"Adnan ... kamu tidak akan menceraikan aku, kan?"
Ditanya seperti itu oleh Naura, malah membuat Adnan terdiam. Entahlah, Adnan juga tidak tahu ke depannya rumah tangganya dengan Naura akan seperti apa.
Meski kecewa karena Naura ternyata membohonginya, tapi kenyataan yang terjadi saat ini bayi yang Naura lahirkan memang benar darah dagingnya.
"Adnan," panggil Naura lagi, karena sang suami tidak menjawab pertanyaannya.
"Istirahatlah!"
Bukannya menjawab pertanyaan istrinya, Adnan malah bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar dari ruangan. Dia menutup pintu dan berdiam diri sejenak di depan pintu.
Sedangkan Naura di dalam sana menatap Adnan dengan mata yang mengabur, karena air menggenang di pelupuk matanya.
Pikiran Naura berkecamuk, mungkinkah Adnan akan tetap tega menceraikannya meski sudah ada buah hati di antara mereka? Akan bagaimana nasib anak yang tidak berdosa itu? Anak yang baru saja dilahirkan, apakah akan menjadi anak broken home secepat itu?
Naura menangis tanpa suara, menahan segala sesak di dadanya. Salahnya juga yang mendapatkan Adnan dengan cara yang tak jujur, hingga akhir rumah tangganya berantakan seperti ini.
Namun jika tidak dengan cara itu, Adnan pasti akan tetap bersama Fatimah, dan Naura tidak mau itu terjadi. Naura ingin Adnan menjadi miliknya, hanya untuknya. Ia telah memendam rasa sukanya sejak lama, dan tidak rela Adnan dimiliki oleh wanita lain termasuk Fatimah.
Adnan berjalan menjauh dari kamar rawat inap Naura dengan helaan napas berat. Dia sendiri tidak tahu harus bagaimana setelah ini. Apakah tetap dengan rencana awalnya dan menceraikan Naura? Lalu bagaimana dengan anaknya?
Karena berjalan sambil melamun, Adnan menabrak seseorang dengan jubah putih yang menandakan bahwa ia seorang dokter.
"Maaf ...." Adnan menatap pada orang yang tak sengaja ia tabrak. "Pak Fadil," sapanya.
Ternyata yang ia tabrak adalah ayah dari Fatimah, mantan kekasihnya. Pak Fadil memang berprofesi sebagai dokter, namun siapa sangka jika Afnan malah berpapasan dengan beliau.
"Adnan, bagaimana kabarnya?" tanya Pak Fadil ramah.
Padahal Adnan menyangka Pak Fadil bisa saja bersikap ketus padanya karena telah menyakiti putrinya, namun ternyata Pak Fadil tetap menyapanya dengan baik.
"Baik, Pak." Adnan mencoba tersenyum meski rasanya canggung.
"Syukurlah. Aku dengar istrimu melahirkan, selamat untuk kalian." Pak Fadil memberikan ucapan selamat pada Adnan.
"Apa Pak Fadil tidak marah padaku?" Pertanyaan bodoh baru saja ke luar dari mulut Adnan, dan membuat Pak Fadil terkekeh pelan.
"Untuk apa marah padamu?"
"Karena aku telah menyakiti Fatimah," jawab Adnan polos.
Pak Fadil menghela napas dan tersenyum. "Mungkin kalian memang tidak berjodoh. Fatimah juga sebentar lagi akan dilamar oleh Radinka. Sepertinya aku harus berterima kasih padamu, karena akhirnya Fatimah memiliki pria yang benar-benar menyayangi dan melindunginya."
Ucapan Pak Fadil terdengar seperti sindiran di telinga Adnan, padahal beliau mengucapkan apa adanya tanpa berniat menyindir sama sekali.
"Oh, begitu rupanya." Adnan memaksakan senyumnya sekali lagi. "Aku pamit dulu, Pak." Dia mengangguk sopan, kemudian melewati Pak Fadil.
Sempat memikirkan nasib rumah tangganya bersama Naura, kini Adnan malah memikirkan Fatimah dan Radinka.
"Mereka berdua akan melangsungkan lamaran?" gumam Adnan, seraya terus berjalan.
Hati Afnan masih tidak terima mendengar Fatimah akan dilamar oleh saudara tirinya. Adnan sungguh berharap pria lain yang akan mendampingi Fatimah, jika bisa yang dia tidak kenal. Tapi kenyataannya Fatimah malah akan bersanding dengan Radinka, saudara tiri yang begitu ia benci.
Tanpa sadar tangan Afnan terkepal erat. "Tidak, ini tidak boleh terjadi! Fatimah tidak boleh dilamar oleh Radinka!"
***
Pak Fadil sudah berangkat ke rumah sakit karena ada jadwal operasi, sedangkan Bu Maryam sedang ada arisan bersama teman-temannya.
Fatimah di rumah sendirian tengah menonton televisi, sebelum suara ketukan pintu menganggunya. Suara ketukan itu terus-menerus, bahkan bisa dikatakan begitu tidak sabar untuk minta segera dibukakan.
"Sebentar!"
Fatimah berseru, seraya berjalan menuju pintu depan. Dia berpikir mungkin saja kurir ekspedisi yang hendak mengantarkan paket, namun saat ia membuka pintu malah tamu tak diundang yang berdiri di depan rumahnya.
"Mau apa kamu kesini?" tanya Fatimah, dengan nada tak bersahabat.
"Fatimah ... apa kamu benar akan bertunangan dengan Radinka?" tanya pria yang berdiri di depan Fatimah, yang tak lain adalah Adnan.
"Bukan urusanmu, Ad! Mau apa lagi kamu menemuiku?!"
"Aku akan merelakanmu pada pria manapun, asal jangan Radinka!"
Ucapan Adnan membuat Fatimah melongo, bukan urusan mantan kekasihnya Fatimah akan bertunangan dengan Radinka.
"Jangan saudara tiriku, Fat. Carilah pria lain! Aku tidak rela melihatmu bersama Radinka."
Fatimah melihat Adnan begitu memohon padanya, namun itu sama sekali tak mengubah pendiriannya untuk bertunangan dengan Radinka.
"Maaf, Adnan. Aku tidak pernah melarangmu untuk menikah dengan wanita manapun, termasuk Naura, sahabat dekatku sendiri. Aku akui, aku memang sakit hati, tapi itu dulu. Sekarang aku sudah sembuh dari lukaku dan Radinka yang menyembuhkannya! Jika kamu hanya datang untuk mengacaukan hubunganku dengan Radinka, lebih baik kamu pergi!"
Fatimah berucap panjang lebar, sebelum kemudian mundur beberapa langkah dan menutup pintu. Menyisakan Adnan yang masih berdiri terpaku, menatap pintu yang sudah kembali tertutup.
Katakanlah Adnan sudah gila, jauh-jauh menemui Fatimah hanya untuk mengatakan keberatannnya jika mantan pacarnya itu bertunangan dengan saudara tirinya. Adnan sudah tak waras, meninggalkan istrinya yang baru saja melahirkan di rumah sakit sendirian.
Harusnya Adnan sadar diri, Fatimah juga berhak bahagia bersama pria pilihannya. Entah itu saudara tiri Adnan, atau saudara kandungnya sekalipun. Sudah tidak ada hubungan lagi di antara Adnan dan Fatimah, bahkan Adnan sudah jelas memiliki istri serta anak. Namun pria itu masih saja menganggu hidup Fatimah.
Fatimah masih berdiri di balik pintu yang baru saja ia tutup. Punggungnya disandarkan dan menghela napas berat karena Adnan tak kunjung pergi. Kemudian dia mengintip dari jendela, dan terlihat Adnan berdiri seraya tertunduk.
"Kenapa dia tak kunjung pergi?" gumam Fatimah.
Fatimah kembali berjalan mondar-mandir. Apa dia menelepon Radinka saja? Agar kekasihnya datang dan mengusir Adnan. Tidak! Itu bukan ide bagus, Fatimah tak mau terjadi keributan.
Jika Adnan dan Radinka bertemu, tentu saja bisa terjadi pertengkaran bahkan baku hantam. Fatimah kembali memikirkan cara lain, agar Adnan mau segera pergi. Namun ia tak menemukan cara lainnya, kecuali bicara baik-baik dan meminta Adnan untuk pergi.
Saat Fatimah hendak bicara baik-baik dan meminta Adnan untuk pergi, ternyata pria itu sudah menghilang. Fatimah membuka pintu dan tak menemukan siapapun di sana. Ia menengok ke kanan dan kiri, namun tak ada sosok Adnan.
"Sepertinya dia sudah pergi," lirih Fatimah. "Apa aku yang terlalu lama berpikir?" lanjutnya.