webnovel

Mengerti Tapi Tak Di Mengerti

Air kolam yang tenang itu seketika berderuh membelah air menjadi dua bagian saat ada seseorang yang melompat masuk kedalam kolam renang dengan lebar lima meter dengan kedalaman kolam satu setengah sampai tiga meter.

"Dasar orang gila tengah malam begini malah berenang" gumam Kris yang kini tengah duduk di pinggir kolam sambil memperhatikan Rafan yang saat ini sedang berenang di kolam renang rumahnya.

Setengah jam lalu dia di kagetkan dengan kedatangan Rafan ke rumahnya, Pria itu bilang kalau malam ini dia ingin menginap, tanpa di setujui Rafan langsung nyelonong masuk kedalam kamarnya, menonton film sebentar lalu tiba-tiba dia bilang kalau ingin berenang karena merasa kegerahan.

"Woy! Lu sebenarnya lagi kenapa si ? Dari tadi gua nanya kagak di jawab-jawab" Kris menyimpratkan air kolam itu merasa kesal sekilgus penasaran karena Rafan tidak menjawab sama sekali pertanyaan soal ini. "Lo bilang lo mau di jodohin, emang iya ? Cantik gak ceweknya ? Kenalin lah ke gue" ucap Kris dan tersenyum penuh makna.

Dari dalam kolam kepala Rafan mencuat, air-air kolam luruh dari kepala melewati badan yang saat ini terlihat begitu jelas. "Bacot anjir. Berisik!" Rafan menciprat air kolam sampai Kris yang harus mundur beberapa agar tidak terkena cipratannya.

"Helehhhh"

Rafan tersenyum tanpa dosa karena berhasil mengerjai Kris. "Lo gak mau berenang ?" tanya Rafan sambil menyibak rambutnya yang basah.

"Ogah! Gua masih normal"

Kris mengeryitkan dahinya, menatap penuh protes. "Maksudnya ? Lo pikir gua gak normal ?" tanpa dosa Rafan bertanya.

Kris berjalan mendekat lagi pada kolam lalu berjongkok tepat di depan Rafan. "Enggak! Orang normal jam segini harusnya tidur, lu malah minta berenang. Sarap" Kris bicara sambil menunjukkan layar ponselnya yang menyala yang menujukkan saat ini pukul dua belas malam.

Pria sontak tersenyum tipis, mengusap wajah dan tengkuknya. "Ya gak apa-apa gua mau berenang aja, biar gak mumet" jawab Rafan terus terang.

"Kenapa lo ? Ada masalah lagi ?"

"Bantuin gua" Rafan mengulurkan tangannya, dia akan naik ke tepi kolam yang langsung di jabat oleh Kris, pria itu membantu Rafan keluar dari kolam. Keduanya kini sudah duduk di tepi kolam dengan kuda kaki yang masuk ke air serta Rafan yang sudah menyelimuti sebagian tubuhnya dengan handuk.

"Bokap lo bikin ulah lagi ya ?" Kris bertanya dengan raut wajah yang serius, melihat Rafan yang tengah mengatur nafas sehabis lelah berenang, menundukkan kepalanya, tampak begitu lelah.

"Kenapa harus dia yang jadi bokap gua" gumam Rafan dengan nafas terhelah, tetes demi tetes air di rambutnya jatuh melewat wajah pucat pria itu, matanya sedikit terpejam saat air itu menetes mengenai kedua matanya yang jadi terlihat seperti orang tengah menangis.

"Kenapa lagi sih Raf ? Oh Iya, Bokap lo beneran mau jodohin lo sama anak rekan bisnisnya ?"

Tanpa kata Rafan menganggukkan kepala, membuat Kris tertegun sesaat karena merasa iba dengan sahabatnya yang tak kunjung henti mendapakan cobaan. "Bagaimanapun dia bokap lo, jangan ngomong begitu" sahut Kris seraya menepuk pelan pundak Rafan.

Helaan nafas yang begitu tenang Rafan hembuskan namun terlihat seolah dia sedang memberi ruang pada dadanya yang sesak. "Gua pikir sekali aja udah cukup, ternyata belum puas juga." gumam Rafan dengan tatapan sayu memandang air kolam yang bergerak tenang.

Kris memandang pada arah yang sama, keduanya sama-sama memandang dengan tatapan yang sayu, seperti ada kata yang tertahan di bibirnya, kedua pria dewasa itu seperti tidak mau melepaskan isi hati, mungkin karena ragu, atau merasa itu tidak perlu.

"Pasti ada yang indah di depan sana, gua yakin" itulah sepenggal kata yang Kris ucapkan, seperti harapan yang coba dia berikan untuk Rafan yang ada di sebelahnya yang mungkin saja sedang diambang kefrustasian akan masalah kehidupan.

Sekarang Aku paham mengapa banyak orang dewasa menginginkan kembali masa dimana mereka menjadi anak kecil

Menjadi dewasa tidaklah mudah, tidak seperti anak kecil yang bicara seadanya, mengungkapkan isi hati dengan jujur, tersenyum lapang tanpa hambatan

Semua terasa mudah di lakukan, bermain dengan teman tanpa memikirkan motif-motif jahat yang terselubung di setiap pribadi

Sesaat aku ingin kembali ke masa itu, walaupun masa kecilku tidak juga sangat indah, tapi aku ingin kembali kesana, karena setidaknya tidak ada sosok ayah di hidupnya

Tapi, sesaat kemudian aku kembali bimbang… Karena aku tahu, kalau aku kembali ke masa lalu, belum tentu aku bisa menjadi Rafan yang sekarang dan bertemu dengan wanita itu

***

Pagi menjelang, hari Senin kembali datang, hari dimana kembalinya di mulai segala aktivitas setelah beristirahat sesaat di hari minggu termasuk Sandrina yang saat ini sudah rapih dengan jas hitam dan celana panjang bewarna senada dipadukan heels setinggi 5 cm, gadis itu saat ini tengah duduk di kursi meja makan bersama dengan Abizar ayahnya.

"Kamu tadi malam bicara apa ? Papah kaget kamu bicara seperti itu tadi malam" ucap Abizar memulai pembicaraan, menatap wajah sang putri lalu mengoleskan selai cokelat pada roti tawar.

Memang gila dirinya yang tiba-tiba mengatakan hal seperti itu, bahkan aku baru menyadarinya setelah kami dalam perjalanan pulang sehabis makan malam di rumah itu. Semua ini gara-gara mulut julid wanita bernama Ririn itu, Kampret! Gara-gara itu cewek Aku jadi bicara sembrono begitu tadi malam.

"Papah bukannya mau aku menikah makanya melakukan perjodohan ini ?" sebela alisnya naik membalas tatapan sang ayah, menyuapkan sesendok nasi goreng dengan elegan tanpa melepaskan tatapannya.

Memang gila kalau sampai aku menikah sama itu duda, tapi mau apalagi kalau memang itu kemauan ayahnya, Papah memang sudah gila dan dari dulu pun aku tahu itu.

"Tapi kalau tidak menguntungkan bagimu, maka tidak apa-apa jika kita batalkan perjodohan ini"

Sandrina tersenyum miring sesaat. "Tidak menguntungkan untuk aku atau untuk papah ?"

"Maksud kamu ?"

Sandrina tak menjawab, gadis itu malah menghentikan sarapan, memasukan ponsel kedalam tas mewahnya. "Hari ini ada upacara, aku harus berangkat lebih pagi hari ini. Aku pamit" ucapnya lalu berdiri dari duduk dan berlalu begitu saja dari hadapan sang ayah yang memandang penuh maksud.

Entah ini ciri khas atau memang tergantung dari pribadi setiap orang, tapi yang aku lihat selama hidup menjadi Sandrina sang putri pengusaha sukses, Dia sering menemukan tipe orang tua yang seperti ini, egois, terlalu memikirkan harta, dan itu termasuk ayahku sendiri. Bagiku, baik Nareswara atau Abizar tidak ada bedanya.

"Jalan Pak!" titah Sandrina pada supir begitu dia duduk di dalam mobil mewah hitam yang membawanya pergi menuju tempat kerja hari ini.

***

Sandrina sampai di sekolah tempat dia akan bekerja, turun dari mobil dengan penuh kharisma, disambut kepala sekolah yang kemarin menemaninya seharian menjelaskan tugas dan pekerjaannya untuk mengatur apapun di sekolah ini.

"Selamat Pagi Ibu Sandrina"

"Pagi"

Aku menatap salah seorang wanita yang berdiri tegap menampilkan senyum yang membuatku mengkerut bingung. "Ini…"

"Oh ini salah satu wali kelas sekaligus guru di sekolah ini, saya ingin bertanya lebih dulu soal kemarin yang ibu bilang kalau ibu butuh satu orang untuk membantu itu saat bekerja, benar ?"

Sandrina pun mengangguk. "Iya, ini dia orangnya ?"

"Iya bu, namaya ibu Ayu, beliau yang akan membantu ibu jika ibu ingin bertanya soal sekolah atau membantu itu bekerja"

Aku menatap dari atas sampai bawah penampilan guru tersebut, matanya seperti sedang memindai, memiliki rambut yang di tata cantik namun tetap rapih, dengan senyum yang begitu ramah, dan sepertinya orang ini rapih juga rajin. Ya lumayan, semoga saja bisa diandalkan.

"Sandrina…" ujarnya sambil menjulurkan tangan kanannya.

"Saya Ayu"

"Salam kenal Ibu Ayu"

"Salam kenal Ibu Sandrina"

Setelahnya, suara lantang dari pengeras suara yang memberitahukan kalau upacara pada hari ini akan segera dimulai, membuat ketiga perempuan tersebut berjalan menuju lapangan dimana anak-anak dan para guru sudah berbaris rapi.

Hari ini gua gak mesti pidato lagi kan ?!