webnovel

Masa Mau Sama Duda Sih ?

"Dia sudah meninggalkan kamu!"

"Iya, karena Papah yang menyuruhnya pergi"

"Kamu masih menuduh Papah ?! sampai kapan kamu mau menuduh Papah terus ? Sudah Papah bilang kalau Dia pergi karena keinginannya, bukan karena Papah yang menyuruh Dia pergi!"

Aku mendengar desahan lelah dari yang keluar dari mulut pria tua itu. "Apa Papah pikir aku bodoh dan percaya semudah itu dengan semua keganjilan yang coba papah tutupi ?!"

"Papah tidak mau berdebat sama kamu, pokoknya Papah tunggu kedatangan kamu malam ini di rumah"

"Sudah aku bilang Aku... Ah Sialan!" Rafan membanting ponsel itu tepat setelah sang ayah memutuskan panggilan secara sepihak tanpa mau mendengar jawabannya. Nareswara tetaplah pria egois, lelaki yang sialnya menjadi ayahku.

Rafan tertunduk sambil meremat rambut-rambut kepalanya, berkali-kali dia mengatur nafas yang memburu tak karuan, di dalam yang sepi, dia sendirian mengatur emosi.

Tidak ada yang tersisa dalam hati dan diri setelah melihat kehancuran di depan mata, aku seperti orang gila yang merasakan sakit sendirian.

Apa belum cukup aku hancur di depan matanya setelah apa yang dia lakukan ?

Mengapa harus orang seperti itu yang menjadi ayah, Bahkan dia tidak bisa di sebut orang tua setelah semua yang dia lakukan padaku.

Kenapa ?

*******

Tin!

Tejo segera membuka pintu gerbang tinggi itu, mobil sport hitam yang saat itu menunggu di depan gerbang segera masuk dan memarkirkan mobilnya tepat di sebelah mobil alparhd hitam.

"Pak Tejo, bantuin saya bawa barang-barang di bagasi ya" ucap Ririn, perempuan yang membawa mobil sport hitam itu, untuk sesaat Ririn turun, matanya melihatpenuh tanya kearah mobil Alpahard hitam dan mobil sedan berwarna silver.

"Lagi ada tamu ya ?" tanya Ririn penuh tanda tanya.

"Iya, tamunya Pak Nareswara, Mas Rafan juga baru aja datang"

"Hah ?!" Ririn langsung membuka kaca mata hitamnya, menatap Tejo penuh kekagetan. "Rafan ? Ngapain dia datang kesini ?"

Ada rasa campur aduk didalam hati setiap mendengar nama kakak tirinya itu, padahal sudah satu tahun berlalu tapi tetap saja ada rasa canggung dan perasaan bersalah yang susah untuk hilang dari dalam lubuk hati. Sebab apa pria itu datang ? karena aku yakin pasti ini bukan kemauan pria itu, pasti ini akal-akalan Papah yang menyuruh Dia datang, apalagi kali ini triknya, apalagi rencana yang coba Papah lakukan pada pria itu.

"Saya kurang tahu Mbak, tapi kayaknya Pak Nareswara mengadakan acara makan malam bersama, Ini belanjaannya mau saya bawa langsung ke kamar atau… ?"

"Iya Pak, langsung bawa ke kamar saya aja"

"Baik Mbak"

Keduanya berjalan masuk kedalam rumah, tangan Tejo penuh dengan tas belajaan sang majikan dari berbagai macam brand ternama dunia. Sementara didalam rumah, tepatnya di ruang tamu sudah ada beberapa orang yang duduk disana dengan Rafan yang kini duduk disamping Nareswara dengan raut wajah dan tatapan setajam pisau.

"Nah itu Ririn pulang!"

Semua mata yang tadinya sibuk saling menatap, berbincang sesuatu hal itu langsung berbalik badan menatap Ririn yang baru saja masuk kedalam rumah, melewati mereka bersama dengan Tejo yang berjalan di belakang. Gadis itu mengeryit bingung menatap satu persatu manusia yang ada di hadapan gadis itu, terutama saat Ririn memicing menatap gadis muda yang juga sedang melihatnya.

"Diakan ?!" gumam Ririn menggantung dalam hati.

"Ririn kemari, kenalkan ini teman Papah" ucap Nareswara tapi Gadis itu hanya diam ditempat dengan pandangan yang aneh menatap orang-orang itu. "Rini, cepat." Nareswara kembali bersuara, Ririn melangkah dengan ragu, pelan-pelan sekali sambil terus menatap gadis asing yang tak begitu asing memperhatikan dari atas sampai bawah.

"Perkenalkan Ririn, ini teman Papah namanya Pak Arbi, dan ini anak perempuan Pak Arbi namanya Sabrina"

Aku hanya tersenyum sipul dan sedikit menundukan pandangan sopan. Jadi, nama perempuan reseh yang tadi siang bertengkar di mall adalah Sabrina ? namanya sih anggun, tapi kenapa kelakuannya sama sekali gak mencerminkan namanya yang anggun, malah kebalikannya.

"Kami mau makan malam bersama, nanti kamu ikut ya"

Ririn tidak menjawab, tatapanya beralih pada Rafan yang diam saja sedaritadi. "Lo ngapain ke sini ? tumben"

Rafan hanya membalas tatapannya sesaat, pria itu memilih untuk tidak menjawab pertanyaan dari Ririn, membuat Liliana tersenyum kikuk dan langsung menarik tangan putrinya agar duduk di sebalahnya.

"Permisi, makan malamnya sudah siap" Inem tiba-tiba datang dan mengintrupsi pembicaraan mereka.

"Iya Bi, terimakasih ya" ucap Liliana. "Yasudah, ayo kita makan malam dulu" sambung Liliana yang membuat orang-orang di ruang tamu mulai berdiri dan berjalan menuju meja makan.

Ririn langsung menarik tangan Rafan saat semua orang sudah berjalan duluan. "Lo ngapain kesini ? Ada apa ? tumben banget, itu temen papah… kalian ada urusan bisnis ? Lo sama Papah mau ada kerjasama lagi ? " tanya Ririn bertubi.

Rafan menatap malas wajah dan lengan Ririn yang bertengger, menepisnya keras. "Gua sebenarnya juga gak mau datang ke rumah neraka ini kalau gak di paksa sama bokap lo!"

"Bokap gua juga bokap lo! Lo dipaksa apa sama Papah ? Itu si Pak Arbi sama anaknya ngapain kesini ? Lo pasti tau kan, ada apa ? ngomong!" todong Ririn agar Rafan membeberkan semuanya.

"Hahh… Gua gak paham. Demi Tuhan gua juga gak ngerti! Gua udah nolak, tapi tetap aja pria tua itu mau jodohin gua sama anak perempuan itu."

Papah tampaknya gak akan pernah puas menghancurkan hidup Rafan, seolah-seolah dia tidak senang sama sekali barang sekali saja hidup Rafan adem ayem. Aku sendiri bahkan gak habis pikir dengan kelakuan ayah kandung yang bisa setega itu, walaupun sudah menghancurkan hidup dan rumah tangga Rafan, tapi tidak pernah sekalipun aku medengar Papah meminta maaf atau paling tidak merasa bersalah sedikit saja.

"Tenang aja. Itu gak akan terjadi"

"Maksud lo ?

"Lo tenang, gua yakin perjodohan itu gak akan pernah terjadi"

Aku lihat tatapan Rafan yang seolah tidak percaya bisa mendengar kata-kataku yang seperti ini, semua ini aku lakukan karena aku tahu bahwa Rafan sudah cukup terluka karena keegoisan Papahnya, bahkan bukan cuma Rafan yang di hancurkan tapi ada perempuan lain yang dibuat terluka hatinya. Sudah cukup aku diam, walaupun aku tahu, tapi aku tetap diam agar semuanya bisa berjalan seperti apa yang di inginkan orang tua itu.

"Yaudah gua laper, ayok makan malem. Bi Inem pasti udah masak yang enak-enak malam ini!"

Rafan menatap bingung adik tirinya yang berjalan santai tanpa beban setelah bicara hal yang aneh. "Mau ngapain lo ?!" tanyak yang langsung menarik lengan RIrin, membuat gadis itu kembali menatapnya.

Ririn menatap Rafan dengan sebelah alis yang naik. "Gak ngapa-ngapain kok" jawab Ririn tenang.

"Lo ngomong kayak gitu barusan, maksudnya apa ? Perjodohan ini gak akan terjadi, dari mana lo tau ?"

Ririn mendesah pelan lalu menarik tangannya dari genggaman erat Rafan. "Lo bilang lo gak mau di jodohin, ya berarti perjodohan itu gak akan terjadi kan ? Atau… Lo mau terima aja ?"

"Apa ? Ya enggak lah!"

"Yaudah. Udah ah gua tuh laper, mau makan!'

Gaya selengean dan hidup cuek itu tidak pernah berubah dari Ririn, begitu selesai bicara gadis itu menepuk pundak Rafan lalu berjalan begitu saja meninggalkan pria itu yang masih berdiri mematung dengan penuh tanda tanya dalam benaknya, berjalan kemudian menghampiri para keluarga dan tamu yang memang sudah menunggu kedatangannya di meja makan.

Semua tampak normal, makan malam berjalan lancar penuh dengan tata krama bangsawan tata cara makan yang penuh dengan elegant tanpa ada suara sendok garpu dan pisau yang berdenting, menu makan malam hari ini bergaya eropa steak dengan daging premium berharga selangit, Inem sangat pandai untuk sekelas ART yang kerjanya hanya di rumah, tapi Dia bisa memasak daging ini seperti koki-koki hotel bintang lima.

"Steaknya sangat nikmat, pintar sekali yang memasak steak ini" ucap Arbizar begitu selesai mengunyah steak itu.

"Syukurlah jika Pak Abizar menyukainya"

Rafan makan dengan enggan, jangankan menikmati steak, untuk memasukan daging ini kedalam mulut saja rasanya berat sekali, dia hanya ingin pulang dan tidur dirumah daripada harus meneruskan makan malam ini.

"Ekhmm! Iya, steaknya enak. Kakak saya Rafan suka banget sama steak, dulu saat punya istri…"

"Ririn!"

"Uhuk…uhuk!

Nareswara mendelik dengan mata yang melotot menatap Ririn, sedang Rafan hampir saja memuntahkan kembali daging steak yang masuk kedalam mulutnya karena medengar ucapan Ririn yang sepertinya asal bicara. Menganggap dia kakak saja tidak pernah, kenapa sekarang bisa-bisanya anak itu bilang kalau aku kakaknya.

"Iya kan, Kak Rafan ?"

Anjirt! Rasa ingin sekali aku memuntahkan semua isi perut karena sangking mualnya melihat Ririn yang saat ini menatap diriku sambil tersenyum palsu, di tambah memanggil diriku dengan sebuat yang sama sekali tidak pantas di ucapkan dari mulutnya yang lemes bin julid itu.

"Haha" hanya itu jawabanku, tersenyum bodoh sambil menahan mual.

"Hmmm… Maaf Pak Abizar, anak ini kalau bicara suka melantur" sahut Nareswara, suasana menjadi agak canggung, baik Abizar dan Sandrina tidak menampilkan ekspresi atau mengucapkan satu kata pun, mereka hanya kembali melanjutkan makan mereka.

"Mbak Sandrina cantik ya, apalagi bajunya. Kelihatan cocok, tapi pasti mahal ya ? Pasti Pak Abizar sayang sekali ya sama Mbak Sandrina"

Rencana apalagi yang coba Ririn jalankan saat ini ?! Gaya dia saat ini sama persis dengan gaya dia menyambut Laras dulu, cuma bedanya sekarang dia seperti sedang menyerang perempuan itu dengan lebih elegant, tidak seperti Laras yang dia serang dengan bar-bar menggunakan mulut pedas yang dia punya.

"Tentu saja Ririn, namanya anak pasti orang tua akan melakukan apapun demi anak" jawab Nareswara dengan entengnya, rautnya sudah berubah jadi baik lagi.

"Iya semua orang tua harusnya begitu sih, kecuali Papah"

Satu kata yang menggantung, tapi mampu membuat semua orang yang berada dimeja makan itu menatap kearah Ririn dengan berbagai macam tatapan penuh makna dan tanda tanya di dalamnya. Sang empunya mulut itu hanya menampilkan senyum sipul tak berdosa, walaupun pelototan tajam sang ayah yang menatap dirinya.

"Ririn, jangan bicara begitu." Liliana mencubit paha putrinya, mungkin berharap anaknya itu tidak bicara melantur lagi.

"Om Abizar, jangan mau jodohin anak Om sama Duda, apalagi Mbak Sandrina kan cantik, kasihan loh cantik-cantik dapetnya duda."

Shock! Mungkin kata yang tepat untuk menggambarkan ekspresi semua orang saat ini, terutama pada Sandrina, gadis itu bahkan sampai tidak melanjutkan makannya lagi.

Rafan ingin tertawa, tapi juga dia kaget mendengar ucapan Julid yang begitu berani, apalagi melihat senyum tanpa dosa, kalo biasanya setiap melihat senyum itu ingin sekali aku melempar barang tepat di wajahnya, kalau sekarang dia malah ingin sekali tertawa, karena ucapan Ririn walaupun terkesan julid dan melantur, tapi ada benarnya juga. Oh lihat itu ekspresi Papah yang seakan mati kutu, rasanya nikmat sekali melihat pemandangan langka ini.

"Om Abizar, ada banyak pria sukses, anak bangsawan yang belum menikah. Kenapa harus sama Kaka saya sih ? Kalau cuma demi bisnis, Om Abizar boleh tanya, perusahaan Papah saya tuh lagi menurun, masa Om…"

"Ekhmmm!" Nareswara mengintrupsi.

Aku melihat ekspresi Papah yang sudah mengetat bagai ada karet yang mengikat, Aku rasa ini mungkin jawaban Ririn atas ucapannya beberapa menit lalu yang bilang kalau Perjodohan ini tidak akan pernah terjadi.

Tapi kenapa gadis itu sebaik ini ? Tumben sekali, Apa dia akan meminta imbalan setelah ini padaku ?

"Maafkan putri saya Pak Abizar yang bicara melantur"

Abizar tersenyum sipul lalu memalingkan wajahnya melihat Ririn. "Jujur saya mendengar rumor ini, tapi saya tidak tahu kalau itu benar-benar nyata" ucap Abizar yang seolah sedang mengklarifikasi ketidaktahuannya atau entah kebodohannya.

Ririn membalas tersenyum juga, senyum yang penuh ejekan. "Papah saya memang terkadang suka tidak jujur" jawab Ririn singkat tanpa beban.

Nih cewek maksudnya apasih ?! Belum cukup dia berdebat soal gaun di mall, sekarang dia mau berdebat lagi dengan ayahnya, bener-bener biang kerok yang selalu bikin keributan. Seenaknya panggil dia Mbak, bicara ngalur ngidul, lagian siapa juga yang mau di jodohin sama kakaknya. Apa ? Duda ?! Papah memang keterlaluan, tapi aku juga tidak bisa biarkan keluargaku di permalukan seperti ini.

"Mbak Ririn, saya tahu Mas Rafan duda, tetapi saya tidak masalah dengan itu" ucap Sandrina, orang sedaritadi bungkam, akhirnya dia angkat suara dan membuat orang-orang menatap kaget, terutama sang ayah.

Ririn Ririn, tampaknya belum kapok juga ya setelah tadi ribut di Mall cuma karena baju. Apa ini dia lakukan karena dia gak terima kalah dari gue ? Hah... Dasar.