webnovel

Persiapan Lamaran

Radinka mengajak Fatimah mencari dress untuk acara pertunangan mereka. Dia sudah sampai di rumah Fatimah dan sedang berbincang dengan Pak Fadil.

"Kapan rencananya kamu dan keluarga datang kemari, Radinka?" tanya Pak Fadil, Ig in memastikan jika Radinka serius tidak dengan Fatimah.

"Rencananya minggu depan, Ayah. Tanggal pastinya akan secepatnya dikabari," jawab Radinka, dengan sopan.

"Baiklah, Ayah tunggu kabar baik darimu." Pak Fadil berharap pada Radinka.

Terlihat Fatimah turut bergabung di ruang tamu dan duduk di sebelah Radinka.

"Yuk!" seru Fatimah.

"Kamu sudah tidak apa-apa, Fat?" tanya Pak Fadil memastikan kondisi putrinya.

Fatimah mengangguk pasti pada sang ayah. "Aku baik-baik saja, Ayah."

"Memangnya kamu kenapa?" tanya Radinka tak mengerti.

"Kemarin--"

"Ayah." Fatimah memotong ucapan Pak Fadil dengan cepat, seraya memberi kode untuk tidak melanjutkan kalimatnya.

Radinka pun hanya tersenyum, mengetahui kekasihnya tidak mau membicarakan tentang hal yang terjadi kemarin.

"Aku dan Fatimah pergi dulu ya, Ayah." Radinka bangkit dan berpamitan. "Oh, iya. Dimana Ibu? Aku tidak melihatnya sejak tadi."

"Sedang ke warung. Sepertinya kebablasan mengobrol sama ibu-ibu komplek," kekeh Pak Fadil.

"Aku pergi dulu, Yah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam," sahut Pak Fadil.

***

Di dalam mobil Radinka, Fatimah hanya diam. Begitupun Radinka yang tak tahu harus mengobrol apa. Dia melirik kekasihnya yang hanya menatap kosong ke jalanan di depannya.

"Kamu kenapa?" Akhirnya kalimat pertanyaan dilontarkan oleh Radinka.

"Aku tidak apa-apa," jawab Fatimah dengan tersenyum melirik sekilas.

"Apa yang terjadi kemarin?" Pertanyaan kedua Radinka membuat Fatimah memainkan jemarinya.

"Kamu tidak mau menceritakannya padaku?" tanya Radinka lagi. "Baiklah, aku tidak akan memaksa."

"Maaf, aku tidak bermaksud menyembunyikan sesuatu darimu." Fatimah menghembuskan napasnya. "Kemarin aku sedang bersama Syahnaz di pusat perbelanjaan. Kamu tidak sengaja bertemu Adnan dan Naura ...." Fatimah menoleh pada Radinka memastikan pacarnya itu tak marah, dan Radinka terlihat tidak bereaksi.

"Naura mengalami pendarahan. Aku membantu Adnan membawanya ke rumah sakit," lanjut Fatimah.

"Apa dia baik-baik saja?"

Sebuah pertanyaan tak terduga dari mulut Radinka. Dia sama sekali tidak mempermasalahkan Fatimah yang membantu mantan kekasihnya, melainkan mengkhawatirkan istri saudara tirinya itu.

Fatimah menggeleng pelan. "Aku tidak tahu bagaimana keadaannya, Dinka. Karena aku buru-buru pergi ... napasku terasa sesak sekali. Aku tidak bisa masuk rumah sakit, hanya melihat saja kepalaku terasa begitu sakit. Aku buru-buru keluar dari sana dan hampir terjatuh, untung ada Syahnaz."

"Apa seperti saat kamu mendengar sirine ambulans?" Radinka ingat sekali bagaimana Fatimah merasa ketakutan saat mendengar sirine ambulans.

Fatimah mengangguk. "Aku tidak tahu kenapa. Ambulans, rumah sakit, kecelakaan ... membuatku benar-benar ketakutan. Bayangan-bayangan mengerikan menghantuiku."

"Apa kamu mempunyai trauma?"

"Aku tidak tahu, Radinka. Jujur, aku sendiri tidak ingat kenangan masa kecilku."

Radinka menatap Fatimah sebentar dengan alis berkerut. "Bagaimana bisa?"

"Entahlah ... mungkin aku pernah terbentur atau semacamnya?" Fatimah malah tak yakin, kenapa dia tidak bisa mengingat masa kecilnya.

Mobil Radinka sampai di parkiran butik. Dia dan Fatimah pun turun, kemudian memasuki butik untuk memilih gaun. Acara pertunangannya dengan Fatimah berlangsung minggu depan, sepertinya tak akan cukup waktu jika memesan yang baru. Akhirnya, Radinka dan Fatimah memilih gaun dan tuxedo yang sudah tersedia untuk dicoba.

Pilihan Elnara jatuh pada dress lace panjang berwarna baby pink, dia juga memilih jilbab dengan warna senada. Sedangkan Radinka memilih tuxedo berwarna navy.

"Radinka, padahal ini cuma pertunangan. Bukankah ini sedikit berlebihan?" tanya Elnara, berbisik.

"Karena kamu istimewa, Fat. Aku akan melakukan hal terbaik untukmu," ucap Radinka tulus.

Fatimah pun tersenyum. "Terima kasih, Radinka."

Fatimah mencoba gaun, sedangkan Radinka mencoba tuxedo. Keduanya ke luar ruang ganti setelah berhasil memakainya. Fatimah melihat Radinka dengan tuxedo navynya pun terpana, begitu pula Radinka yang melihat Fatimah dengan dress baby pink dengan jilbab senada.

"Kamu cantik," puji Radinka.

"Kamu juga tampan," balas Fatimah.

Mereka berdua mendapat pujian dari staff butik. Fatimah dan Radinka dipuji sebagai pasangan yang serasi.

Setelah mencoba pakaian mereka, Fatimah dan Radinka pun ke luar dari butik.

"Kamu mau makan?" tawar Radinka.

Saat Fatimah hendak menjawab, perutnya lebih dulu berbunyi. Membuat Fatimah menahan malu.

"Sepertinya perutmu sudah kelaparan," celetuk Radinka, yang membuat Fatimah terkekeh pelan.

"Ayo makan!"

Fatimah pun berjalan mendahului Radinka, sedangkan pria itu hanya tersenyum seraya menggeleng-gelengkan kepalanya.

Entah kenapa Radinka bisa jatuh cinta pada mantan kekasih adik tirinya sendiri. Bagi Radinka, Fatimah berbeda dari wanita lain yang pernah dia jumpai. Radinka tak ingin kehilangan Fatimah.

***

Naura baru saja dipindahkan ke kamar rawat inap, sedangkan bayi yang baru saja dilahirkan masih harus dirawat intensif. Adnan selalu berada di samping istrinya itu, meski dia tidak mencintai Naura, namun tetap saja Naura adalah istri sahnya dan baru saja melahirkan buah hati mereka.

Meski kehamilan Naura terjadi karena jebakan obat perangsang yang Naura beri pada Adnan, tetap saja Adnan tak boleh lepas tanggung jawab. Mereka berdua melakukannya dan akhirnya menyebabkan Naura hamil darah daging Adnan.

"Ad ...," panggil Naura lirih, membangunkan Adnan yang tertidur di sampingnya.

Adnan mengangkat kepalanya dengan mata yang masih terpejam. Dia perlahan membuka matanya yang terasa begitu berat.

"Dimana anak kita?" tanya Naura, karena tak mendapati bayi di sekitarnya.

"Anak kita masih harus dirawat intensif, karena belum waktunya dilahirkan." Adnan memberi pengertian. "Kamu tenang saja, dia anak yang kuat. Sebentar lagi pasti akan bersama kita."

Mendengar 'kita' terlontar dari bibir Adnan, membuat mata Naura berkaca-kaca karena haru. Hatinya menghangat, mungkinkah Adnan sudah bisa menerimanya sebagai istri?

"Kamu mau makan?" tanya Adnan. "Mau aku ambilkan?"

Perhatian Adnan semakin membuat Naura tak bisa membendung air matanya. Naura buru-buru menghapus air matanya yang luruh.

"Naura, kamu kenapa menangis?"

Adnan tidak mengerti kenapa istrinya malah menangis saat ditanya ingin makan atau tidak.

"Aku ... mau ... makan," ujar Naura, terbata-bata.

Adnan pun dengan cepat mengambil makanan untuk Naura. Dia bahkan menyuapkan istrinya makan dengan penuh perhatian. Itu karena Naura baru saja melahirkan, tentu saja dia butuh diperhatikan.

"Sudah, Ad. Aku sudah kenyang," tolak Naura, saat suaminya masih saja menyuapinya meski ia sudah mengatakan untuk berhenti.

"Satu lagi," kata Adnan.

"Kamu mengatakan satu lagi sejak tadi, Ad." Naura memprotes.

Untuk pertama kalinya, Naura melihat Afnan tersenyum. Tidak, bahkan dia tertawa kecil. Mungkin hari ini harus dijadikan hari paling bahagia bagi Naura.

Naura turut tersenyum dan tertawa, hingga akhirnya dia teringat ucapan Adnan mengenai perpisahan setelah Naura melahirkan. Tawa Naura terhenti seketika.

"Adnan ... kamu tidak akan menceraikan aku, kan?"