuat kami berdua terjatuh dari lantai dua. AKu bisa mendengar Queenie yang meneriaki namaku, tetapi suara itu terdengar samar-samar. Saat aku sudah tergeletak tidak berdaya di lantai satu, aku mendengar dua sosok laki-laki yang meneriaki namaku dan nama Queenie. Aku menoleh ke samping, dan melihat salah satu sobat terdekatku, Calvin datang dengan wajah berdarah-darah, bersama dengan Brandon yang masih tampak segar, namun tidak kalah berbahayanya dengan dua baton yang dia pegang di kedua tangannya.

Syukurlah. Bala bantuan sudah datang. Queenie sudah aman sekarang.

Akhirnya, aku memejamkan mataku.