webnovel

Jangan Beritahu Alasannya

Ada dua laki-laki yang sudah berhasil membuat Rahel jatuh. Merasa kekecewaan yang besar untuk kedua kali dalam hidupnya. Pertama Marcel Wijaya, sahabat kecilnya. Kedua Daniel Samudra, yang seharusnya selalu ada bersamanya. Tapi malah pergi tanpa meninggalkan kata. Sampai di bangku SMA, tepatnya di kelas dua belas, teror-teror aneh mulai menghampiri. Tersangka pertama yang Rahel yakini adalah Daniel. Bukan cuma itu saja, masih ada satu kebenaran yang belum terungkap, yaitu kepergian Daniel secara tiba-tiba dalam hidupnya. *** MOHON MAAF, CERITA MENTAH BELUM DIREVISI^^

kocakaja · Teenager
Zu wenig Bewertungen
13 Chs

Amplop

Kurang lebih enam jam perjalanan yang mereka tempuh. Para calon mahasiswa itu telah sampai di villa, dan waktu masih menunjukkan pukul setengah empat sore. Rahel dan Rika memutuskan untuk segera membersihkan diri agar nanti mereka dapat menikmati beberapa tempat liburan dengan lebih puas, karena tubuh terasa lebih segar. Berbeda denga Marcel dan Andi yang lebih memilih pergi langsung ke pantai, guna menikmati aneka kuliner yang ada di sekitar.

"Yang mandi lo duluan atau gue, Hel?"

"Barang gue masih banyak yang belum di tata. Lo aja dulu Rik," kata Rahel sambil mengeluarkan barang-barangnya untuk di letakkan di atas nakas.

Rika pun setuju, "Oke." Langsung saja ia melangkahkan kaki ke kamar mandi. Rasa senang mengiri langkahnya masuk.

Rahel menatap barang-barang satu persatu sebelum membuka mulut. "Barang gue kenapa banyak gini, ya ... perasaan udah banyak banget barang penting yang enggak gue bawa, tapi kenapa masih kelihatan banyak?" gumam Rahel heran dengan barang-barang yang ia siapkan sendiri.

Selang beberapa menit Rika keluar dari kamar mandi. Temannya itu sudah siap untuk menikmati hari pertamanya di tempat ini. Tampilannya sudah rapi dan tampak segar.

"Astaga, udah selesai lo Rik? Cepet amat, nggak kayak waktu gue nunggu lo mandi biasanya ...."

"Gue nggak sabar pengen ke pantai. Lumayan 'kan bisa lihat sunset di hari pertama."

Tawa kecil Rahel keluar, diiringi dengan ucapannya, "Kayak nggak ada hari lain aja Rik-Rik ...."

"Hehe pengen aja." Rika berjalan ke Rahel dan bertanya, "Terus lo sendiri? Nggak mau mandi? Gue kan udah selesai."

"Iya, maulah. Nih, barang gue masih ada yang belum di tata. Nanti kalau udah selesai nata ini semua, gue langsung mandi..."

Rika menatap isi koper Rahel dengan dahi mengernyit. "Lah, terus gue ke pantai sama siapa dong? Lo kan belum selesai."

"Lo sama Andi aja sana! Mending lo chat dia, suruh ke sini." Rika mengusir Rahel, dengan mengibaskan tangan.

"Boleh juga. Berarti lo sama Marcel nih?" Rika cekikikan sebelum menggoda, "Cie! Cie …!"

"Apaan sih," balas Rahel yang tak mau ambil pusing dan terlalu menanggapi. "Kalau lo sama mereka berdua, gue juga nggak ada masalah."

"Lo enak bilang nggak masalah, Hel! Marcel yang nggak akan tega ninggalin lo sendiri," sembur Rika melirik Rahel. Sedangkan Rahel sendiri hanya diam. "Niatnya kan mau ngajak lo liburan, masa iya lo malah ditinggal di sini sendirian?"

"Serah lo deh mau bilang apa. Gue iyain apa kata lo."

"Hem, gitu aja ketus."

"Biarin," tutup Rahel yang segera mengambil pakaian ganti untuknya setelah mandi. Daripada berlama-lama mendengar Rika berbicara, ia lebih baik mandi. Bisa panas kupingnya mendengar sang sahabat yang terus menggoda.

***

"Awas lo Hel...! Gue gelitikin sampai lo bilang ampun!"

"Nggak bakalan bisa! Wleee," menjulurkan lidahnya, gadis berambut lurus itu berlari sekuat tenaga menjauhi Marcel.

"Mulai songong ya!" teriak Marcel yang mulai berlari mengejar Rahel. "Kalau sampai ke tangan gue, nggak bakal gue lepasin lo, Hel!"

Rahel menoleh sekilas. "Omong doang!" seru Rahel dengan senyum mengejek dan semakin mempercepat ayunan kakinya. Sedikit takut kalau ditangkap Marcel, karena lelaki itu seperti serius dengan ucapannya.

"Oh, oke! Awas ya ...!" Marcel pun makin berlari, menyusul Rahel. Berusaha lari sekuat-kuatnya agar mampu menarik Rahel dalam dekapannya. Hampir saja Rahel tertangkap. Akan tetapi, sempat tertunda karena dengan gesit gadis itu berhasil menghindar dari tangan Marcel yang sedikit lagi mencapai pinggangnya.

"HUUU ...! Kalah kan lo!" ejek Rahel yang memang jarak antara dirinya dengan Marcel cukup jauh. Kemudian tertawa-tawa.

"Masih segitu aja belagu, lo!" sahut Marcel menggeleng dengan senyum miring. "Gue itu masih pemanasan," balasnya.

"Pemanasan apaan? Udah ngos-ngosan gitu!" Lagi-lagi Rahel tak bisa menyembunyikan tawanya, lalu menimpali, "Nyerah aja, Cel! Percuma!"

"Nggak! Sebentar lagi lo bakal ada di tangan gue."

Rahel benar-benar percaya bahwa Marcel tidak akan bisa menggapai dirinya. "Buktiin!" Terus berlari, meninggalkan Marcel yang tengah berhenti untuk mengumpulkan oksigen sejenak.

"Sialan! Kenceng amat tu orang larinya. Makhluk halus aja bisa kalah apalagi gue," gumam Marcel yang sedikit kesal karena belum berhasil mendapatkan Rahel. "Lo manusia apa bukan sih, hel?!" tanya Marcel yang masih jauh dari Rahel.

"Maksud lo apa?!"

"Lari lo kenceng! Bukan kayak orang liat setan tapi …."

Rahel menengok sekilas. "Tapi apa?!"

"Nggak jadi, ntar lo malah marah."

Rahel memekik, "Nggak jelas!" dengan sepasang kaki yang menelan. Marcel yang melihat Rahel mulai berjalan santai, tak ingin menyia-nyiakan kesempatan.

Lelaki itu berusaha berlari mengejar Rahel yang masih cukup jauh. Dengan kencang, tapi tetap berhati-hati agar gadis itu tidak melihat pergerakannya. Ya, tinggal sedikit lagi, lagi dan … makin dekat. "Hap! Hayo! Ketangkep kan lo?! Mau kemana lagi, hem ...?"

"Curang!" pekik Rahel sambil mencoba menarik paksa tangan Marcel yang kini tengah menggenggam tangan kirinya erat-erat.

Marcel bukannya melepaskan, justru mendekap Rahel. "Enak aja ... mana bisa?!" jawabnya dengan pinggang gadis itu yang ia rangkul.

"Gue kan belum siap lari lagi!"

"Yeee …! Emang gue peduli? Salah lo sendirilah! Lo jalan, ya udah gue tangkep ...."

"Nggak! Pokoknya lo curang!"

"Nggak lah," elak Marcel yang diakhiri dengan menjulurkan lidah, sengaja mengejek Rahel yang sekarang tengah kesal dengan kemenangannya.

"MARCEL!" jerit Rahel begitu jari-jari Marcel menggelitik pinggangnya. Tawanya tidak bisa untuk tidak berhenti. Sungguh merasa kegelian, tapi rasa kesal juga melekat. "Berhenti, Cel! Ih, Marcel! STOP! STOP!" diakhiri lagi dengan tawa lebarnya.

"Ampun nggak?"

"GELI BANGET, MARCEL!"

"Makanya ampun atau nggak...?"

"I-iya, IYA! Ampun ...!" Marcel yang mendengar kata ampun dari mulut Rahel, mencoba melepas tangannya dari pinggang gadis itu. Rahel akhirnya bisa berhenti tertawa.

"Kalah, 'kan?" Rahel yang masih lelah karena tertawa hanya mengangguk dan mencoba mencari oksigen, terasa sulit untuk dihirup. Efek lemas tertawa dan kegelian, ia jadi ngos-ngosan. "Mau langsung balik atau mau jalan-jalan dulu?"

"Bentar. Mumpung masih sore kita lihat sunset sekalian. Habis itu baru balik."

"Oke deh kalau itu mau lo."

"Hehe. Makasih, Cel …."

"Iya, sama-sama."

Mereka pun mencari tempat yang sekiranya pantas untuk diduduki. Butuh beberapa menit untuk mencari-cari dan akhirnya menemukan. Kedua manusia beda jenis kelamin itu fokus menunggu matahari yang sebentar lagi benar-benar akan menghilang.

"Lo duduk di sini dulu, gue mau cari minum, ya!" perintah Marcel melirik Rahel.

"Ya udah, tapi cepetan dikit."

"Kenapa? Takut kangen sama gue lo?"

"Dih! Nggaklah, ngapain gue kangen sama lo?"

Marcel dengan santainya mencolek dagu Rahel dan menyunggingkan senyum. "Sama gue nggak usah malu, Hel …" bisiknya yang membuat Rahel melotot.

"Ish! Bukan gitu, gue takut aja. Banyak orang yang nggak gue kenal di sini," elak Rahel mengatakan apa adanya. "Coba lo tengok ke sebelah kiri gue," pinta Rahel hati-hati cenderung berbisik.

Marcel pun mengarahkan kedua bola mata ke samping kiri Rahel. Memang benar yang dikatakan Rahel, banyak pasang mata yang melihat ke sang sahabat, terutama laki-laki. "Iya … banyak amat yang ngelirik lo. Kalau lo ikut aja gimana? Yang gue takutin ntar gue baliknya lama. Jarak dari sini ke kedai minuman cukup jauh, Hel"

"Nggak perlu deh, gue di sini aja nggak masalah. Berpikir positif ajalah," putus Rahel berusaha meyakinkan.

"Serius nih gue tinggal...?"

"Iya."

Marcel pun memutar badan. "Ya udah, jangan kangen!" pesannya sedikit lebih kencang.

"Terserah apa kata lo, nggak penting."

Tahu bagaimana sikap judes Rahel, Marcel menggelengkan kepala, dan juga menghembuskan napas lelah. Rahel yang melihat Marcel, sudah berjalan menjauh dari tempatnya semula duduk. Kini memfokuskan pandangan ke arah laut, dan langit yang tampak teramat indah di sore hari.

"Bersyukurnya gue, bisa lihat pemandangan sekeren ini," gumam Rahel memandang takjub. Masih dengan melihat objek di depannya, seorang pemuda tiba-tiba datang menghampiri Rahel.

"Permisi," kata pemuda itu dengan sopan.

Rahel yang merasa kalau dirinyalah yang diajak berbicara, mendongak. "Iya ...?" tanya Rahel heran. "Gimana?"

"Maaf ... apa benar ini Mbak Rahel?" tanya pemuda itu memastikan.

"Iya, bener! Nama saya Rahel, kenapa ...?"

"Ini Mbak. Saya cuma disuruh nganter amplop ini. Permisi, Mbak," jawab pemuda itu seraya memberikan sebuah amplop pada Rahel, dan berbalik, hendak buru-buru melangkah pergi.

"Loh! Eh, Mas! Sebentar, dari siapa ya?!" tanya Rahel bingung sembari mengangkat amplop itu, dan menggerak-gerakkannya.

"Saya nggak tahu, Mbak! Saya cuma disuruh memberikan ke Mbak Rahel!"

"Orangnya laki-laki atau perempuan, Mas?!" tanya Rahel semakin menaikkan volume suara, karena yang diajak bicara makin menjauh. Sementara dia benar-benar penasaran.

"Laki-laki, Mbak!" sahut pemuda itu mempercepat langkah untuk segera pergi dari hadapan Rahel.

"Dari siapa? Masa iya gue punya pengagum rahasia?" gumam Rahel sambil memasukkan amplop itu ke dalam kantong celana pendeknya.

Beberapa menit kemudian Marcel yang pergi sedari tadi akhirnya kembali. Lelaki itu langsung memerintah, "Nih, minum. Gue nggak lama, 'kan?"

Rahel mengulurkan tangan sambil menerima minuman yang disodorkan Marcel kepadanya. "Nggak juga. Makasih." Macel segera duduk disamping Rahel dan menganggukkan kepalanya.

"Kira-kira Rika sama Andi udah balik apa belum, ya?"

"Belum," ujar Marcel singkat. Laki-laki itu duduk di samping kiri Rahel.

"Kok lo bisa tahu sih?"

"Iyalah, gue kan tadi ketemu sama mereka waktu beli minum."

Rahel menoleh ke tempat Marcel berada dan bertanya, "Terus mereka lagi ngapain?"

"Kepo deh lo, Hel."

"Ya bukan gitu. Gue kan cuma tanya."

"Ya lagi duduk kayak kita gini." Rahel mengangguk paham.

Mereka menikmati suasana pantai dengan keheningan. Menatap senja yang akan digantikan dengan petang. Sesekali mereka menikmati minuman yang sudah hampir habis, tanpa membicarkan suatu hal. Keduanya benar-benar larut dalam pikiran masing-masing, dan pemandangan yang disuguhkan oleh Sang Pencipta. Setelah cukup puas dan merasa tubuhnya perlu diistirahatkan, Rahel dan Marcel memutuskan untuk kembali ke penginapan.

Sambil berjalan, Rahel sesekali melihat di samping kirinya yang terdapat banyak kedai makanan dan minuman. "Eh, itu bukannya Rika ya?" bertanya dengan jari menunjuk ke arah Rika yang baru saja keluar dari kedai.

"Iya," respons Marcel sambil menatap ke arah Rahel, sedangkan Rahel sudah berlari hendak menyusul Rika yang sudah melangkah lebih jauh dari dirinya dan Marcel. "Nggak bisa santai memang tuh anak …," gumam Marcel dengan langkah lebih cepat demi menyusul Rahel.

"Woi!" panggil Rahel sambil menepuk pundak Rika.

"Eh! Oh, lo Hel! Gue kira siapa colek-colek gue," jawab Rika sambil mengibaskan rambutnya manja.

"Apaan sih, orang gue nepuk pundak lo." Rahel bergidik. "Pakai gaya centil lagi, mual gue," ucap Rahel sambil memegang perutnya.

"Nggak lucu."

"Emang, yang bilang lucu siapa? Nggak ada."

Rika mengiyakan sambil berjalan lebih dulu, meninggalkan Rahel begitu saja. Rahel yang geram dengan sang sahabat yang satu ini, memekik, "Eeh! Disamperin malah ninggalin gue, lo!" Dengan tangan yang sudah menarik kaos yang di pakai Rika.

"Lo aja ngeselin! Lepasin tangan lo, nempel terus!" Rahel pun menuruti.

Marcel yang saat ini berdiri di hadapan Rika dan Rahel bertanya, "Andi kemana, Rik?"

Rika mengangkat bahu. "Nggak tahu. Tadi sih masih di belakang gue," jawabnya singkat.

Marcel lantas menyarankan, "Oh, lagi ada perlu kali. Ya udah kita balik sekarang, tambah malem tambah dingin."

"Iya, nih juga gue mau balik." Rika sambil melirik Rahel membalas, "Gara-gara si cewek tengil ini nih, jalan gue jadi berhenti."

Rahel yang paham bahwa dirinyalah orang yang dimaksud, sontak memelototkan mata ke arah Rika. "Cewek tengil lo bilang?!" Rahel menyipit kemudian. "Enak aja lo bilang, dasar wanita ping-pong!" balas Rahel seraya menatap lurus ke depan dengan sepasang kaki mendahului Rika dan Marcel.

"Eh, kok bisa gue wanita ping-pong? Dari mananya?! Main tenis meja aja gue nggak pernah!" teriak Rika bingung dengan langkah cepat, berusaha menyamai langkah gadis yang ia tanyai itu.

"Emang siapa yang bilang lo pernah main tenis meja? Nggak ada."

Rika memutar bola matanya kesal. "Lah, terus kok lo bisa bilang gue wanita ping-pong? Nggak nyambung." Sedangkan Marcel hanya masa bodoh melihat tingkah laku kedua perempuan itu, dia sudah tidak terkejut lagi. Terbiasa dengan percakapan maupun ekspresi wajah Rahel dan Rika ketika berdebat.

"Kalau lo lagi sama Andi, pipi lo kan tiba-tiba jadi pink gitu, bulet kayak pakai blush on, tapi belum profesional, Rik. Buketnya itu kayak bola pingpong."

"Hih, apaan sih. Kayak lo nggak aja kalau lagi sama Marcel. Lagian pingpong kan nggak pink, payah!"

Marcel yang disebut namanya pun hanya menghela napas pasrah. Mau mengelak juga tidak bisa, karena memang seperti itu adanya.

Rahel sambil buru-buru menimpali lagi ucapan Rika untuk terakhir kali, katanya, "Terserah lo. Jalan sambil ngomong buat gue capek."

"Salah lo sendiri!" balas Rika tak mau kalah. Sedangkan Rahel membuktikan tekadnya, mengalah diam karena memang dirinya sudah benar-benar lelah hari ini.

"Emang salah satu dari kalian itu harus ada yang ngalah, kalau enggak ada, nggak bakal kelar pertengkaran kalian," ucap Marcel membenarkan keputusan Rahel.

"Siapa?" tanya Rika dan Rahel bersamaan. Keduanya bahkan menoleh ke arah Marcel di belakang mereka.

"Kalian," jawab Marcel yang memicingkan mata ke dua perempuan itu bergantian.

Rika lebih dulu mengajukan pertanyaan, "Pertengkaran apa?"

"Kita nggak bertengkar," sela Rahel melanjutkan.

"Lah, emang tadi kalian ngapain kalau enggak bertengkar?"

"Debat!" balas Rahel dan Rika dengan bebarengan.

Sementara Marcel hanya bisa mengelus dada. "Kesambet apaan ini dua anak? Semoga aja cepet keluar, jangan lama-lama ganggunya. Niatnya ke sini mau liburan, bukan nambahin pusing kepala gue," batin Marcel mencoba berkomunikasi pada setan yang sekiranya mendiami raga Rahel serta Rika.

"Itu bukannya Andi, ya?" tebak Rahel seraya menunjuk ke arah gerombolan orang di depannya.

"Mana sih?" tanya Rika karena belum melihat sosok Andi yang Rahel maksud. Ia sampai celingak-celinguk.

"Oh, iya. Kok bisa dia di sana?" Marcel juga menangkap sosok pria itu pun bertanya, "Bukannya kata lo tadi dia masih di belakang lo ya, Rik?"

"Iya. Orang dia sendiri yang nyuruh gue jalan dulu. Mana sih?" Rika sampai mengerutkan kening karena belum menemukan sosok Andi. "Gue beneran nggak lihat."

Rahel sepertinya mulai kesal. "Memang lo itu harus pakai kacamata, Rik!"

"Eh, kayaknya kita salah lihat deh, Hel." kata Marcel sambil mengedipkan sebelah matanya.

"Hah! Kenapa, Cel?" tanya Rahel yang belum paham dengan kode dari Marcel. Rahel yang memahami kode Marcel pun berdeham.

"Kenapa sih kalian? Aneh deh." Rika pun mulai bingung dengan kedua teman yang ada di hadapannya ini.

"Kita salah lihat, Rik. Ya udah, kalian jalan dulu, gue cari Andi … masa sampai sekarang nggak kelar-kelar urusannya tuh bocah!" sambil melirik Rahel, dengan satu tangan yang menyuruh keduanya pergi, serta tatapan memohon.

"Ehm. Eh, Rik. Bener deh kata Marcel, kita harus buru-buru balik. Ini udah malem, kita juga belum mandi, terus makan juga belum, ayok!"

"Iya-iya. Sabar kenapa sih?! Jangan tarik-tarik!"

"Maaf." Rahel pun segera melepaskan tangannya dari pergelangan tangan Rika. Keduanya berjalan bersama, meninggalkan Marcel yang di belakang mereka. "Eh, itu penginapan kita, bukan?" Rahel menunjuk ke penginapan yang lumayan besar, berjarak sekitar seratus meter dari tempatnya berjalan sekarang.

"Iya, nggak kerasa udah deket aja."

Sesampainya di penginapan, Rahel segera mengambil pakaian yang hendak ia pakai setelah mandi, dan memasuki kamar kecil. Ia melaksanakan ritual mandi secepat mungki, karena merasa lelah sepanjang hari ini. Sambil menunggu Rahel mandi, Rika yang sudah menyiapkan baju segera beres-beres kamar yang sedikit berantakan.

"Sana mandi, habis itu makan," saran Rahel yang baru saja selesai mandi dan berjalan ke arah kopernya.

"Cepet amat mandi lo."

"Nggak baik mandi malam hari."

Rika mengangguk menurut, dan mengambil handuknya. Lalu berjalan menuju kamar mandi. Tidak butuh waktu berpuluh-puluh menit untuk Rika membersihkan tubuh kotornya. Ia sudah selesai dan kini memerhatikan Rahel.

"Lo nggak jadi tidur, Hel?" tanya Rika heran.

"Nggak deh. Gue malah jadi lebih fresh habis mandi."

"Gue mau beli makan nih. Lo mau titip nggak? Tapi gue bawainnya kalau gue udah selesai makan, gimana?"

"Boleh. Nggak masalah sih lo anternya nanti, gue santai aja. Di sini juga masih ada cemilan."

"Oke, gue turun deh. Hati-hati lo di sini, Hel."

"Dih. Gue yang harus bilang gitu. Hati-hati kejatuhan cicak nangis, lo."

"Apaan sih, mulai ngeselin. Gue kan pergi sama Andi, wle."

"Bodo amat," putus Rahel yang dibalas Rika dengan lambaian tangan dan segera menutup kamar mereka.

"Gue penasaran sama amplop tadi. Kenapa gue takut ngebuka, ya … paling males kalau kayak gini, mainnya teka-teki …," gumam Rahel sambil memandangi amplop yang ada di tangan.

Rahel membuka amplop itu dari bagian ujung perekat. Seakan takut merusak amplop itu, Rahel membuka secara perlahan-lahan. Lebih hati-hati, Rahel membuka bagian tengah, terus geser kebagian ujung perekat lainnya.

Setelah berhasil membuka semua perekatnya, Rahel memasukkan kelima jari. Telapak tangan pun langsung menyentuh sebuah kertas. Diambilnya kertas itu, dan mencoba membuka juga. Kemudian netra Rahel menyorot pada surat yang dilipat menjadi dua itu.

Ia mulai membaca pelan-pelan, dan betapa terkejutnya Rahel setelah membaca pesan itu. Badannya mendadak kaku. Tangan yang memegang kertas itu sedikit berguncang, hingga bibirnya pun turut kut bergetar. Menahan suara yang sebentar lagi hendak keluar.

Terasa sepasang mata memanas, seperti ada sesuatu yang hendak keluar dari sana. "Kenapa? Kenapa harus dateng lagi?" Satu tetes air mata berhasil keluar dari tempatnya. "Kenapa pas gue masih berusaha?!"

Jantungnya sungguh berdebar-debar. "Kenapa gue harus ngerasain lagi?" Disentuhnya dada yang terasa sesak. "Kenapa? Kenapa harus sesakit ini?" tanya mulut itu lagi bersama sepasang mata yang semakin panas, air mata pun mengalir lebih deras.

"Kenapa gue enggak bisa nahan? Kenapa air ini harus keluar? Apa lo selemah ini, Hel?" ucapnya pelan sambil menatap surat yang sedang ia genggam.

Tak disangka usahanya selama ini gagal. Hanya dengan surat saja dirinya bisa selemah ini. Cuma dengan melihat namanya saja, air mata Rahel sudah mengalir, dan tidak berniat untuk berhenti secepatnya.

"Apa belum puas? Apa lo cuma pengen lihat lemahnya gue karena kepergian dan kedatangan lo yang tiba-tiba ini? Apa cuma mau ngetes seberapa kuatnya gue saat lo nyakitin gue?! Apa lo cuma mau tahu gimana gue nangis gara-gara lo?! Oh, dan nanti dengan bangga lo senyum selebar-lebarnya, tepuk tangan sekeras-kerasnya … karena udah berhasil buat gue nangis gara-gara kelakuan lo?! Iya?!" teriak Rahel beruntun sambil menggenggam surat itu kuat-kuat, menahan amarah dan tangisannya yang akan menjadi-jadi.

"Gue nggak bisa bilang gue benci lo, karena nyatanya lo masih ada di sini …." Sambil memukul bagian dadanya, Rahel berusaha meredam emosi.