webnovel

Litta Tania Adiguna

Intan membuka pintu kamar mess yang cukup luas itu, sudah seperti kontrakan kecil yang bisa dia pakai dengan nyaman dan gratis pula.

"Assalamu'alaikum, Karin?" Intan melihat-lihat ruangan, dia kira Karin tidak ada tapi ternyata anak satu-satunya itu sedang tertidur.

Intan menyimpan makanannya di teras, dan membangunkan anaknya. "Karin, bangun Sayang! Karin?"

Tak lama, Karin pun bangun dan mengucek matanya sambil membenahi diri dan duduk.

"Mama udah pulang?" tanya Karin masih dengan hawa-hawa kantuknya.

"Belum," jawab Intan sambil menggelengkan kepala, "Mama istirahat. Mama bawain makan buat Karin, pasti lapar ya? Yuk kita makan dulu, nanti kita salat bareng. Salatnya di sini aja ya, enggak perlu ke musola depan."

Intan membuka kedua bungkus nasi itu dan dialasi dengan kantung keresek yang sudah dia sobek barusan.

Intan belum berani memakai piring-piring plastik yang ada di dapur karena belum dicuci, jadi seadanya dulu. Saat Karin mau mengambil makanan, Intan mencegatnya.

"Eits, cuci tangan dulu, cuci muka juga."

Karin mengeringai. "Hehe, lupa. Abisnya Karin laper, Ma sampai Karin tadi tidur karena nahan perut Karin yang sakit.

Hati Intan teriris mendengarnya. 'Ya Alloh, kasihan sekali anakku. Masih kecil dia harus hidup susah seperti ini, semoga saja pekerjaan baruku ini bisa menghidupi kami berdua. Aamiin,' doa Intan dalam hati.

"Iya, tapi enggak boleh sampai lupa cuci muka sama cuci tangan dong. Cuci di keran luar, ya!" Intan menyuruh Karin untuk terlebih dahulu membersihkan dirinya dan kebetuan ada keran air di luar, jadi untuk hanya mencuci wajah dan tangan tidak perlu ke toilet umum di depan.

"Iya, Ma," balas Karin seraya pergi ke luar.

Tak terasa, air mata Intan pun terjatuh. Segera ia seka agar Karin tidak melihatnya.

Karin pun datang. "Sudah, Ma." Wajahnya masih berair.

Intan pun meraih tas besarnya dan membukanya, mengambil handuk kecil untuk mengelap wajah Karin.

"Sini, Sayang!" Karin mengelapnya, seketika wajah Karin masih bisa mengingatkan Intan siapa yang sudah bermanya dulu hingga Karin bisa lahir ke dunia dan sudah tumbuh sampai sekarang.

Sosok yang telah menyakiti Intan dan memberinya harapan palsu, dia bahkan juga tidak memberi Karin uang seperser pun, boro-boro menanyakan kabar.

Untungnya, Karin sangat mengerti.

Dia jarang menanyakan sosok ayahnya sendiri, paling-paling setelah bertemu dengan Irwan, sosok Irwanlah yang sering dia tanyakan.

Namun sekarang, mungkin Karin juga mengerti kalau ibunya dan lelaki yang sudah dia anggap sebagai ayahnya sendiri tak akan pernah bisa bersatu.

"Yang pimpin doa, Karin ya Ma," tawar anak yang menggemaskan itu. Ibunya—Intan hanya mengangguk sambil tersenyum.

Keduanya kemudian berdoa, dan Karin yang membacakan doanya.

"Allohumma baarik lanaa fiimaa rozaqtanaa waqinaa 'adzaa bannaar, ya Alloh berkahilah kami dalam rezeki yang telah engkau berikan kepada kami dan peliharalah kami dari siksa api neraka." Karin dan Intan mengusap wajah mereka sembari berkata 'Aamiin.'

"Yuk, makan … ini pasti enak," ujar Intan sambil langsung menyantap makanan mereka.

Melihat Karin yang lahap, Intan jadi sangat senang sekali.

Karin juga tampak ceria, tidak terlihat sama sekali kesedihan di wajahnya.

Intan berharap kalau Karin besar nanti, dia akan tahan banting dengan ujian hidup dan menjalani hidupnya dengan penuh rasa syukur.

Semoga saja Intan bisa hidup lebih lama dan bisa melihat Karin punya anak, semoga juga Alloh memberinya kemudahan dan menjadikan kisah hidup dirinya dan Karin happy ending kelak.

Intan yakin ini hanyalah ujian yang akan berakhir, jika Intan lebih berusaha dan terus berbaik sangka pada Alloh maka suatu hari nanti dia juga akan memetik buahnya. Intan percaya itu.

***

Sesudah salat, Irwan dan Arsya sepakat langsung pergi. Masalah lapar karena belum makan siang, itu tidak dikhawatirkan oleh keduanya.

Arsya juga menaruh mobilnya di kantor Irwan, dan mereka berangkat menggunakan mobil Irwan untuk pergi ke rumah dosen pembimbing Arsya—pak Doni.

Kepergian mereka untuk tujuan thesis Arsya adalah sebuah klise yang dibuta-buat, tujuan aslinya adalah Irwan yang ingin meminta kejelasan Salsa.

Ini memang rencana yang receh menurut Arsya, dia juga terpaksa melibatkan dirinya.

Tapi, rasa penasaran Irwan harus segera diberi jawaban agar kebenciannya pada Salsa karena sudah memutuskannya sepihak bisa terhapuskan.

Setahu Irwan, pak Doni tidak pernah tahu siapa dirinya.

Salsa berpacaran dengan Irwan pun belum disetujui keluarga Salsa karena keluarganya begitu agamis dan tidak memperbolehkan Salsa berpacaran.

Tapi, keluarga Irwan sudah mengetahui Salsa sejak dulu karena dia pernah diperkenalkan Irwan ke rumahnya.

Mengenai Irwan tahu tentang pak Doni adalah karena Salsa menunjukkan foto-foto berikut sosial media keluarganya.

Jadi, mudah bagi Irwan untuk menebak siapa suami Salsa sekarang … yaitu Doni, kakak iparnya sendiri.

Di dalam mobil, di perjalanan … mereka mengobrol.

Arsya tegang, karena kalau sampai Pak Doni tahu niatnya hanya untuk melancarkan rencana sahabatnya—Irwan, bisa-bisa thesis sahabatnya bermasalah nanti dan ancamannya mungkin bisa mengarah ke nilai.

"Lo tanggung jawab ya soal thesis gue nanti kalau dipersulit sama tuh dosen," celetuk Arsya mengancam.

Irwan tertawa, tampak santai. "Tenang, gue sogok kampusnya nanti kalau sampai nilai lo jelek. Percaya sama gue."

"Emang sih, pak Doni baik. Tapi kalau menyangkut istrinya … entahlah."

"Pikiran lo jangan negatif dong, gue enggak mungkin ngajak si Salsa nikah sama gue. Gue hanya butuh kepastian biar nanti gue mati, gue tenang. Setidaknya trauma gue soal cewek berkurang satu-satu.

"Halah, lo bicara soal trauma segala. Kalau lo trauma, lo nggak bakal tuh jatuh cinta sama siapa tu cewek janda itu?"

"Namanya Intan, janda-janda lo, jangan sebut dia janda!" Irwan tampak kesal.

'Kenapa sih si Irwan, ada yang salah ya dari ucapan gue? Emang perempuan yang enggak direstuin ibunya itu bukan janda, apa? Dasar Love is Blind,' dengus Arsya dalam hati.

"Iya, iya." Arsya tertawa kecil.

"Ya, justru itu. Cuman si Intan yang bisa bikin gue ngerasain jatuh cinta lagi." Irwan kembali terlihat merenung, Arsya kira dia kembali mengingat memori kebersamaannya dengan perempuan bernama Intan itu.

Perempuan yang belum pernah ditemui oleh Arsya dan dia juga kadang lupa siapa namanya.

***

Setelah isirahat, Intan membersihkan toilet.

Dia kembali membawa alat tempurnya, hari pertama ini memang akan sangat melelahkan sekali bagi Intan. Semua harus digarap sempurna dan diusahakan cepat.

Tapi, hal yang menakjubkan tampak di depan matanya.

"Apa itu Litta Tania Adiguna? Ternyata dia cantik sekali." Intan menatapnya lama saat melihat Litta didampingi oleh Hana yang sama-sama cantik.

Tapi, Intan lebih mengenal Litta karena dia adalah seorang Designer yang terkenal dan Intan pun sangat menyukainya.

"Perempuan yang bersamanya juga sama cantik. Hemmm, di usia muda mereka sukses sedang aku?" Intan melihat alat tempurnya.

"Harus berbekal ini terus, dicerai suami pula. Eh astagfirullah, aku enggak boleh mengeluh. Ini sudah takdirku dan harus kujalani, tidak ada yang tahu ke depannya dan Allah sudah lebih tahu jalan takdir yang dituliskannya untukku. Aku harus percaya."