webnovel

Chapter 18

POV : Queenie

Chapter 18

POV : Queenie

Tentu saja, aku tidak mengetahui apa yang terjadi. Awalnya, aku hanya berencana pergi ke kampus untuk bersenang-senang di acara Halloween Night yang sudah disebarluaskan semenjak beberapa bulan yang lalu bersama abang kembarku, King, dan teman-teman kami, yaitu Calvin si cowok pendiam, Kei si cowok tengil, Lidya si teman lamaku yang baru bergabung dengan kami dan kini sepertinya sedang menjalani hubungan tanpa status dengan Calvin, dan Lisa, sobat kami yang paling ceplas-ceplos dan juga merupakan teman terlama Calvin yang mungkin juga menaruh hati padanya sehingga membuatnya menjadi saingan Lidya. 

Semua mulai terasa aneh saat kelompok kami menghilang satu per satu. Lisa hari ini tidak datang, padahal dia sama antusiasnya denganku. Kabarnya dia sedang datang bulan hari pertama, dan sebagai sesama wanita, aku memaklumi kondisinya. Namun, yang aneh bagiku adalah kenapa Lisa tidak memberitahu salah satu dari kami, namun malah memberitahu Lidya yang selama ini tidak terlalu akrab dengannya?

Kedua, abang kembarku, si King, mendadak sakit perut seperti orang keracunan makanan. Lagi-lagi aku merasa aneh, karena asal kalian tahu, King orang yang jorok. Dia tidak pernah cuci tangan sebelum makan, tidak peduli apa yang sedang dia lakukan sebelum itu. Namun selama ini dia selalu baik-baik saja dan tidak pernah diare bahkan sekalipun. Aku menduga ada sesuatu yang salah dari masakan ibu kantin, mungkin makanannya dihinggapi lalat atau apalah, namun aku tidak ingin asal menuduh dan merusak bisnis orang baik. Bisa jadi imunitas King hari ini sedang cuti, makanya dia bisa sakit.

Ketiga, mendadak Kei juga menghilang. Melihat King yang sedang enggak banget hari ini, Kei menawari diri untuk membawanya ke klinik kampus. Omong-omong soal Kei, dia ini orang yang paling spesial sekaligus menyebalkan yang pernah kutemui. Dia selalu cengengesan tidak jelas dalam setiap waktu dan setiap saat, hobi menanyakan pertanyaan yang membuat orang lain darah tinggi, paling sering meminta makanan orang lain padahal dia yang paling kaya di antara kami semua. Awalnya aku merasa cowok itu cukup ganteng, tapi setiap kali melihatnya hanya cengar-cengir tidak jelas, apalagi saat dia berebut makanan denganku, aku langsung membuang perasaan itu jauh-jauh. Nah, setelah mengantarkan King, tiba-tiba dia mengirim chat mengatakan bahwa dia ketinggalan sesuatu di mobil. Namun, setelah ditunggu lama, anak itu tidak kembali juga, membuatku terjebak di antara dua lovebirds yang sedang kasmaran, yaitu Calvin dan Lidya.

Bicara soal Calvin, sebenarnya cowok itu oke-oke saja. Dia bukan anak pintar dan juga bukan anak orang kaya, tapi dia tipe pejuang. Biasanya, setelah kita lulus SMA, mungkin kita akan liburan barang satu atau dua bulan, atau minimal satu atau dua minggu, sebelum akhirnya bekerja atau sibuk berkuliah. Tapi tidak dengan Calvin. Sehari setelah mengambil kertas pengumuman kelulusan, besoknya dia sudah sibuk ngantor entah dimana. Selain itu, Calvin juga punya bakat musik yang lumayan. Dia bahkan memiliki channel YouTube tempat dia memperlihatkan bakatnya yang satu itu. Kanal itu langsung populer dalam waktu singkat, setidaknya oleh warga kampus kami. Dan belakangan ini dia semakin terkenal saja setelah menciptakan lagu sendiri dan menyanyikannya bersama teman kami, Lidya.

Lidya sendiri adalah teman kami yang paling baru. Bahkan sebenarnya, aku yang membawanya ke pergaulan ini. Aku dan Lidya sudah mengenal jauh sebelum berkuliah, yaitu saat aku masih SMA di kampung. Saat itu aku sudah kelas dua belas dan dia masih kelas sepuluh. Kami sama-sama pengurus OSIS waktu itu dan sempat bekerja sama dalam suatu acara, dan ternyata kami cocok menjadi teman. Setelah lulus, aku dan King merantau ke kota ini dan berkuliah di kampus ini, dan tahu-tahu, dua tahun kemudian, Lidya juga mendaftar di kampus yang sama. Tentu saja, aku langsung mengenalkannya kepada teman-temanku yang lain.

Keputusan yang tidak salah, karena sepertinya Lidya tidak hanya mendapatkan teman baru, namun juga gebetan baru.

Aku tersenyum saat melihat Lisa dan Calvin berdekatan. Dua orang itu memang serasi. Kalau mereka benar-benar pacaran, aku yakin mereka akan cocok. Sayangnya, hal itu kemungkinan besar akan mematahkan hati sobatku yang satu lagi, yaitu Lisa. Meskipun dia selalu bilang dia tidak menyukai Calvin seperti seorang cowok, tapi aku tahu dia sedang berbohong. Yah, antara dia berbohong atau mungkin dia tidak menyadari perasaannya sendiri.

Sebenarnya wajar-wajar saja kalau dia menyukai Calvin. Berdasarkan apa yang kudengar, Lisa sudah mendampingi Calvin semenjak hari pertama dia bangun dari koma dan tidak mengenali siapa-siapa. Ya, si Calvin pernah terlibat kecelakaan hebat dan membuatnya hilang ingatan. Dan di masa-masa Calvin masih plonga-plongo lantaran tidak mengingat apa-apa. selain dari keluarganya sendiri, Lisa yang selalu ada untuknya. Bahkan setelah Calvin keluar dari rumah sakit dan kembali ke kehidupannya, Lisa membantunya dengan pelajaran sekolah sampai anak itu bisa lulus tepat waktu. Sebenarnya, setelah apa yang Lisa lakukan, justru aneh kalau dia bilang dia tidak menyukai Calvin.

Ah, sudahlah. Sebaiknya aku tidak kepo. Biar bagaimanapun, aku sendiri masih jomblo juga, Rasanya aneh mengomentari kehidupan cinta orang lain sementara aku masih belum punya pasangan. Sebenarnya, ada beberapa cowok yang mendekatiku, namun mereka semua hanya berani mengirimku pesan via Instagram dan lainnya dan tidak berani kontak langsung denganku, karena mereka semua terintimidasi oleh abangku, King yang bodinya segede gorila. Orang itu memang penggiat olahraga dan bela diri, dan aku tidak pernah tahu kenapa, dia hobi berolahraga di tengah terik matahari. Katanya itu membuat dia semakin semangat, tapi yang kulihat adalah itu hanya membuat kulitnya semakin hitam.

Aku meninggalkan kedua orang itu yang sedang tenggelam dalam dunia mereka sendiri dan pergi ke toilet untuk menata riasanku. 

Awalnya semuanya terasa normal-normal saja, namun beberapa saat kemudian, terdengar suara ledakan yang cukup keras dan teriakan kepanikan yang langsung menyusul. 

Aku baru keluar dari bilik kamar mandi dan hendak keluar dari toilet itu, namun seseorang menarikku dari belakang sambil membekapku dengan kain yang kuyakini sudah dilumuri obat bius. Aku berusaha melawan, tentu saja, dan membuat orang yang membekapku itu, entah cowok atau cewek, kelabakan. Namun dia tidak melepaskan tangannya dari potongan kain itu dan terus membiusku. 

Ah, sial. Aku tidak boleh pingsan. Entah apa yang sedang terjadi sekarang ini. Kalau aku pingsan, bisa jadi inilah akhir riwayatku. 

Aku terus berusaha melawan dan melawan, namun pada akhirnya, aku tetap kehilangan kesadaranku. 

Entah berapa lama aku pingsan, namun saat aku membuka mataku, rasanya aku sedang melayang. Awalnya kupikir aku sedang mati atau apa, tapi rupanya aku sedang digantung dengan tali pada tiang penyangga untuk proyektor. Aku melihat sekeliling, dan menyadari aku masih berada di lingkungan kampus, lebih tepatnya di dalam sebuah ruangan kelas.

Sial. Siapapun yang menculikku, orang itu pasti bodoh sekali. Tiang penyangga proyektor itu kan tidak kuat-kuat banget, lantaran biasa hanya digunakan untuk menyangga proyektor yang mungkin beratnya tidak sampai lima kilogram. Berat badanku setidaknya sepuluh kali lebih berat dibandingkan itu. Berapa lama benda itu bisa menahanku agar tidak jatuh dan membentur wajahku sendiri hingga hancur? 

Omong-omong, sebenarnya apa yang sedang terjadi? Kenapa kampus kami tiba-tiba menjadi tempat penyerangan begini? Dan yang lebih penting lagi, kenapa aku yang diculik? Memangnya aku terlibat dalam konflik entah apapun ini? 

Kepalaku rasanya sakit sekali, dan pandanganku rasanya berkunang-kunang. Yah, meskipun begitu, aku tetap harus berusaha melepaskan diri dari tempat ini. 

Aku mendongakkan kepala saat mendengar perkelahian dari luar ruanganku. Tidak terdengar percakapan apa-apa, yang ada hanya suara teriakan dan erangan kesakitan dimana-mana. Entah siapapun yang sedang bertempur di luar sana, tapi aku berharap salah satu dari mereka datang untuk menolongku. 

Tapi tentu saja aku tidak ingin tergantung pada orang lain hanya menunggu bantuan. Dengan hati-hati, aku mengambil pisau cukur yang kusimpan di gaunku (jangan tanya bagaimana caranya) dan mulai memotong tali itu. Ya, aku tahu resikonya, yaitu aku akan jatuh dengan membentur langsung ke lantai, tapi akan kuusahakan agar aku tidak mendarat dengan wajahku. Kalau benar-benar itu yang terjadi, bisa-bisa wajahku jadi bonyok. 

Pertempuran di luar sana belum juga selesai, malah terdengar lebih intens saja. Aku sendiri juga hampir selesai dengan perjuanganku di sini. Di saat aku sedang bersusah payah, tiba-tiba saja seseorang mendobrak masuk dan menghancurkan pintu ruangan itu seraya menendang dan menggebuki beberapa lawannya. Aku shock setengah mati, dan aku lebih shock lagi saat melihat bahwa orang yang sedang bertempur melawan segerombolan orang lainnya yang kurasa adalah kaki tangan dari pelaku kekacauan ini, adalah Kei. 

Yang benar saja. Kei kan biasanya cemen banget. Dan kabarnya dia juga nggak hobi olahraga sehingga badannya letoy banget. Kenapa sekarang dia melawan orang-orang ini seolah-olah dia sudah terbiasa terlibat dalam perkelahian jalanan seumur hidupnya? 

Di saat aku masih terbengong-bengong, Kei tampak shock melihatku. "Lah, Queen. Lo udah sadar?" Aku tidak menjawabnya karena dia sudah sibuk dikerubungi oleh preman-preman itu layaknya permen yang dikerubungi semut. Mau sehebat apapun, dia tetap tidak bisa melawan orang sebanyak ini. Aku harus cepat-cepat membantunya. 

Gerakan tanganku semakin cepat dan membuat tiang penyangga yang tidak kuat itu semakin tidak kuat, sebelum akhirnya aku terjatuh. Aku tahu aku sempat memekik lantaran mengira aku akan gegar otak atau sejenisnya, namun ternyata aku tidak terluka lantaran tubuhku tidak membentur keramik yang keras banget itu. Saat aku membuka mataku, kusadari Kei menjadikan dirinya sebagai pelindung dan menyambutku. "Buset. Kepala lo keras banget, bro," keluhnya. 

Aku langsung memelototinya. "Kepala lo, kali. Fokus, woy. Lawan-lawan kita masih banyak." 

Kei menurutiku dan kembali fokus pada lawan-lawan kami. Setelah beberapa waktu, meskipun kewalahan, kami akhirnya berhasil mengalahkan mereka meskipun terluka sana-sini. 

"Lo nggak apa-apa?" tanya Kei dengan suara yang lembut dan perhatian, namun juga tegas dan bisa diandalkan. Padahal kan biasanya suara Kei terdengar tengil luar biasa. 

"Kok tahu-tahu lo bisa berantem?" tanyaku. 

Dia terdiam sebentar. "Kalian kan nggak pernah nanya." 

Aku ingin membantahnya, tapi dia benar. Kami belum pernah secara spesifik menanyainya apakah bisa bela diri, tapi kami kan sudah menyinggung soal itu entah sudah berapa kali. Tidak puas dengan jawaban sependek itu, aku langsung menginterogasi Kei di tempat. Ternyata, anak itu bisa bela diri dari kecil. Dan bukan hanya itu. Ternyata dia juga mendaftar kuliah di luar negeri jurusan psikologi. Itulah alasan kenapa dia sering absen kuliah di sini. 

Interogasi itu tidak berlangsung lama, karena ini bukan tempat maupun saat yang tepat. Maksudku, kami sedang berada di tengah-tengah pertempuran entah siapa melawan siapa. Kalau kami mau selamat, ada baiknya kami cepat-cepat pergi dari sini. 

Bersama teman-teman kami yang lain, pastinya. Kei tersenyum saat melihatku bertekad mencari teman-teman kami sebelum pergi dari sini, dan aku tahu senyuman itu pertanda dia juga setuju. 

Di saat kami baru mulai bergerak, tahu-tahu saja Kei yang berjalan di depanku mendapat serangan berupa pisau yang dilempar dari jauh. Pisau itu menancap di bahunya, membuat Kei lumpuh seketika.

"Kei!" 

Aku langsung memapah Kei kemudian melirik ke arah orang yang melempar pisau itu. 

Ada seorang cowok yang penampilannya agak berbeda dengan preman-preman yang lainnya, membuatku merasa mungkin dia pemimpin geng atau semacamnya. Saat aku memelototinya, preman-preman bawahannya yang jumlahnya tidak kalah banyaknya dari yang sebelumnya sedang berlari ke arah kami. 

"Gue nggak apa-apa," kata Kei dengan suara terbata-bata. Jelas dia sedang berbohong. Kalau dia baik-baik saja, tidak mungkin separuh badannya langsung lumpuh begitu. Aku menyobek sebagian kecil dari gaunku dan membalut potongan kain itu ke luka Kei, membuat pakaian yang sedang kukenakan semakin minim saja. Tapi itu bukan hal yang penting sekarang. Yang penting Kei bisa selamat. 

Tanpa kusadari, aku menangis. "Kei, please. Jangan tinggalin gue." 

Sialnya. mendengar itu, Kei malah semakin tergoda untuk pingsan beneran. Dia kemudian mencabut pisau yang masih menancap itu dan menyerahkan benda penuh darah itu padaku. "Ini. Ambil. Pake sebaiknya buat melindungi diri." 

Tanganku bergetar saat menerima benda itu, namun Kei benar. Pertempuran sudah di depan mata, dan aku bukan hanya harus mampu membela diriku sendiri, namaun aku juga harus mengalahkan mereka secepatnya supaya dapat mengeluarkan Kei dari tempat ini dan membawanya ke dokter. 

Aku tahu aku tidak sekuat orang-orang ini. Secara tenaga, aku pasti kalah. Tapi aku tetap berjuang, karena kekalahan bukanlah opsi untuk hari ini. Aku menjadikan diriku sendiri sebagai benteng untuk melindungi Kei yang ada di belakangku, dan meskipun kurasa aku berhasil melakukannya dengan baik, ada beberapa dari mereka yang berhasil melewatiku. Syukurlah Kei masih bisa menggerakkan kakinya dan menendangi orang-orang yang berusaha mendekatinya. 

Awalnya aku bisa menguasain keadaan, namun lama-lama tenagaku rasanya berkurang. Pertahananku tidak sebagus tadi dan aku mulai kelabakan. Tanpa kusadari, tiba-tiba Kei berdiri sambil menggapai sebuah senjata berupa tongkat besi. Dia menggunakannya untuk menghajar orang-orang yang menggerubungiku, kemudian saat senjatanya direbut, entah apa yang sedang dipikirkannya, Kei malah menerjang ke arah orang itu, menabrak dinding teralis, dan membuat mereka berdua jatuh ke lantai satu di bawah kami. 

Aku meneriaki nama Kei sekali lagi. Dasar bodoh. Anak itu kan sudah terluka hebat. Kalau jatuh dari ketinggian begini, bisa jadi dia kehilangan darah lebih banyak lagi. Aku langsung berlari menuju tangga untuk turun ke bawah saat aku mendengar seseorang memanggil nama Kei. 

"Kei!" Itu suara... Calvin? 

Saat aku turun, Calvin sudah mendekati Kei yang sudah tidak sadarkan diri. Aku sudah sempat panik, namun untungnya Brandon, yang entah bagaimana caranya ada di tempat ini, memeriksa kondisinya. 

"Dia nggak apa-apa. Dia kehilangan banyak darah, tapi dia akan baik-baik saja," ucap Brandon. 

"Beneran?" Aku menyadari aku menangis lagi. Brandon mengangguk, membuatku yakin. 

"Kalo gitu kalian harus cepat keluar dari sini dan bawa dia ke rumah sakit," kata Calvin. 

Aku baru sempat memperhatikan kondisi Calvin. Penampilannya sekarang seolah-olah dia baru selesai berendam di kolam darah atau sejenisnya, karena terlihat bekas darah mengalir dari atas kepalanya sampai ke wajahnya, kemudian juga menodai pakaiannya. Selain itu, dia juga terluka kiri-kanan di sekujur tubuhnya. 

Sementara Brandon, sekali lagi, entah bagaimana caranya ada di tempat ini. Mungkin dia mengikuti acara Halloween keparat itu dan ikut terjebak di sini. Dia masih tampak segar bugar, tidak seperti kami yang sudah terluka, namun saat ini wajahnya tampak tegang dan keras, membuat perasaan takutku saat pertama kali bertemu dengannya muncul lagi. Begini-begini, Brandon punya tampang yang agak-agak mafia. Apalagi sekarang dia sedang mengenakan brass-knuckles di kedua tangannya, ditambah dengan dua tongkat baton yang dia simpan di pinggangnya. 

Tapi aneh. Kenapa dari tadi aku hanya menemukan orang-orang yang kukenal? Apa keseluruhan insiden ini berkaitan dengan salah satu dari kami?

"Brandon. Bisa bawa mereka keluar dari sini?" pinta Calvin kepada Brandon. 

Brandon menatap Calvin lama. "Aku nggak bakal kemana-mana tanpa Lisa." 

Lisa? Apa hubungannya dengan Lisa? 

"Aku sumpah bakalan selamatin Lisa, Brandon. Tapi sekarang aku butuh kamu untuk bawa mereka berdua keluar dari sini, sekaligus King yang sekarang ada di gedung A," ucap Calvin dengan segenap hati. "Ini perangku. Harus aku yang mengakhirinya." 

Brandon masih terlihat ragu, jadi aku menambahkan, "Kei nggak bakal selamat kalau kita nggak bawa dia keluar dari sini secepatnya, Brandon." 

Sebenarnya aku bingung sekali mengenai keseluruhan situasi ini, kenapa Brandon tampak peduli sekali dengan Lisa, kenapa Calvin mengatakan bahwa dia yang harus mengakhiri ini. Tapi berhubung sikon sedang genting, aku menyimpan pertanyaanku dalam-dalam. 

Aku harus membawa Kei ke dokter secepatnya, dan aku juga khawatir pada keadaan King. 

Brandon akhirnya mengangguk. "Oke." Dia lalu menatap Brandon tajam. "Kamu harus selamatin Lisa." 

Calvin balas mengangguk. "Oke, kalian harus pergi sekarang."

Aku dan Brandon kemudian memapah Kei yang benar-benar sudah tidak sadarkan diri dengan susah payah. Brandon sempat mengatakan bahwa kami harus siap siaga, karena akan ada yang datang untuk melawan kami lagi. Aku hanya mengiyakan tanpa banyak tanya, tapi syukurlah, sampai kami sampai di gedung A, tidak ada orang yang mencari masalah dengan kami.

Aku berteriak saat seseorang terjatuh dari lantai atas ke lantai dasar, tepat di sebelahku. Sorry, bukan satu orang, melainkan dua orang, dan salah satunya adalah King yang mendarat dengan posisi di atas sehingga tubuhnya tidak terbentur.

"King!" Aku berteriak. King terlihat baru mengalami pertempuran sekelas film The Raid atau semacamnya, karena badannya yang kini sudah tidak mengenakan baju lagi tergores sana sini, dan wajahnya sebelah kiri juga tersabet cukup panjang. Meskipun begitu, dia tampak bengis dan sanggup menghajar satu kelompok geng motor.

"Queen!" seru King. "Lo nggak apa-apa?"

"Luka ringan doang," kataku. "Anak ini yang parah banget. Ketusuk pisau, mana dalam banget lagi lukanya."

"Berarti kita harus bawa dia ke rumah sakit secepatnya," kata King.

"Memang itu rencananya," sahut Brandon. "Ayo, kita harus cepat."

"Kok lo bisa ada di sini, Brandon?" tanya King sambil membantu Brandon membawa Kei.

"Buat nyari Lisa. Dia udah ngilang seharian."

"Katanya dia lagi gak enak badan," ucapku.

"Atau pertanyaan yang lebih besar lagi, kok lo peduli banget Lisa udah ngilang seharian?"

"Ya jelas peduli. Dia kan adikku," jawab Brandon.

Aku dan King sama-sama ternganga. "HAH?"

Brandon terdiam sebentar, seperti hendak menjelaskan sesuatu, lalu berubah pikiran. "Ceritanya panjang. Ntar aja aku ceritain kalau kita udah selamat."

Buset, seumur-umur aku tidak pernah mengira Brandon adalah kakak Lisa. Tapi tidak masuk akal. Kenapa Brandon maupun Lisa tidak pernah mengatakan ini sebelumnya?

Aku dan King akhirnya tidak banyak omong karena saat ini ada hal yang lebih urgent, yaitu keluar dari tempat ini secepatnya. Brandon menemukan sebuah truk yang entah bagaimana caranya ada di lingkungan kampus ini, dan kemudian melakukan trik sulap atau sejenisnya sehingga dapat menyalakan kendaraan itu tanpa menggunakan kunci.

Lapangan parkir saat ini masih penuh dengan kendaraan-kendaraan milik mahasiswa-mahasiswi yang datang untuk berpesta, dan sepertinya mereka lupa membawa kendaraan mereka pergi saking kagetnya saat tiba-tiba terjadi kekacauan di seluruh kampus. Sampai sekarang aku masih bingung, kemana perginya semua anak-anak itu dan kenapa sampai sekarang ini belum ada polisi yang mendobrak masuk ke kampus ini untuk menolong kami? Begini-begini, kampus kami kan terkenal. Terorisme selevel ini sudah pasti akan masuk berita, setidaknya berita setingkat provinsi. 

Saat Calvin mengemudikan truk itu, dia tidak pandang bulu lagi. Dia menginjak gas sekencang mungkin, tidak peduli ada banyak mobil yang tergores ataupun terlindas. Sepertinya prioritasnya saat ini adalah mengeluarkan kami dari sini. Saat berhadapan dengan gerbang pun dia tidak berhenti sama sekali untuk sekedar mencoba membuka gerbangnya. Dia langsung mendobrak gerbang itu seolah-olah benda itu tidak ada harganya.

Untungnya, di sisi lainnya dari gerbang itu, sudah ada beberapa mobil polisi dan ambulans yang sedang menunggu kedatangan kami. Aku ingin meneriaki mereka dan mengatakan bahwa mereka harus secepatnya masuk ke dalam, tapi kemudian aku melihat salah seorang polisi yang atributnya agak berbeda sedang sibuk berbicara dengan Brandon, seolah-olah mereka sedang membahas rahasia negara.

Kei segera dibawa oleh paramedis untuk diberi pertolongan pertama sebelum akhirnya dibawa ke rumah sakit. Sementara itu, aku dan King juga mendapat perawatan atas luka-luka kami.

Kesimpulannya adalah, aku, King, dan Kei berhasil selamat dari pembantaian di kampus ini. Sekarang aku hanya berharap agar teman-teman kami yang lainnya, yaitu Calvin, Lidya, dan Lisa juga bisa selamat.