webnovel

Radit Akan Dipromosikan

"Eh, Pak!" panggilnya dengan tangan yang menjulur agar Pak Edi lebih mendekat selangkah padanya.

"Iya, Den Arsya?" Pak Edi pun menghampiri dengan wajah penuh tanya karena Arsya juga menampakkan wajahnya yang tidak bisa diartikan apa maksud dan tujuannya kembali memanggil dirinya.

"Si Radit udah pulang?" Arsya menanyakan adik tirinya yang setahun kemarin sudah lulus strata satu tapi masih mengikuti kursus para Enterpreuneur terdahulu sebelum dia diterima di perusahaan sebagai Direktur utama.

Arsya yang mengajukan persyaratan itu agar Radit, adik tirinya bisa lebih paham sebelum terjun ke lapangan langsung.

Banyak hal yang dipelajarinya, baik marketing, leadership, dan beragam hal yang bisa menjadi daya jual untuk perusahaan ke depannya.

Tak lupa juga, Radit dikursuskan untuk mengetahui update teknologi terkini seperti market place, website, medsos untuk bisnis, desain grafis dan beragam hal lainnya.

"Oh Den Radit, tadi sih teman-temannya datang ke sini dan terus mereka pergi, sampai sekarang kayaknya belum pulang Den Arsya," balas Pak Edi dengan kerut di wajahnya, pertanda mengingat-ingat peristiwa tadi pagi yang berhubungan dengan Radit.

Arsya pun mengangguk-angguk, berterima kasih sudah diberitahu.

Tanpa membalas Pak Edi dan hanya sekadar mengarahkan tangannya agar Pak Edi kembali melanjutkan tugas, Arsya pun juga kembali membalik badannya masuk ke dalam rumah.

Baru saja kakinya diayun, Mina adiknya datang memboyong sepedanya yang dia tuntun sambil memanggil-manggil Arsya dari depan gerbang.

"Kak Arsya!" panggilnya cukup keras dan cempreng.

Arsya menengok dengan kerut di dahinya, mendengar suara cempreng Mina yang sudah seperti mendengar tukang cuanki yang selalu berteriak-teriak, yang menjadi langganan keluarga mereka.

"Kakak kok udah pulang lebih cepet?" tanya Mina setelah menyimpan sepedanya di pos satpam dan sekarang berada di hadapan Arsya sambil menyalami tangan kakaknya itu.

"Semau kakak dong, kan CEO-Nya juga kakak," balas Arsya menyombongkan diri, tapi itu hanya sekedar guyonan yang sering dilontarkan pada Mina. Agar tidak terlalu serius.

"Ya, sombong amat," ledek Mina sembari lehernya dirangkul oleh Arsya berjalan masuk ke dalam rumah.

"Ini bukan sombong, Mina."

"Lalu apa?" wajah Mina mendongak seperti menantang ucapan kakak tirinya barusan.

Arsya tersenyum penuh godaan.

"Ini tuh pede. Dalam dunia bisnis, pede itu sangat diperlukan. Karena kalau tidak, kamu akan mudah dijatuhkan oleh nyinyiran orang. Kalau kamu pede sama percaya pada kemampuanmu, dan merendah serendah rendahnya, maka tidak aka nada yang akan merendahkanmu dan mengata-ngatimu lagi. Oranng udah pede dan rendah hati, ya kan?"

Arsya yang tersenyum-senyum, justru membuat Mina tidak sampai menduga apa maksud dari perkataannya barusan.

"Aneh, pede tapi harus serendah rendahnya. Kakak aneh deh."

"Suatu saat kamu bakal ngerti kok, tenang aja. Nikmatin masa remaja kamu dulu aja sekarangmah."

"Emch," balas Mina sembari mendelikkan matanya. Dicubitnya hidung mancung itu oleh Arsya, dan keduanya cekikikkan bersama sambil masih berjalan menuju kamar mereka. "Ah, Kakak hidungku nanti pesek."

"Pesek gimana ini tuh justru dimancungin."

"Arsya!" suara keras membuyarkan candaan mereka, terdengar di atas tangga.

Keduanya sama-sama menoleh, Arsya pun melepas tangannya dari hidung Mina yang telah membuat adiknya kesusahan bernapas.

"Sana, masuk kamar. Kamu ganti baju deh!" suruh Arsya pada Mina dan dia pun langsung menurut.

Mina tahu kalau orang itu sudah memanggil kakaknya sekeras tadi, berarti sedang ada yang tidak beres di kantor.

Orang itu kemudian turun dari tangga, Arsya hanya berdiri dan menatap langkahnya yang menginjakkan kakinya selangkah demi selangkah ke bawah.

Hendrawan, ayahnya terlihat tidak biasa hari ini.

Mungkin karena Arsya tidak ada di kantor dan memutuskan keluar dari jam sembilan pagi tadi.

"Tadi kamu ke mana? Si Bram terus ngehubungi ayah, katanya handphone kamu dimatiin, dan kamu pergi begitu saja dari kantor. Padahal di kantor semua orang minta keputusan kamu karena ada kerugian yang telah diperbuat oleh karyawan. Kamu sebenarnya niat kerja enggak sih, Arsya?" Hendrawan membentak anak kandungnya sendiri.

Sudah sering Arsya dimarahi oleh ayahnya dan setelah itu ibu tirinya datang dan membela dia seperti sekarang.

Nia datang terbirit-birit untuk mengejar suaminya yang sekarang sudah saling berhadapan dengan Arsya.

"Aku tadi ke kampus, ada mata pelajaran akhir sebelum Thesis," balas Arsya.

"Alasan saja kamu, si Rachel tadi bilang kamu sama si Irwan pergi. Bukannya sudah tidak ada pembahasan lagi dengan si Irwan? Emang ada pembaruan kontrak kerja atau bisnis baru? Enggak, kan?" Hendrawan sudah punya feeling kalau Arsya hanya berusaha lari dari tanggung jawab.

Kinerja Arsya memang selalu bagus, tapi setiap ada kendala di kantor, Arsya selalu banyak menugaskannya pada bawahannya, Bram.

Setelah Nia berada di antara mereka berdua, dia kemudian memegang lengan Arsya.

Mengusapnya dengan lembut, dan selalu mengeluarkan jurus andalannya yaitu membela Arsya meskipun dia salah.

"Pa, Arsya pasti sangat cape. Dia mungkin butuh refreshing sejenak, ya kan, Arsya?"

Arsya hanya diam, dia memalingkan wajah serampangan ke arah yang bisa dia lihat.

"Terus saja kamu bela si Arsya, ini juga bukan yang pertama kalinya. Sudah sering, Nia." Hendrawan menunjuk-nunjuk anak kandungnya sendiri dengan emosi.

Dia sebenarnya tahu kalau kinerja Arsya sedang menurun itu karena dia kembali memikirkan ibunya yang sudah pergi.

Apalagi kalau Arsya sudah terlihat sering keluar malam hanya untuk pergi ke halte bus itu.

Pastinya sudah dijamin akan ada pekerjaan yang Arsya abaikan.

"Iya, tapi kan Arsya juga sambil kuliah Pa. Dia pasti cape. Udah sekarang kamu pergi ke kamar aja, Mama juga udah masak yang enak buat nanti malam sama si Bi Ani. Sekarang Arsya istirahat dulu aja ya," Nia membujuk, dia selalu paling bisa untuk meredakan emosi Arsya sedari dulu.

Tiba-tiba, pintu rumah terbuka. Radit sudah pulang, banyak sekali buku yang dia bawa di lengannya.

Radit memang anak kutu buku yang gaul, dia juga kalau sudah mempelajari sesuatu pastinya dihafalnya dengan fasih.

"Assalamu'alaikum," Radit mengucap salam.

Semua serempak menjawabnya, termasuk Arsya yang sekarang tengah disidang oleh Hendrawan. Melihat suasana yang sudah menegang, Radit sudah tahu apa yang menjadi pokok permasalahannya.

"Wa'alaikumsalam."

"Sini kamu Radit!" Hendrawan memanggilnya sambil menjulurkan tangan, memerintah Radit untuk mendekat ke arahnya.

Dengan lirikan mata, Nia menyuruh anaknya untuk tidak lama-lama menurut pada Hendrawan. Radit juga melihat gerakkan matai bunya itu, lirikan mata yang menandakan suatu perintah tersembunyi.

"Ya, ada apa Yah?" tanyanya heran.

Radit belum tahu pasti mengapa ayahnya memanggilnya saat dia baru saja datang.

Dirangkulnya anak tirinya itu, yang sudah diakui sebagai anaknya sendiri.

"Besok, kamu sudah boleh jadi direktur utama di perusahaan," ucapnya tiba-tiba, senyuman Nia juga tidak bisa dicegah.

Itulah yang diinginkannya, dia ingin Radit yang lebih berkuasa.

Tapi, Radit sungguh mengerti apa yang dirasakan Arsya saat ini.

Radit juga tahu kalau sebenarnya mental Arsya naik turun itu penyebabnya adalah obat yang sering diberikan ibunya pada Arsya.

Awalnya Nia selalu memberikan obat tidur agar Arsya bisa tertidur, karena kalau tidak begitu … Arsya tidak akan tidur sampai pagi hari sudah terbit matahari.

Akibat ibunya pergi, Arsya selalu mimpi buruk dan tidak ingin tidur dan lebih memilih bergadang semalaman.

Nia yang tahu kalau anak tirinya itu stress dia menggunakan situasi sebaik mungkin dan memberikan bantuannya dengan obat-obatan penenang hingga Arsya kecanduan.

Tanpa obat, dia tidak akan bisa tenang.

Sampai pernah Arsya sakau tanpa diketahui oleh Hendrawan, Radit memaksa ibunya untuk membawa Arsya ke dokter dan menghentikan perbuatannya mencekoki Arsya, tapi Nia tidak melakukannya.

Dia kembali menambah dosisnya dan selalu mengajak Arsya ke psikiater gadungan yang akan memberikannya obat palsu dan Radit hanya bungkam, dia tidak berani membocorkan kelakuan ibunya sendiri.

"Yang benar, Yah?" tanya Radit sangat kaget.