Intan tidak sudi.
Pikirnya itu hanya akan membuat lukanya kembali melebar mengingat penghinaan tadi, dan dia juga akan pergi dari rumah Sarah agar Irwan tidak menyusulnya.
Selama Irwan tahu keberadaan Intan, lelaki itu tidak akan menyerah untuk membuat Intan terus bimbang dengan hatinya. Intan sudah cukup terluka, jikalau mereka bisa bersatu pun bagaimana dia bisa hidup di rumah mewah itu dengan mertua yang sama sekali tidak merestui hubungannya dengan anaknya. Seperti ke luar negeri tanpa passport. Illegal.
Intan tidak ingin muluk-muluk, dia hanya ingin pasangan yang bisa menghargai Intan, keluarganya menyetujui dan status mereka tidak berbeda jauh.
Mimpi, pikirnya –Intan bisa menjadi istri orang kaya yang menerima statusnya sebagai single parents. Irwan saja pun, tetap ada penolakan di pihak keluarganya.
Membina rumah tangga bukan hanya Intan dan Irwan saja, tapi keluarga di balik mereka berdua yang juga terlibat.
Intan berjalan sempoyongan di tepi jalanan ibukota. Langkahnya terseret-seret dengan isak tangis yang masih melengking menghiasi jalanan.
Dia tidak peduli dengan orang-orang yang masih aktif beraktifitas dengan hangatnya lampu kota yang terang benderang.
Bahkan kejahatan yang sering beraksi pada perempuan di waktu malam pun sudah tidak bisa menakut-nakuti Intan.
Dia hanya ingin ketenangan sebelum dirinya pulang ke rumah Sarah.
Handphonenya pun sengaja dia Non-Aktifkan agar Irwan tidak bisa menghubunginya dan mengetahui di mana keberadaan Intan.
Sepanjang jalan dia hanya mengingat kembali kebersamaannya dengan Irwan yang harus Intan lupakan dan tutup rapat-rapat.
Esok pagi dia harus bersiap untuk membuka lembaran baru kembali, seperti lembaran baru yang pernah dia buka setelah perceraiannya bersama sang mantan suami.
Di benaknya sekarang hanya ada masa depan anaknya-- Karin yang harus dia perjuangkan agar tidak bernasib sama seperti dirinya.
Karin harus lebih sukses, lebih bahagia dan juga tidak boleh ada lelaki yang melukainya seperti perlakuan sang mantan suaminya, ayah Karin sendiri pada Intan.
Kehidupan Karin harus lebih baik dibanding kedua orang tuanya. Tidak ada kata tidak mungkin, Intan harus bisa dan dia pasti bisa.
Intan sudah cukup berjalan jauh, dia kemudian berhenti di Halte Bus yang sepi. Dia meluapkan kemarahannya pada takdir yang sudah dituliskan Sang Illahi.
Intan meraung-raung, tangisannya meluap, tidak ada orang yang bisa mendengarkan keperihan hati Intan dan suara tangisnya yang cukup keras pun tidak akan ada yang mendengarnya.
Paling beberapa orang dari kejauhan yang bisa melihat kegalauan Intan yang sekarang menelungkupkan wajahnya di balik kedua telapak tangannya yang menutupi tangisan terus saja keluar.
Tapi, Intan tidak sadar kalau di luar Halte Bus … di sebelah kanannya ada orang yang tengah mematung, menatap jalanan dan beberapa lampu yang berkelap kelip menghipnotis lamunannya jauh dari kesadaran.
Lelaki itu tengah mengingat-ingat masa kecilnya bersama sang ibu dulu yang pergi entah ke mana. Tanpa kabar, dan hanya sebuah surat perpisahan saja.
"Maafkan ibu Arsya, ibu harus pergi. Suatu hari nanti jika Alloh masih mengizinkan kita bertemu, pasti akan ada jalannya untuk kamu dan ibu bisa kembali bersama. Patuh sama ayahmu, sekolah yang benar agar kamu sukses kemudian hari," ucap sang ibu di dalam suratnya yang sekarang masih disimpan oleh Arsya berikut beberapa pesan yang diselipkan di sana.
"Ingat, bangun lebih pagi untuk salat subuh. Jangan nonton film hantu, nanti kamu tidak bisa tidur lagi. Tidak akan ada lagi yang bisa memeluk kamu, Arsya … dan yang paling penting, jangan judes sama perempuan." Ibunya memang sangat tahu bagaimana perangai anaknya—Arsya.
Dia susah sekali bangun meskipun sudah memasang alarm. Jika bukan ibunya yang membangunkan, pembelajaran di sekolah pun tidak akan diikutinya karena kesiangan.
Arsya tambahannya dia juga paling tidak bisa tidur kalau dia sudah memberanikan diri menonton film hantu –dan tentunya, ditambah lagi ibunya tidak suka jika Arsya terlalu cuek pada teman-teman perempuannya.
Bahkan satu-satunya teman perempuannya hanyalah Hana.
Seorang perempuan yang sedikit tomboy tapi manis itulah yang selalu berani menggoda Arsya dan juga mengajaknya sekolah dengan menggunakan sepeda.
"Arsya! Ayo berangkat bareng, yuk!" ajaknya setiap pagi. Ibunya selalu senang jika anak tetangganya itu mengajak anak lelakinya. Tapi Arysa selalu menunjukkan respon tidak suka, dan mendengus sebal.
"Apaan sih si Hana, ngajak-ngajak. Aku mau pake mobil, ah. Males pake sepeda," ucap Arsya mengintip dari tirai jendela. Ibunya pasti selalu bisa membujuk Arsya hingga mau tidak mau Arsya juga naik sepeda ke sekolah, akan tetapi beberapa moment jika ayahnya belum berangkat bekerja, Arsya selalu dibela dan akhirnya Arsya pergi ke sekolah naik mobil.
Arsya selalu menjulurkan lidahnya ketika dia menaiki mobil dan Hana yang mengayuh sepeda tersusul olehnya.
Dari kecil, yang selalu dibanggakan oleh Arsya adalah ayahnya karena dia selalu menuruti kemauan Arsya.
Tetapi walaupun begitu, ibunyalah yang selalu ada dan paham betul bagaimana perangainya. Kepergian ibunya yang tanpa sebab membuat Arsya sangat marah.
Dia mempertanyakan. Mengapa? Mengapa ibunya pergi tanpa alasan yang jelas hingga ayahnya memboyong perempuan lain ke rumahnya.
Sempat menyangka kalau ayahnya selingkuh, tapi Arsya lebih percaya perkataan ayahnya yang menyatakan kalau ibunyalah yang selingkuh dan lari tanpa memikirkan tanggung jawab terhadap anaknya.
Arsya sangat dendam, tapi perasaan rindu pada ibunya lebih dominan.
Mendengar seorang perempuan yang menangis, awalnya Arsya mengira dia adalah hantu penunggu Halte.
Tapi, setelah diselidiki ternyata dilihatnya seorang perempuan sedang prustasi. Arsya tidak ingin menganggunya.
Arsya terus saja meminum minuman kaleng yang begitu segar mengalir di tenggorokannya. Menghilangkan dahaga dan juga membuat perasaannya lebih tenang.
Tapi, tangisan Intan membuat fokusnya terganggu. Lamunannya kacau, tidak ada lagi unsur hening yang dapat dia rasakan malam ini.
Arsya yakin kalau perempuan yang tengah dilihatnya pasti sedang galau karena cinta, begitu miris pikirnya.
Untung saja Arsya adalah lelaki yang tangguh –yang tak mudah jatuh cinta apalagi menangis karena cinta.
"Berisik banget sih itu perempuan. Enggak malu apa nangis di dalam Halte? Apa dia gak sadar kalau gue ada di sini?" dengus Arsya. Dia tidak suka mencampuri urusan orang lain, tapi sedari tadi tangisan Intan tidak selesai-selesai.
Sangkaan-sangkaan buruk di kepala Arsya mulai berdatangan. Perempuan itu begitu terlihat kacau, Arsya takut kalau dia nantinya bunuh diri.
Pikir Arsya dia harus memberinya motivasi, walaupun dia sendiri bukanlah orang yang suka diberi wejangan apalagi ketika marah.
Tapi, Arsya harus membuat perempuan itu berhenti menangis.
Masih ada satu minuman kaleng di tangannya yang belum disentuh. Inisiatif Arsya mendekatinya dan menyodorkan minuman kaleng itu, menawarinya agar lebih tenang.
Meskipun ragu, takut dikira orang jahat dan mencoba pendekatan … tapi hati Arsya tetap tergugah untuk mendekat.
Dia jadi teringat Hana yang pernah menangis, curhat padanya.
Hana mencintai seorang laki-laki, tapi si laki-laki itu tidak mencintainya dan lebih memilih temannya yang lebih modis dan girly, berbeda jauh dengan Hana yang tomboy dan jiwa penantang kaum Adam.
"Nih! Minumlah biar seger," ucap Arsya mendekati Intan sambil menyodorkan minuman kaleng tersebut.
Intan mendongak, dia takut jika Arsya adalah orang jahat yang memberinya minuman oplosan yang sudah diberi obat bius dan nanti berniat jahat padanya.
Dia bisa saja merampok, dan parahnya lagi merenggut sesuatu yang lebih vital dari seorang perempuan.
"Maaf, terima kasih tawarannya, Pak," balas Intan berusaha tetap sopan.
Dia ingin langsung pergi, tapi Intan juga takut kalau lelaki yang di hadapannya kini tersinggung.
Dia juga tampak seperti lelaki baik dilihat dari pakaiannya yang rapi dan tidak begajulan.