"Sialan!" Andreas mengumpat ketika menyadari bahwa ia meninggalkan ponselnya di dalam tas yang sekarang berada di vila. Ia sekarang sedikit menyesali keputusannya untuk mematikan ponselnya dan meninggalkan benda itu selama liburan. Ketika ia berniat mengenyahkan benda itu dan memulai liburan indahnya, kejadian ini terjadi.
Andreas berjongkok di samping tubuh dingin di sampingnya dan mendekatkan telinganya pada area telinga dan hidung gadis yang terlihat seperti sudah tidak lagi bernyawa, memeriksa apakah ia masih bernapas. Andreas sedikit panik ketika menyadari gadis itu tidak lagi bernapas dan dengan cepat mulai mencari denyut nadi gadis itu.
Ia memeriksa beberapa kali dan ketika menyadari bahwa tubuh gadis itu masih memiliki sisa kehangatan, harapan sedikit memenuhi benaknya.
Memang ia tidak lagi bisa merasakan denyut nadi gadis itu, namun sedikit kehangatan di tubuh gadis itu mengatakan padanya bahwa wanita yang ingin diselamatkannya ini belum lama 'meninggal'.
Setelah menghembuskan helaan napas panjang untuk menenangkan dirinya, Andreas mulai melakukan CPR. Ia pernah mendapatkan pelatihan untuk melakukan pertolongan pertama pada korban tenggelam, namun ia tidak pernah benar-benar mempraktikan kemampuannya di lapangan.
Tangan Andreas dengan cekatan melakukan tindakan kompresi pada gadis itu beberapa kali seperti yang diplejarinya sebelumnya. Ia kemudian membuka jalur napas korban, dan memberikan napas buatan.
'Jangan mati di sini, jangan mati di tanganku', Andreas bergumam sambil terus bergerak.
Andreas kembali melakukan tindakan kompresi ketika tubuh gadis itu mulai mengejang dan memuntahkan air.
Akhirnya! Andreas bersorak dalam hati. Namun masih ada sedikit perasaan was-was karena gadis itu tidak menunjukan tanda akan bangun.
Setelah memastikan bahwa gadis itu sudah mulai bernapas dengan normal, Andreas dengan cekatan menggendong tubuh kecil gadis itu dan membawanya setengah berlari ke arah vila. Ia dengan cepat menanggalkan seluruh pakaian gadis itu dan menggunakan selimut untuk menghangatkan tubuhnya sebelum melarikan gadis itu menggunakan mobilnya menuju sebuah rumah sakit swasta terdekat.
Si gadis misterius segera di tangani dengan cepat setelah mereka tiba ruang UGD. Andreas bisa sedikit bernapas lega setelah menyerahkan semuanya pada Jimmy, salah satu kenalannya yang bekerja di sana.
Andreas menunggu cukup lama ketika Jimmy kembali menghampirinya dan menjelaskan kondisi gadis yang ditemukannya. Berdasarkan pemeriksaan awal, mereka menemukan banyak memar di seluruh tubuh gadis itu. Kaki kiri dan tangan kanan gadis itu juga patah. Mereka menduga gadis itu adalah korban penganiayaan dan percobaan pembunuhan.
Andreas yang tidak pernah menghadapi situasi ini tidak sungkan meminta pendapat Jimmy tentang apa yang harus dilakukannya. Bagaimanapun juga ia sama sekali tidak mengenal gadis ini.
Awalnya Jimmy memberi saran agar Andreas membiarkan polisi yang menangani hal ini, namun melihat ekspresi tidak setuju Andreas, ia segera menambahkan opsi lain. Menurutnya Andreas bisa mencari tahu identitas gadis ini terlebih dahulu dan apa yang sebenarnya terjadi sebelum melaporkan hal ini ke pihak yang berwajib.
Andreas lebih menyukai opsi kedua yang dijelaskan Jimmy. Ia sebenarnya sedikit khawatir pelaku yang mengincar nyawa gadis ini akan berusaha mencarinya. Melaporkan hal ini pada pihak yang berwajib mungkin akan mengekspos keberadaannya pada orang yang mengincarnya dan membuat gadis ini berada dalam bahaya.
**
"Loh? Sudah pulang?" Alvian menatap pria yang sudah muncul di ruangannya dengan binar kebahagiaan di matanya. Ia ingat dua hari yang lalu Andreas dengan tidak berperasaan meninggalkan surat tidak jelas di meja kerjanya yang hanya mengatakan ia akan pergi berlibur selama seminggu.
Saat itu Alvian dongkol setengah mati. Lelucon seperti itu yang sama sekali tidak lucu. Satu minggu ke depan mereka harus membuat beberapa keputusan penting dan Alvian sama sekali tidak mau bertanggung jawab terhadap apapun dengan membuat keputusan atas nama bossnya.
Ia mencoba menghubungi nomor Andreas setiap jam dan pria itu sama sekali tidak menjawab panggilannya. Setelah mencoba hampir seharian, Alvian menyerah. Ia yakin Andreas sudah memblokir nomornya.
Alvian kemudian mencoba menghubungi semua orang yang dikenalinya untuk mencari tahu di mana keberadaan Andreas. Sayangnya tidak ada yang mengetahui keberadaan pria tidak bertanggung jawab itu, bahkan keluarganya sama sekali tidak tahu kemana pria itu menghilang. Alvian bahkan hampir membuat keributan besar karena beberapa orang mulai beranggapan bahwa Andreas hilang atau diculik yang langsung diklarifikasi Alvian.
"Kenapa? Kau mau aku benar-benar menghilang selama seminggu?" Andreas balik bertanya.
"Aku pikir kau benar akan menghilang selama seminggu," Alvian berkata dengan senyum lebar. Sekarang setelah Andreas sudah kembali ke posisinya, ia sudah cukup tenang seolah ada beban berat yang terangkat dari pudaknya. Ia belum siap menanggung beban besar perusahaan apalagi perusahaan raksasa milik Andreas.
Alvian memperhatikan Andreas yang terlihat sangat lelah. Bahkan ia bisa melihat garis-garis hitam di bawah mata pria itu.
"Liburan ke mana sih?" Tanya Alvian penasaran sambil menatap Andreas yang menutup matanya seolah ingin beristirahat di sana.
"Kenapa? Mau ke sana juga?" Andreas menjawab sambil memijat kepalanya.
"Pengen tahu aja biar gak pergi ke sana," Jawaban aneh Alvian membuat kening Andreas semakin berkerut. Bukankah biasanya orang akan menjawab sebaliknya?
"Kenapa mau tahu kalo gak mau ke sana?" Tanya Andreas masih bingung.
"Menjauhi tempat-tempat liburan yang buat setress aja," Alvian menjawab singkat sebelum kembali berkutat dengan laptop di hadapannya.
Andreas tertawa pelan sebelum berdiri dari kursinya, "Ok, cabut dulu ya, titip perusahaan seminggu kedepan, ya." katanya santai sebelum melangkah ke luar ruangan.
"Oke," balas Alvian kemudian berhenti beberapa detik ketika menyadari apa yang dikatakan Andreas. Matanya terbelalak sebelum Alvian dengan cepat melesat ke luar ruangan untuk mengejar pria itu.
"Stop joking, man. Kamu mau ke mana? Ini baru jam 9, jam 10 kita ada rapat," cecar Alvian ketika berhasil menaiki lift yang sama dengan Andreas. Ia sekarang mulai terlihat panik dan sedikit kehabisan napas.
"Aku Cuma datang buat ngambil laptop, kok. Aku sudah bilang aku ijin seminggu ini, kan?" kata Andreas sambil menunjukan tas laptop kecilnya dengan santai.
"Sialan, kamu tahu kita ada 3 rapat kerjasama penting minggu ini, kan?" Alvian berkata dengan kesal. Ia baru saja bernapas lega beberapa menit yang lalu karena menyangka Andreas sudah berubah pikiran akan liburannya.
"Aku percaya semua keputusanmu," Andreas berkata serius sambil menepuk pundak sahabatnya yang terlihat semakin emosi.
"Aku sendiri tidak percaya pada keputusanku, dre," Alvian berkata kesal, ia sudah berulang kali berkata pada Andreas bahwa ia tidak akan membuat keputusan yang berhubungan dengan investasi atau program yang harganya bahkan mencapai ratusan milyar. Ia tidak ingin bertanggung jawab atau merasa bersalah pada uang-uang yang hilang jika sesuatu terjadi.
Andreas berjalan keluar dari lift menuju ke pintu utama bersama Alvian yang masih mengekorinya dari belakang. Sekretasrisnya itu masih berusaha menahan atasannya agar tidak meninggalkan tempat itu. Alvian tidak tahu Andreas bersembunyi di mana, namun ia tahu pria itu bisa benar-benar menghilang jika ia mau. Ia tidak akan melepaskan atasan sialannya ini begitu saja.
"Aku percaya semua keputusanmu. Aku yang bakal bertanggung jawab jika terjadi sesuatu," kata Andreas sambil tersenyum manis diikuti dengan suara pekikan seorang wanita yang tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
Andreas tertawa pelan menatap dua pegawai wanita yang berjalan pergi dengan terburu-buru.
Alvian mengusap wajahnya dengan gusar kemudian menatap tajam atasan merangkap sahabat kurang ajar yang berdiri di hadapannya. Bagaimana mungkin Andreas bisa tertawa sesantai ini walaupun ia mengetahui bahwa sebentar lagi akan tersiar kabar percintaan homoseksual antara bos dan sekretarisnya di chat-chat gossip perusahaan.
"Cabut ya," Kata Andreas sambil berlari menuju mobilnya meninggalkan Alvian yang masih terlihat emosi.
Alvian berjalan kembali ke arah lift dengan dongkol. Ia tidak peduli lagi, ia akan melakukan semuanya sesuka hatinya. Ia tidak peduli jika keputusannya akan menyebabkan kemunduran atau bahkan kehancuran perusahaan itu, toh ia hanya mengikuti apa yang dikatakan bosnya.