webnovel

Keajaiban untuk Hati

Aku berencana menjalani hidup dengan tidak mencintai siapapun, tapi hidup hampir tidak pernah berjalan sesuai rencana. Aku yang tidak ingin mencintai malah berakhir menjadi seseorang yang tidak bisa berhenti mencintainya dan semakin mencintainya, mencintai dia yang selalu mematahkan hatiku secara berulang. Ironis. Aku yang biasanya dingin, hidup dengan wajah datar tanpa ekspresi, tidak terpengaruh atau tersentuh oleh apapun, dan tidak pernah memberi makna untuk peristiwa tertentu dalam hidup, pada akhirnya berakhir menjadi perempuan bodoh yang mencintainya hingga kehilangan akal sehat juga diriku sendiri. Ryan Idroes, pria bodoh itu selalu mampu mencabik-cabik hatiku tanpa melakukan apapun. Aku tidak pernah mendapat perlakuan seburuk ini, bahkan pria yang nyaris sempurna seperti Reza Pratama Harun, menantu idaman bunda, tidak pernah menyeretku hingga ke dasar, apalagi membuatku membumi dan jatuh ke tanah. Tapi, Ryan sungguh membuatku terkubur dalam lubang penderitaan terdalam. Setelah 10 tahun menetap di Inggris, Ryan Idroes kembali tanpa perasaan bersalah. Ah, dia tidak kembali padaku sebagai kekasih, sejak awal tidak pernah ada hubungan seperti itu di antara kami. Baginya, aku hanya adik perempuan merepotkan yang sering mengusik hari-harinya dulu. Untukku, dia adalah seseorang yang selalu aku cintai dalam diam, dalam jarak, dan dalam do'a yang diam-diam kulangitkan saat perasaan cinta itu terlalu menusuk. Meskipun dia kembali, semuanya telah berubah. Bagaimana mungkin aku mengharapkannya masih sendiri, ketika selalu ada wanita cantik seperti Anne Kumala untuk setiap pemeran utama pria sepertinya. Dan, tentu saja, aku patah hati untuk kesekian kalinya. Di tengah kemelut hati, aku bertemu dengan sahabat Ryan Idroes, Hanan Mikail, pria menyebalkan yang tiba-tiba melabeliku sebagai "Future Wife". Tapi bagaimana mungkin label itu menjadi kenyataan ketika sudah ada pemeran utama wanita dalam hidupnya, Bella Puteri Irsyad, wanita yang sangat cantik dan nyaris sempurna. Bagaimana mungkin aku tidak bersimpati pada Bella, ketika dia terlihat persis sepertiku; mengharapkan cinta yang hampir mustahil mendapat balasan. Penderitaan Bella mungkin tidak lebih sedikit dariku hingga sanggup menukar seluruh hidup hanya untuk sebuah kalimat sederhana, "Aku juga mencintaimu". Jika keajaiban itu benar-benar ada, aku juga tidak keberatan menukar seluruh hidupku untuk cintanya, atau sekedar sedikit lebih lama menetap dalam hatinya, atau sekedar mendengar kalimat yang lebih sederhana, "Sesekali, aku akan merindukanmu".

Aula_Lee · Teenager
Zu wenig Bewertungen
132 Chs

The Real Cassanova

Tidak seperti biasa, sore ini dia tidak terlalu menyulitkan. Dia bersikap lebih baik, tidak menyebalkan seperti sebelumnya.

Jika dia bisa mempertahankan sikap baiknya, aku juga akan tulus peduli padanya.

"Udah minum obat ?", tanyaku.

"Belum lagi. I tunggu you datang lama sangat", sahutnya.

Aku tidak menanggapi perkataannya dan fokus menikmati makanan. Satu kata yang keluar dari mulutku bisa saja merusak suasana hatinya; aku memilih diam, tidak ingin mengacaukan kedamaian dan ketenangan ini.

Menjaga mood-nya agar tetap bagus adalah suatu keharusan. Jika tidak, dia akan kembali menjadi manusia menyebalkan yang dapat menyulitkanku.

"Ara, are you busy ?", tanyanya tiba-tiba.

"Kenapa ?", jawabku usai mengunyah makanan.

Dia tidak langsung menjawabku dan kembali melanjutkan makan. Sejenak suasana menjadi senyap tanpa obrolan, hanya ada suara sendok dan garpu yang saling beradu dengan piring.

Seorang asisten rumah tangga yang mengantar obat, memecah kebisuan. Dia hanya melirik obat yang baru saja ditinggalkan di atas meja.

Aku sudah sangat hafal dengan isyarat itu. Aku langsung meraih obat dan membukanya, lalu memberikan satu per satu padanya.

Tidak ada yang bisa aku lakukan selain menurutinya. Aku akan bertanggungjawab sampai akhir, meski sekarang aku lebih mirip perawat daripada turis. Tapi, tidak masalah selama itu cukup untuk balas budi.

"Ara pernah ada boyfriend ?", tanyanya tiba-tiba.

"Ada, pernah", jawabku dengan kesungguhan.

"Really, boleh percaya keh ?", tanyanya yang meragukan jawabanku.

Aku menatapnya sekilas, lalu kembali fokus pada makanan. Aku tidak mengulang jawabanku, meski ingin meyakininya.

Setelah dipikir lagi, semua akan berakhir sia-sia. Apapun keyakinannya tidak ada kaitan denganku.

Kepercayaan darinya tidak mempengaruhi apapun, aku juga tidak membutuhkannya.

Memaksakan kebohongan menjadi kebenaran bukan hal yang sederhana. Tentu saja, membutuhkan pengorbanan.

Aku tidak ingin mengorbankan apapun untuk menyakininya. Dia juga bukan orang yang mudah dibodohi.

Jika ingin membodohinya, aku harus menggali dengan kesungguhan. Sehingga, dia juga akan berhenti menyerangku dengan berbagai omong kosong.

Saat ini, mungkin aku harus bersabar menghadapi semua kata nonsense-nya sedikit lebih lama.

"I wanna marry you", lanjutnya.

"Cut it out", jawabku datar tanpa mengangkat wajah karena mulai terbiasa dengan ucapan sejenis itu.

Hanan hanya tertawa mendengar jawabanku. Sungguh ironis, sesuatu yang seharusnya serius berakhir menjadi sebuah lelucon.

Sesuatu yang sulit diucapkan oleh laki-laki lain, bagaimana bisa dia mengatakannya dengan begitu mudah.

Mungkin seperti itulah wujud dari "the real cassanova".