webnovel

Mandar Merasa Bersalah

Dedi tanpa rasa bersalah malah tertawa dan tidak menghiraukan ancaman Intan.

"Mandar belum pulang Intan, jadi kita bisa –"

"Cukup Om!" bentak Intan cukup keras karena Dedi semakin menjadi.

Yang mengejutkannya lagi dia hampir ingin membelai wajah Intan.

Intan pun mematikan kompor dan membiarkan sambal itu di wajan.

Intan sudah tidak peduli lagi kalaupun Dedi menyangka dirinya tidak tahu diri, Intan pun segera pergi ke kamar dengan langkah yang dipercepat.

Tapi tidak semudah itu, Dedi menarik pergelangan tangannya dan memeluk Intan secara paksa.

"Lepaskan saya, Om." Intan berontak.

Tapi Dedi semakin mengeratkan pelukannya sembari tertawa-tawa dan berusaha menyosor bibir Intan.

Intan masih terus berontak dan menjauhkan wajahnya dari bibirlelaki buaya itu.

Intan terus berteriak.

"Karin! Karin!" dia memanggail-manggil Karin yang sedang di kamar.

Tapi anaknya tidak kunjung datang.

Mungkin juga Dedi sengaja memperbesar suara televisi agar Intan teriak pun tidak ada yang mendengarnya.

Dedi sudah mengatur itu.

Intan pun tidak kuasa menahan air matanya, sekuat tenaga dia berontak … Dedi akhirnya berhasil mencium pipi Intan.

Hingga tamparan keras mendarat di pipi lelaki itu. Bukan dari Intan, tapi dari anaknya sendiri—Mandar datang dengan istrinya.

Saking tidak terasa, ternyata waktu sudah menunjukkan jam lima lewat lima belas menit. Mandar dan istrinya memang sudah waktunya untuk pulang ke rumah.

Dedi tidak memprediksi hal itu. Dengan cepat dia melepas pelukannya pada Intan, dan memegang pipinya sendiri.

Merasakan denyut perih dan juga perendahan diri karena ditampar oleh anak kandungnya sendiri.

Intan langsung ditarik oleh Asri, jatuh ke pelukan istri temannya itu.

Wajah Mandar begitu emosi pada ayahnya.

Sorot mata tajam dan ritme napas yang naik turun, menggambarkan semuanya.

Semua kekesalan dan juga rasa malu memiliki seorang ayah yang tidak kunjung bertaubat dan malah semakin menjadi saja.

"Mandar sudah tidak peduli lagi sama Bapak, lebih baik Bapak pergi dari sini. Mandar tidak sudi punya ayah yang tidak pernah mau berubah menjadi lebih baik. Seorang mantan narapidana tetap saja tidak akan pernah bisa kembali ke jalan yang lurus. Pergi dari rumah Mandar, Pak! Pergi!" bentak Mandar.

Emosinya meluap-luap tak tertahan.

Dedi melirik Intan yang menangis di pelukan Asri, istri Mandar pun ikut ketakutan dan turut iba pada Intan.

Takut jika mertuanya bertindak yang tidak-tidak dan tidak menerima pengusiran anaknya itu.

Tapi, Dedi tidak menjawab apa pun … dia kemudian pergi dan mengambil jaketnya yang dia taruh di sofa. Karin yang mendengar keributan pun langsung keluar.

"Mama!" Dia berlari dan memeluk Intan.

BRUKKK!

Terdengar suara pintu yang dibanting. Dedi membanting pintu rumah Mandar cukup keras untuk menunjukkan kekesalannya dan dia pun pergi.

Mandar menatap Intan yang masih menangis di pelukkan istrinya.

"Intan, maafkan atas kelancangan ayahku. Sekali lagi maafkan Intan. Aku tidak tahu kalau dia keluar penjara hari ini dan datang ke rumah." Mandar mendekati Intan.

Istrinya—Asri pun menatap suaminya dengan penuh perhatian, dan menganggukkan kepala tanda mengisyarati kalau Intan masih trauma dengan kejadian tadi.

"Intan, aku –"

Mandar sangat kecewa pada ayahnya sendiri, dan masih tidak enak pada Intan.

Namun, Intan tahu kalau semuanya bukanlah salah Mandar. Dia tidak ikut berperan apa pun.

"Kamu tidak perlu minta maaf Man, ini bukan salah kamu. Sekarang aku ingin masuk ke kamar dulu," balas Intan masih dengan linangan air mata dan isak tangisnya.

Asri pun mengantarkan Intan ke kamar, Karin juga ikut menangis dan membuntuti Intan.

Sesudah mereka ke kamar, terdengar pukulan keras ke tembok.

Mandar pasti memukul tembok rumahnya sendiri karena malu oleh perbuatan ayahnya dan juga rasa bersalah karena temannya—Intan menjadi korban pelecehan ayahnya sendiri yang tidak tahu diri itu.

Di kamar, Intan didudukkan oleh Asri. Keduanya duduk saling berhadapan di tepi kasur.

Karin mendekati ibunya, memeluk Intan dan menangis.

"Mama, Mama diapain sama Kakek itu Ma?" tanya Karin dengan tangisannya yang sesenggukan.

"Tidak Sayang, Mama tidak apa-apa," balas Intan.

Asri yang memerhatikan sungguh salut melihatnya.

Intan masih berusaha tegar di hadapan anaknya, dari cara bicara dan sikap Intan saja sudah bisa dapat Asri tebak kalau dia adalah orang baik-baik.

Pantas saja suaminya Mandar juga sangat peduli pada teman sekampungnya ini.

"Intan," panggil Asri sambil mengelus-elus bahu Intan. "Maaf ya, aku juga mewakili suami dan mertuaku. Aku juga sama-sama perempuan, bisa merasakan apa yang kamu rasakan."

"Tidak perlu Mbak Asri, aku tidak apa. Untung kalian cepat datang, kalau enggak entah apa yang sudah terjadi. Aku sangat takut. Tapi apakah Om Dedi akan balik lagi ke sini?" Mata Intan penuh dengan kekhawatiran, Intan takut jika Dedi akan meneror dirinya karena tidak menerima pengusiran yang telah dilakukan ole Mandar, anaknya sendiri.

"Tenang Mbak Intan, tidak akan. Percayalah, dan kabar baiknya Mbak besok bisa langsung tinggal di mess dan sudah diterima kerja, tadi Mandar yang bilang."

Intan semakin menangis, kali ini tangisan keperihannya berjatuhan bersama tangisan haru.

Dia percaya kalau kejadian tadi juga sudah merupakan takdirnya, setidaknya dia juga masih diselamatkan. Intan harus berhati-hati lagi.

Intan kemudian memeluk Asri, walaupun mereka baru kali ini bertemu, sudah ada kedekatan di antara keduanya.

Intan yakin kalau orang sebaik Mandar juga akan dipertemukan dengan orang sebaik Asri.

Mereka pasangan yang cocok, yang juga sudah turut membantu Intan hari ini.

"Terima kasih Mbak Asri, terima kasih."

***

"Lagi-lagi gue harus terlibat dengan kehidupan percintaan si Irwan. Tapi salah gue juga sih, bilangin si Irwan kalau si Salsa udah nikah. Tapi, kalau enggak gituh kasihan juga dia. Walaupun gue jomlo, tapi gue bisa tahu bagaimana perasaan kalutnya si Irwan. Ya … begitulah, cinta memang dalangnya perasaan. Bisa membangkitkan karena jadi obat, bisa juga mematikan, karena jadi racun yang begitu mematikan," celoteh Arsya sembari menyetir mobilnya dan tujuan arahnya sekarang setelah mengobrol dengan Irwan hanya ingin pulang ke rumahnya untuk beristirahat.

Dia hanya ingin sejenak meredakan emosinya yang sedang tidak stabil dengan urusan kantor.

Arsya rasa dengan pulang lebih awal dan menangguhkan urusannya pada Bram itu akan jauh lebih baik.

Di saat situasi seperti ini pun, Arsya selalu tidak mengaktifkan handphonenya agar tidak ada karyawannya yang terus mengadu agar Arsya kembali ke kantor.

Mobil Arsya pun masuk ke pelataran rumah.

Dia turun dari mobilnya dan menutup dengan cepat pintu mobil hitam mengkilat itu.

Segeralah satpam rumah menghampiri dan menagih kunci mobil untuk kemudian diparkirakan ke garasi.

Dia terlalu malas untuk mengembalikkan mobil itu ke rumahnya, butuh yang lebih instan dan agar satpamnya juga bergerak dari tempatnya, tidak duduk mulu di pos.

"Seperti biasa ya Pak Edi," ucapnya sembari memberikan kunci mobil pada lelaki yang lebih tua darinya tapi masih tetap bertubuh kekar itu.

Makanya dia dipilih sebagai satpam pun karena gestur tubuh dan wajahnya cukup menjamin keamanan, membuat maling jadi berpikir ulang untuk menguji penjagaan rumah Arsya yang mewah ini.

Rumah yang membuat semua orang pun tahu, betapa kaya si pemiliknya.

"Siap Den Arsya. Laksanakan!" jawab Pak Edi sangat semangatnya.

Saat Pak Edi ingin masuk ke dalam mobil untuk menjalankan dan memasukkan mobil itu ke garasi, Arsya membalik lagi badannya padahal dia sudah melangkah ingin masuk ke dalam rumah.