Hening yang bening. Detak jam dinding dan desah napas bagaikan rekuiem mengantarkan aku pada pemakaman senyap. Aku menarik napas dalam yang kemudian terasa berat. Mencoba memejamkan mata, berharap kantuk datang. Aku lelah. Aku ingin istirahat. Namun, semakin aku mencoba mengundang kantuk, justru ia semakin menganggapku musuh. Menjauh, mungkin hingga aku bertemu subuh.
Harusnya malam ini aku bersukacita merayakan malam pergantian tahun dengan teman atau keluarga. Namun ... ah, aku terlalu pengecut untuk menampakkan diri. Terutama setelah hampir semua orang tahu aku pengguna narkoba. Bahkan, yang lebih membuatku minder, sebagian teman dan keluarga menganggap aku penyuka sesama jenis. Dan, semua itu gara-gara dia! Aku benci. Andai saja membunuh bukan sebuah kejahatan, pasti aku akan membunuhnya dengan sangat kejam.
Harga diriku terkoyak. Bahkan, aku sangat yakin tidak akan cukup waktu satu atau dua minggu atau bahkan bulan untuk meyakinkan semua orang bahwa aku adalah pria normal. Aku pecandu narkoba, memang iya. Namun, aku tak sudi dianggap sebagai gay. Aku jijik. Aku muak!
Prak!
Aku lempar gelas ke dinding kamar. Belingnya berhamburan. Sebagian mendekat kembali kepadaku.
Aku menatapnya dan menarik napas dalam, kemudian mengembuskannya pelan. Pelan sekali sambil memejamkan mata, berharap segala gundah, resah, dan cemas ikut terembus dengan udara yang keluar dari rongga dada. Namun, semakin mencoba aku melawan semua resah, justru otakku secara otomatis memutar ulang peristiwa yang aku anggap sebagai biang pangkal kehancuran hidupku. Semua berawal dari Mama.
"Mama ...," wajah Mama terbayang bersamaan dengan wajah Papa yang sedang duduk di kursi roda.
"Jadi Papa tak becus mendidik anak, begitu? Lalu bagaimana dengan Mama? Adakah waktu Mama buat keluarga?" Suara Papa terngiang. Hatiku semakin berdetak tak karuan.
"Apa maksud Papa bicara seperti itu? Papa tahu sendiri pekerjaan Mama banyak. Butik Mama juga ada di luar kota!"
Papa menghentikan kursi roda. "Anak buah Mama banyak. Suruh saja mereka! Atau jangan-jangan itu hanya alasan Mama supaya bisa bersenang-senang dengan pria lain?" sungut Papa tanpa menoleh kepada Mama.
"Papa nuduh Mama selingkuh?"
"Siapa yang menuduh Mama selingkuh? Mama sendiri kan yang ngomong!"
Mama mendelik, tetapi aneh, sebenarnya aku tak melihat tatapan kebencian di mata Mama kepada Papa. "Sudah deh, Pa. Mama capek. Mau istirahat!" Mama mengakhiri pertengkaran lalu masuk kamar tanpa menghiraukan Papa lagi.
"Papa belum selesai ngomong, Ma!" Papa menyusul ke kamar dengan memutar roda kursi. Pintu kamar dibanting. Keadaan semakin memanas. Keributan berlanjut di dalam kamar.
Semenjak usaha Papa bangkrut, hampir tak ada lagi keharmonisan di keluargaku. Tak ada sesuatu hal pun yang tidak menjadi bahan pertengkaran. Emosi Papa yang labil dan Mama yang terkadang tidak menghargai jasa-jasa Papa selama ini semakin membuat rumah terasa panas. Sungguh, aku muak dengan kondisi seperti ini. Aku butuh ketenangan, ketentraman, dan ingin melihat Papa serta Mama seperti dulu lagi. Namun, rasanya itu tak mungkin.
Dulu Papa adalah pengusaha yang bergerak di bidang perkebunan, khususnya kelapa sawit, di Blitar. Usahanya cukup maju. Ia merintis usahanya sejak berusia 23 tahun. Bisa dibilang, Papa adalah salah satu pengusaha muda sukses di Blitar. Namun, usahanya bangkrut lantaran ditipu oleh rekan bisnisnya sendiri. Sementara itu, Mama hanyalah seorang ibu rumah tangga. Berkat hobinya mendesain baju, akhirnya Mama bisa menjadi seorang desainer. Itu tak berarti apa-apa kalau bukan mendapat dukungan dari Papa baik dari segi motivasi maupun finansial.
Ketika masih sukses, Papa membangun butik untuk menunjang karier Mama sebagai desainer. Sampai akhirnya butik Mama berkembang. Mama mulai membuka cabang di Surabaya, kemudian melebarkan sayap ke Jakarta. Yang terbaru membuka cabang di Medan, tempat kelahirannya. Mama yang dulu hanya seorang ibu rumah tangga, kini telah menjelma seorang wanita karier yang sukses berkat Papa.
Namun, sekarang Mama berubah. Kesuksesannya membuat Mama lupa akan kodratnya sebagai seorang istri sekaligus seorang ibu. Aku benci Mama. Aku benci perempuan. perempuan tak lebih dari benalu bagi laki-laki. Sedang subur dia menempel, tetapi ketika lelaki mengalami kesulitan, dia akan pergi. Tak peduli lagi. Jangankan berpikir perempuan mau membantu, justru akan membuat semua yang masih ada menjadi habis. Hingga laki-laki mati, barulah dia benar-benar pergi mencari pengganti. Namun, itu bukan berarti aku mencintai sesama lelaki! Berahiku masih untuk perempuan. Hanya saja ....
"Argh ...!" Aku mengacak-acak rambutku.
Andai kematian bisa menyelesaikan semua, sudah aku akhiri hidupku sejak dulu. Akan tetapi, sebelum mati, aku ingin membunuh dulu si Samuel. Ya, karena dialah orang kedua yang membuat namaku hancur hingga dicap sebagai gay. Sialan!
Awalnya aku memang sangat dekat dengan Samuel. Menurutku dia bisa menjadi sahabat yang baik. Bahkan, dia tak pernah perhitungan saat membantu. Bisa dibilang dia royal, bahkan dialah yang memberikanku tempat tinggal dan pekerjaan. Sampai akhirnya aku mendapatkan posisi sebagai CEO di perusahaannya. Maklum, dia anak orang kaya, pengusaha muda.
Perkenalanku dengan Samuel bermula ketika aku kabur dari rumah lantaran tak tahan dengan kondisi keluargaku. Papa dan Mama sering berantem. Dari hal sepele saja menjadi masalah besar saat mereka berbeda pendapat. Waktu itu aku tak tahu harus lari ke mana. Di pikiranku saat itu, hanyalah meninggalkan rumah yang seperti neraka bagiku.
Karena tak memiliki tujuan, aku hidup di jalanan hingga mengenal pergaulan bebas dan narkoba. Singkat cerita, aku pun menjadi pecandu. Suatu ketika, aku mengalami overdosis usai pesta narkoba bersama teman-teman dan hampir saja mati di pinggir jalan. Beruntung, ada seseorang yang membawaku ke rumah sakit. Jika tidak, mungkin aku sudah mati. Ya, seseorang itu adalah Samuel, laki-laki berwajah oriental yang sangat baik. Tidak hanya baik, tetapi dia juga masih muda. Usianya dua tahun lebih tua dariku, tetapi dia bisa sukses dan aku banyak belajar darinya. Namun, setelah malam itu aku sangat membencinya.
Malam itu, aku dan dia menginap di sebuah hotel. Dia yang mentraktirku minum-minum. Aku tak menyangka kalau ternyata Samuel menginginkan sesuatu dariku yang lebih dari sekadar teman.
Suasana malam itu cukup berbeda. Aku merasa gerah. Untuk menghilangkan kegerahan, aku berdiri di balkon hotel dan menghitung ribuan lampu kota yang bertebaran tidak beraturan. Aku menarik napas dalam. Sekilas lampu-lampu itu seperti bintang-bintang yang berjatuhan tak beraturan, tetapi tetap indah dipandang dari kejauhan, dari ketinggian. Namun, ketika wajah Papa melintas, hatiku kembali gundah.
Sebuah sentuhan lembut membuyarkan lamunanku. Aku menoleh. Ada Samuel di belakangku.
"Ada apa, Ri?" ucapnya pelan.
"Aku sedang kepikiran Papa. Aku khawatir dengan kondisinya. Kata Bi Ina, Papa masuk rumah sakit lagi."
Ya, Papa sakit. Sudah dua kali opname. Namun, belum sekali pun aku menjenguknya. Anak macam apa aku ini? Semenjak pertengkaran Mama-Papa waktu itu, aku tidak tinggal di rumah. Bahkan, aku juga memutuskan berhenti kuliah dan pergi ke luar kota karena tidak tahan dengan atmosfer rumah yang selalu membuat jiwaku seperti berada dalam neraka.
"Ya sudah. Sekarang istrirahat, yuk!" ajak Samuel sambil merangkul pinggangku dari belakang.
Bulu kudukku seketika merinding. Ada rasa lain dari perlakuan Samuel malam ini. Segera aku hapus pikiran negatif tersebut. Aku lepaskan tangannya pelan. "Kamu duluan saja. Aku masih ingin di sini," Aku menghindar halus.
Namun, Samuel justru semakin menjadi. Kini tangannya mengelus pundakku. Aku segera berbalik. "Kamu mau apa Samuel?" tanyaku dengan menatap tajam.
Samuel tersenyum. Dia berusaha memelukku. Aku menangkisnya.
"Ayolah, Ri. Jangan pura-pura. Di sini hanya ada kita. Mari kita nikmati malam ini. Biar semua beban hatimu lenyap," suara Samuel sedikit mendesah dengan napas yang memburu.
Aku sadar. Ternyata benar apa yang dikatakan oleh teman-teman yang lain."Lu hati-hati sama si Samuel. Dia itu baik hanya ada maunya saja. Bisa-bisa lu jadi korbannya."
"Korban?" Aku tak paham.
"Ya, pokoknya lu hati-hati saja. Jangan mau diajak ke mana-mana jika hanya berduaan."
Kini aku tahu apa maksud ucapan temanku itu.
"Jangan macam-macam, Samuel!" bentakku.
Akan tetapi, Samuel rupanya telah kerasukan setan atau justru setan yang kerasukan dia. Samuel terus berusaha memelukku. Bahkan, sangat kasar. Tentu saja aku membela diri. Aku jijik! Seberapa pun aku benci sama perempuan, bukan berarti orientasi seksku berubah menyukai cowok.
"Stop Samuel!" teriakku keras.
"Ayolah , Ri, aku mencintaimu!" Samuel bersikeras.
"Kau gila!"
"Kamu jangan munafik, Ari Sandiago! Jujur saja, kamu juga menyukaiku, 'kan? Jika tidak, kenapa kamu mau berteman denganku, padahal aku gay."
Gigi gerahamku bergemurutuk menahan emosi. Kalau bukan karena kebaikannya selama ini, sudah kuhajar nih orang. Ah, percuma meladeni manusia biadab macam Samuel. Aku menarik tubuh ke belakang untuk menghindari kontak badan dengan Samuel karena posisi kami berdua cukup dekat. Sebenarnya aku tidak mau ribut dengan dia. Biarpun dia gay, jika dia bersikap baik kepadaku dan tidak bertindak macam-macam, aku akan menerima kondisinya yang seperti itu.
Saat aku berbalik badan hendak menuju kamar, kembali rangkulan Samuel melingkar di pinggang. Kali ini aku tak tahan. Langsung saja kulepaskan rangkulannya dengan kasar.
"Cukup, Sam! Jangan lakukan ini. Kalau tidak, maka kita akan selesaikan ini sebagai sesama lelaki yang bermusuhan!"
Barulah Samuel berhenti. Napasnya terengah menahan nafsu. Aku segera mengambil koper. Kebetulan isinya belum aku keluarkan. Kemudian aku segera keluar dari kamar dan pergi. Ketika tanganku memegang pegangan pintu, Samuel berteriak! "Percuma kau pergi! Semua orang sudah menganggapmu sepertiku sejak pertama kali kita bertemu!"
Aku diam sejenak. Tanpa sempat berpikir apa maksud dari kata-katanya, aku langsung keluar dari kamar hotel.