webnovel

Apa Radit Cocok Jadi Direktur Utama?

"Anehnya sih Pak Arsya selalu non-aktifin handphone kalau dia pergi ke luar," Bu Asma menimpali.

"Tapi setidaknya dia masih bisa diajak kerja sama, enggak seperti Bu Nia yang asal saklek aja kalau ngomong."

"Heem, soalnya kalau atasan cowok masih bisa dirayu." Bu Asma terdengar cekikkikan.

"Kayak saya dong, Bu?" Pak Andre terawa dengan Pak Kevin dan setelah itu Intan tidak mendengar obrolan mereka lagi.

Intan pikir CEO-nya memang aneh, pasti dia orangnya dingin, enggak asik dan berbeda jauh dengan Irwan.

Dia adalah CEO yang disukai semua pegawainya.

Dia sangat ramah dan bisa bercanda juga, jadi para pegawai tidak sungkan padanya tapi tetap segan.

Makanya Intan juga tidak bisa membohongi hatinya sendiri saat itu, Irwan adalah lelaki baik yang sulit Intan tolak.

Dia juga tidak memandang status Intan yang sebagai janda anak satu.

Hanya saja, derajat yang jauh seperti langit dan bumi yang tidak bia bersentuhan membuat takdir mereka juga bersekat.

Ada pembatas yang jika salah satu dari mereka melewatinya maka bersiaplah untuk merasakan sakit dan terbakar sampai mati.

Begitulah peribaratan Intan terhadap hubungannya dengan Irwan, entah kapan Intan akan menadapatkan calon ayah yang baik seperti Irwan untuk Karin.

Setidaknya yang level-nya setara dengan Intan, saling suka dan mendapat restu dari orang tua si lelakinya.

***

"Kak Bram, apa Radit cocok jadi DIrektur utama di sini? Sebenarnya Radit ngerasa belum waktunya deh." Radit terlihat lesu, dia sebenarnya tidak enak dilihat para pegawai yang lain –yang usianya rata-rata di atas lebih tua darinya.

Bram tersenyum, dia bisa menebak sifat Radit.

Dia banyak kurang pedenya, padahal dia terlihat banyak bakat dan akademisnya juga bagus.

Kacamata yang dikenakkan Radit mencirikan dia adalah anak yang IQ-nya tinggi.

Dia juga gampang diatur dan loyalitas terhadap perusahaannya juga terlihat.

Meskipun Radit tidak sedarah dengan Arsya tapi Bram sudah dapat menduga kalau Radit sangat menyayangi Arsya seperti kakaknya sendiri begitupun juga Arsya.

"Tenang, Tuan muda enggak boleh pesimis. Saya percaya kok, kalau ada apa-apa jangan sungkan hubungi saya. Anggap diri Tuan muda sudah berkuasa di sini dan saya ingatkan jangan panggil saya 'Kak' oke? Panggil saja saya Bram karena saya bawahan Tuan muda Radit." Bram memperjelasnya pada Radit.

Tujuan Bram agar Radit memang bersikap layaknya seorang atasan karena bisa-bisa kalau ibunya Radit—Nia yang mendengar Bram dipanggil Kakak oleh seorang Direktur Utama yaitu anaknya sendiri maka nenek sihir itu pasti akan marah pada Bram.

Niat Radit mungkin itu hanya sebutan pada lelaki yang lebih tua darinya tapi untuk ibunya—Nia pasti akan terdengar berbeda.

Radit tersenyum, dia sudah tahu maksud Bram apa. Bahkan Radit juga sudah tahu bagaimana pengaruh ibunya di perusahaan ini.

Dulu, Radit pernah datang bersama ibunya dan reaksi para karyawan di kantor yang tadinya terlihat happy dan bahkan ada yang tertawa langsung ciut seketika setelah melihat kedatangan ibunya.

Yah … radit sudah terbiasa dengan itu.

Radit saja takut jika ibunya melotot, apalagi orang lain –khususnya resiko seorang karyawan pastinya takut dipecat oleh atasannya.

Tiba-tiba Arsya datang sambil tersenyum-senyum.

Ditepuknya punggung Radit yang sedang duduk di meja kebesarannya dan bahkan sudah tertulis nama Radit di meja.

"Wih adik gue udah mau jadi Tuan besar, nih!" Arsya memuji sambil melihat pada Bram.

Bram juga setuju dengan pujian Arsya pada adiknya itu.

"Ah, kakak bisa aja," balas Radit terlihat malu sambil membenarkan kacamatanya.

"Lo pasti bisa, dan gue juga lebih tenang ada lo dan Bram. Gue pamit pergi dulu, Dit. Ada urusan." Arsya tersenyum penuh kemenangan.

Bram hanya menggeleng-gelengkan kepalanya saja dan Radit tampak kebingungan.

"Lha, ke mana?" tanya Radit, tapi kakak tirinya—Arsya tampak tidak peduli dengan pertanyaan adik tirinya yang sudah dia serahkan pada Bram.

Radit menohok pada Bram meminta jawaban.

Tapi Bram lebih memilih mengelak. "Sekarang waktunya kita istirahat, salat, terus makan siang Tuan muda."

Mau tidak mau, Radit pun mengikuti Bram meski dia masih bingung dan pertanyaan di benaknya mengenai kepergian Arsya masih belum dijawab oleh siapa pun.

Arsya berjalan menuju parkiran mobilnya, dia sebenarnya canggung untuk mengikuti rencana Irwan tapi sebagai sahabat yang baik tentunya dia harus membantu kegundahan yang tengah dirasakan Irwan.

Melajukan mobil dan menjauh dari perusahaannya seakan kebebasan tersendiri bagi Arsya.

Dia bukan tidak butuh uang dan tidak ingin memajukan perusahaan yang selama ini mendanai dia kuliah, hanya saja Arsya masih merasa dirinya hampa untuk terus melakukan pekerjaan tak berdasar itu.

Masih ada kekosongan dalam hatinya jika keberadaan dan kebenaran tentang ibunya belum sepenuhnya di ketahui.

Lagi pula, adik tirinya—Radit sudah bisa dia percayai ditambah Bram dan juga Hana yang bisa memegang kendali perusahaan.

Arsya sebenarnya bisa dengan mudah mengatur perusahaan, toh dialah tonggak di atas setelah kewenangan ayahnya.

Namun, yang menjadi perkelahian argument terus menerus adalah tingkah Arsya yang mulai terlihat mempermainkan perusahaan, itulah pandangan ayahnya terhadap dirinya.

Arsya terlihat main-main, tapi kinerjanya sebenarnya baik.

Perusahaan juga merasakan kemajuan dari diangkatnya Arsya sebagai CEO perusahaan, tapi memang beberapa bulan ini ada masalah dan Arsya juga sering dibutuhkan tapi dia menghilang begitu saja hingga ayahnya—Hendrawan sangat geram sekali.

Di saat seperti inilah, Nia semakin mengendalikan Arsya dan selalu menyuruhnyna agar tetap enjoy dan membiarkan Nia mengatur kendali atas perusahaan.

Jadi, secara tidak langsung yang mengatur kebijakan dan mengarahkan alur perusahaan ialah Nia dengan kendali otaknya, ide-ide brilliant-nya berasal dari Arsya.

Arsya memang cuek, tapi dia tidak kejam seperti Nia.

Kebaikan Arsya yang membuat kebijakan seimbang antara perusahaan dan karyawan sama-sama diuntungkanlah yang membuat Nia tidak setuju dengan Arsya.

Nia beranggapan kalau semua karyawan itu budak yang harus tunduk dan patuh pada atasannya, tak peduli mereka kecewa, mereka tidak enak hati atau mereka tidak terima dengan kebijakan baru –Nia akan tetap kekeh dengan aturan yang dia buat agar lebih condong memihak kepentingan dirinya sendiri.

Nia bahkan melatih para atasan untuk tegas secara otoriter, kaum atas tidak boleh berdampingan dengan kaum bawah, posisinya harus tetap sama –yang atas di atas yang bawah tetap di bawah.

Tidak ada kesetaraan demi mencegah perlawanan dari karyawan, Nia tahu kalau semua karyawan akan bertahan meskipun perusahaan sewenang-wenang karena di zaman seperti ini ke mana lagi mereka melamar kerja?

Apalagi perusahaan ini sudah dikenal sekali dan menjadi tempat tujuan para pejuang amplop cokelat yang baru keluar SMA.

"Gue salat di kantor si Irwan aja deh," gumam Arsya sambil menyetir.

***

Intan kemudian pulang ke kamar messnya di belakang sesudah dia memesan mengambil jatah makanan.

Tapi, karena Pak Yaya baik, jatah Intan setiap hari ditambah satu untuk anaknya—Karin.

Mandar sudah menceritakan kondisi temannya itu dan Pak Yaya merasa kasihan, jadinya dia dengan sukarela menambahi Intan jatah makanan dan dia yang akan bertanggung jawab.